JAKARTA- Dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) Berat, pemerintah mendatang perlu segera mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) pendirian pengadilan HAM Adhoc.
“Jangan buru-buru suruh Jokowi minta maaf. Bikin dulu Keputusan Presiden (Keppres) peradilan HAM Adhoc. Masih jauh dari minta maaf,” demikian Komisioner Komisi Nasional Hak Asazi Manusia (HAM), Natalius Pigai kepada Bergelora.com di Jakarta, Sabtu (30/8)
Jadi menurutnya penyelesaian berbagai pelanggaran HAM berat saat ini merupakan ranah pemrintah, tepatnya ada di tangan Presiden RI, karena Komnasham telah lama menyelesaikan penyelidikan dan menyerahkan semua laporan pada Kejaksaan Agung.
“Jokowi perlu melakukan pertemuan penting untuk mengintergasikan persepsi semua pihak dan mencari langkah penyelesaiaan apakah melalui Judisial atau non Judicial. Semua tergantung presiden,” ujarnya.
Selain lewat jalur hukum dan pengadilan menurutnya, Jokowi bisa memilih jalan keluar politik yaitu lewat kebijakan rekonsiliasi dan perdamaian nasional.
“Menuju ke rekonsiliasi dan perdamaian perlu membahas beberapa substansi yang harus didukung semua pihak. Kalau ada yang menolak berarti dirinya tidak menginginkan perdamaian di Indonesia,” ujarnya.
Menurutnya, Komnasham sebenarnya sudah menyiapkan kerangka penyelesaian menuju ke rekonsiliasi nasional.
“Bahan sudah lama siap. Kalau presiden menginginkan, tinggal perintah dan kami segera serahkan ke presiden,” tegasnya.
Beberapa kasus pelanggaran HAM yang sudah siap untuk ditindak lanjuti menurutnya adalah pelanggaran HAM dalam peristiwa 1965, pelanggaran HAM dalam Kerusuhan Mei 1998, pelanggaran HAM penculikan aktivis dan pelanggaran HAM di Papua, Kasus kekerasan di Tanjung Priuk dan Kasus pelanggaran HAM di Talangsari, Lampung.
Keppres Rehabilitasi
Sebelumya anggota DPR, Eva Kusuma Sundari kepada Bergelora.com di Jakarta, Jumat (29/9) menyatakan tuntutan masyarakat dan dan keluarga korban pelanggaran Hak Asazi Manusia (HAM) agar penyelesaian kasus-kasus HAM masa lalu bisa melalui penyelesaian politik dan hukum. Jokowi nantinya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan perlu segera mengambil tanggung jawab negara atas peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM dan meminta maaf pada keluarga korban 1965.
“Ada tuntutan lama terhadap penyelesaian kasus korban ’65 yang lebih membutuhkan penyelesaian politik daripada hukum. Presiden Jokowi sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara berkewajiban untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut dengan meminta maaf dan mengeluarkan Keppres rehabilitasi umum untuk kasus kekerasan di Papua dan korban kekerasan 1965,” ujarnya.
Menurutnya, tindakan ini akan merupakan langkah manusiawi dan terpuji yang dapat membebaskan masyarakat dari beban masa lalu sehingga bisa mengadakan lompatan maju ke depan.
“Sedangkan tuntutan untuk meminta maaf kepada Papua masuk akal karena memang hingga saat ini penyelesaian politik dari konflik berkepanjangan masih berlangsung,” ujarnya. (Dian Dharma Tungga)