JAKARTA- Pembangunan Indonesia diharapkan bukan sekedar ‘pembangunan di Indonesia’. Rakyat Indonesia harus ikut serta dalam pembangunan Indonesia. Hal ini ditegaskan oleh Guru Besar Universitas Indonesia, Prof Sri Edi-Swasono kepada Bergelora.com, Senin (27/4).
“Kita bukan penonton, kita harus raih ‘pengalaman membangun’. Kita adalah ‘Tuan di Negeri Sendiri’ bukan ‘koelie Inlander’ yang minder,” tegasnya.
Ia menegaskan bahwa sudah menjadi kewajiban setiap warga negara untuk mengutamakan kepentingan nasional tanpa abaikan sebisanya tanggung jawab global.
“Kita tidak anti asing, namun ekonomi asing tidak boleh mendominasi ekonomi nasional. Kita a friendly nation, kita menyukai kerjasama dengan manca negara manapun, tetapi kita tegaskan ‘kerjasama’ dengan manca negara bukan ajang mengorbankan kedaulatan nasional. Kerjasama jangan korbankan kedaulatan nasional,” ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa ‘Daulat Rakyat’ adalah doktrin nasional yang tidak boleh digusur oleh ‘Daulat Pasar’ dan menegaskan kembali politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif.
Senang Diperbudak
Sementara itu Ketua Presidium Petisi 28, Haris Rusly Moti menjelaskan bahwa perbudakan hadir dalam berbagai cara dan bentuk. Sebagian orang menjadi budak dari cara berpikir mereka. Sementara sebagian yang lainnya, jiwa merekalah yang diperbudak.
“Bahkan ada juga sebagian orang yang lain menemukan kesenangan di dalam perbudakan tersebut,” ujarnya terpisah kepada Bergelora.com di Jakarta, Senin (27/4).
Menurutnya, para nabi lahir untuk memerdekakan jiwa dan pemikiran manusia yang diperbudak yang mengakibatkan penghisapan oleh manusia yang lain. Para pendiri bangsa Indonesia belajar pada pemikiran barat tidak untuk menjadi budak barat, tapi untuk berkorban memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan asing.
“Melalui rapat umum dan tulisan di media massa, mereka menyebarkan pengetahuannya tentang hakikat manusia berdaulat dan bangsa yang merdeka. Melalui perjuangan dan pengorbanan mereka menjadi guru-guru yang hidup untuk memurnikan dan memerdekakan jiwa-jiwa dan pemikiran yang diperbudak,” jelasnya.
Para pendiri bangsa Indonesia menurutnya adalah para pembaca buku yang tangguh, penulis yang hebat, disertai penempaan perjuangan, pengorbanan dan penderitaan yang memurnikan jiwa dan pemikiran mereka.
“Pancasila dan UUD 1945 adalah buah pikir mereka yang bukan hasil renungan di ruang hampa, tapi merupakan sintesa pemikiran dan pengorbanan bertahun-tahun,” tegasnya.
Haris Rusly Moti membedakan dengan para intelektual dan politisi dalam era reformasi, yang telah mendesign negara reformasi yang menghasilkan kekacauan dan kemunduran.
“Mereka tak pernah ditempa oleh pengorbanan dan penderitaan, mereka para intelektual dan politisi tersebut merasa hebat hanya karena telah membaca sekian buku dengan bergelar PhD, walaupun sesungguhnya jiwa dan pemikiran mereka dalam perbudakan.,” tegasnya.
Karena itu menurutnya pada saat ini tidak mungkin berharap perubahan dari jiwa dan pemikiran yang justru memperdalam perbudakan di Indonesia.
“Kita tak mungkin lagi berharap perubahan kepada Presiden, DPR dan para penyelenggara negara yang telah terbukti jiwa dan pemikirannya diperbudak asing. Kita membutuhkan kebangkitan pemuda sipil dan militer yang paham tujuan kita merdeka, yaitu menjadikan Indonesia yang bebas dari penghisapan dan penindasan bangsa asing,” tegasnya. (Tiara Hidup)