JAKARTA- Indonesia tidak berada dalam jalan yang benar dalam menuju peradaban dengan dieksekusinya enam narapidana pada Januari 2015 lalu dan terhadap puluhan narapidana lainnya dalam waktu dekat. Setara Institute mengingatkan agar Presiden Jokowi membawa Indonesia kembali ke jalan yang benar dalam menuju peradaban yaitu cara penghapusan hukuman mati di Indonesia untuk semua kejahatan, termasuk kasus narkoba. Hal ini ditegaskan oleh Ketua Badan Pengurus, Setara Institute, Hendardi kepada Bergelora.com di Jakarta, Senin (27/4).
“Tidak bergemingnya pemerintah terhadap rencana hukuman mati menunjukkan perlawanan terhadap perjanjian internasional yang telah diratifikasi pada tahun 2005,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa, pada tahun 2013 lalu Komite HAM PBB telah memebrikan nilai terendah bagi pemerintah Indonesia karena kegagalannya memenuhi peringatan Komite HAM PBB agar pemerintah Indonesia menghentikan eksekusi mati terhadap pidana kasus narkoba.
“Pada awal april lalau Komite HAM PBB kembali mengevaluasi Presiden Joko Widodo yang membiarkan eksekusi mati pada enam narapidana narkoba dan menyayangkan belum mengamandemen undang-undang yang berkaitan dengankasus narkoba,” ujarnya.
Sementara itu, Sebuah petisi pembatalan hukuman mati diedarkan lewat www.change.org. Dalam petisi tersebut dijelaskan bahwa, Mary Jane Veloso adalah seorang buruh migran asal Filipina yang menjadi korban sindikat perdagangan narkotika. Dia menjadi kurir tanpa sepengetahuannya dan ditipu dengan iming-iming pekerjaan palsu, dibekali heroin secara sembunyi-sembunyi, dan diarahkan pergi ke Indonesia. Mary Jane ditangkap dan diadili tanpa dipenuhi hak-haknya untuk dapat berbicara dalam bahasanya. Bahasa Inggrisnya patah-patah dan ia tak mengerti Bahasa Indonesia.
Mary Jane dianggap kriminal hanya karena pada saat itu, hukum Indonesia masih belum dapat mengenali hukum internasional tentang perdagangan manusia yang menyebutkan bahwa jika ada unsur perdagangan manusia dalam kasus narkotika maka pelaku harus dianggap sebagai korban dan bukan kriminal.
Petisi itu mengatakan bahwa :
Kami mengerti Indonesia sedang memerangi narkotika. Namun, hukuman mati tidak akan memberikan efek jera terhadap penjahat narkotika. Jika tersedia opsi 1) Hukuman mati. 2) Reformasi penegakan hukum, peradilan dan sistem pemasyarakatan, mana yang Anda pilih? Jika harus menentukan antara mempertahankan hidup dan membunuh, pilihan mana yang diambil? Hukuman mati adalah cermin ketidakberdayaan penegakan hukum. Ketakutan yang ditutup-tutupi oleh pembunuhan berencana.
Kami menginginkan kekuatan dan ketegasan hukum yang melindungi manusia siapapun dirinya dari pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia. Saya menginginkan hukum yang cerdas dan hati-hati dalam membedakan mana korban dan mana pelaku kriminal.
Dalam beberapa hari terakhir, organisasi-organisasi seperti Komnas Perempuan dan KontraS juga telah menyatakan bahwa Mary Jane Veloso adalah korban perdagangan manusia yang justru menjadi korban, dan bahwa hukuman mati terhadapnya perlu dibatalkan.
Kami, warganegara Indonesia yang tahun lalu memberi mandat kepada Bapak Joko Widodo untuk menjadi presiden karena yakin akan kesetiaan dan komitmennya pada nawacita dan penegakan HAM, kini menagih janji itu sebagai warganegara beradab. Berikan Mary Jane Veloso pengampunan. Selamatkan dia dari pembunuhan dan penuhi keinginannya untuk pulang ke negaranya bertemu keluarganya.
Tidak pernah ada hari baik untuk membunuh tapi tiap detik adalah baik untuk sebuah pengampunan. Itu saja yang kami minta. (Enrico N. Abdielli)