JAKARTA- Alokasi APBN pada propinsi Papua sebesar Rp 32 Triliun per tahun terbesar dibandingkan dengan propinsi lainnya. Hal ini menunjukkan keseriusan Indonesia untuk membangun kesejahteraan rakyat di Papua. Namun sayangnya produktifitas rakyat Papua sangat rendah.
“Subsidi ke Papua luar biasa. Dengan penduduk 3 juta maka perorang Rp 10 juta per tahun. Bandingkan dengan Jawa Barat yang hanya Rp 1,5 juta per tahun,” demikian calon presiden Jusuf Kalla (JK) kepada Bergelora.com saat menerima beberapa aktivis dari Perkumpulan Indonesia Timur yang dipimpin oleh Laode Ida, Petrus Celestinus, Boy Sompotan, dan Jopie Lasut di kediaman JK di Jakarta, Senin (9/6).
Dibandingkan dengan propinsi lainnya menurutnya Papua memiliki sistim politik yang sangat federal.
“Di tempat propinsi lain, orang luar bisa jadi gubernur walaupun bukan putra daerah. Tapi peraturan di Papua, hanya putra daerah yang boleh jadi gubernur. Ini kita hargai,” ujarnya.
Semua orang Indonesia menurutnya menginginkan kedamaian di Papua agar rakyat bisa melakukan pembangunan lebih cepat dari saat ini. Namun sayangnya produktifitas rakyat Papua sangat rendah.
“Ini karena semangat rakyat Papua untuk membangun rendah. Sementara konsumsi alkohol tinggi dan korupsi merajalela,” ujarnya.
Sehingga tanah Papua yang luas dan kaya raya tidak bisa maksimal di kelola oleh rakyat Papua.
“Satu-satunya jalan masyarakat harus produktif. Pemerintah lokal jangan biarkan ijin dijual kepada asing. Itu milik rakyat Papua dan harus dikelola dan dinikmati oleh rakyat Papua,” ujarnya.
Nasionalisasi Freeport
Ia mengakui kehadir perusahaan tambang emas milik Amerika, PT Freeport tidak memberikan dampak kemajuan pada kesejahteraan rakyat Papua. Hal ini disebabkan karena kelemahan rakyat dan pemerintah daerah setempat.
“Saat ini perusahaan tambang emas Amerika Freeport tidak membayar pajak dan royalti pada pemerintah Indonesia. Padahal pada tahun 2008 Freeport rajin membayar royalti sebesar 1,8 M Dollar. Itu kenapa demikian,” ujarnya.
Sekarang PT Freeport dituntut untuk membangun smelter dengan biaya Rp 5 Triliun dan menjadi keberatan perusahaan itu. Menurutnya wajar, rakyat kemudian menuntut nasionalisasi pada perusahaan tambang tersebut.
“Maunya nasionalisasi 100 persen. Tapi nanti modalnya dari mana? Mana ada bank kita yang sanggup. Tehnologi dari mana? Apa kita sanggup? SDM nya mana? Tapi tidak benar juga seluruh tanah diangkut,” ujarnya.
Ia memberi contoh nasionalisasi yang dilakukan Chaves di Venezuela yang menurutnya gagal.
“Chaves melakukan nasionalisasi. Semua tehnologi pergi. Modal tidak ada, akhirnya ekonomi terbengkalai. Rakyat marah,” ujarnya. (Web Warouw)