JAKARTA- Untuk mencegah kutu-kutu loncat yang tiba-tiba bergabung atau pindah-pindah partai politik dalam Pemilu 2019 yang akan datang perlu kiranya segera mengatur calon-calon legislatif yang dapat diajukan oleh partai politik. Maka solusinya adalah Pemilu 2019 menggunakan sistem proporsional tertutup. Hal ini disampaikan oleh, Dr. Dhany Safrudin Nawawi dari Tim Ahli Penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyelenggaraan Pemilu Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) kepada Bergelora.com di Jakarta, Selasa (16/8).
“Sehingga rakyat pemilih akan memilih partai kemudian partai memilih kadernya untuk duduk di legislatif. Namun supaya publik mengetahui calon wakil rakyat maka tugas partai politik adalah melakukan sosialisasi calon legislatifnya,” ujarnya.
Ia juga menegaskan syarat calon legislatif harus memiliki kartu tanda anggota partai politik minimal lebih 1 tahun. Sehingga dipastikan yang diajukan menjadi calon legislatif hanyalah kader partai politik yang telah berkeringat dalam partai.
“Saat ini pemilihan legislatif tidak memungkinkan kader diprioritaskan duduk menjadi legislator. Karena sistem suara terbanyak sehingga membuat siapa yang banyak uangnya itulah yang terpilih,” jelasnya.
Uji Publik
Sebelumnya kepada Bergelora.com dilaporkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melalui Direktorat Jendral (Ditjen) Politk dan Pemerintahan Umum (Polpum) melangsungkan uji publik Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) di Kota Malang, Jawa Timur, Minggu (14/12).
RUU Pemilu ini merupakan penyederhanaan tiga undang-undang masing-masing Undang-Undang No. 42 Tahun 2008, Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 dan Undang-Undang No 8. Tahun 2012. Tiga Undang-Undang itu dibukukan menjadi satu Undang-Undang dan saat ini sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Dalam kesempatan itu, Sekretaris Ditjen Polpum Kemendagri, Budi Prasetyo mengatakan, dalam pembahasan RUU Pemilu ini ada beberapa isu krusial yang patut dibahas bersama sehingga ke depannya tidak menjadi konflik. Untuk itu diselenggarakan uji publik meminta masukan semua pihak.
“Tahun 2019 kampanye Pilpres dan Pileg dilakukan serentak. Karena itu, kami ingin dapat masukan, sehingga kami bisa merumuskan kebijakan yang baik dan tepat,” katanya.
Ia menjelaskan bahwa RUU ini juga menjadi inisiatif pemerintah untuk menyusun kebijakan secara serius karena bertujuan untuk memperbaiki pelaksanaan pemilu ke depannya lebih berkualitas.
“Pemilu diselenggarakan untuk memilih calon legislatif, Presiden dan Wakil Presiden sehingga akan lebih baik dibuat regulasi khusus yang atur pemilu secara keseluruhan,” ujar dia.
Adapun sejumlah nara sumber yang menjadi tim pakar dalam uji publik tersebut adalah Plt Direktur Politik Dalam Negeri Ditjen Polpum Kemendagri, Bahtiar Baharuddin, Kepala BPHN Kemenkumham Enny Nurbaningsih, Deputi I Poldagri Kemenko Polhukam, Brigjen TNI Wardiyono. Selain itu hadir juga Asisten Deputi Bidang Politik Pemerintahan Dalam Negeri, Dyah Pancaningrum dan Tim pakar Tim Ahli Kepemiluan Dhany Safrudin Nawawi. Bukan hanya itu, hadir juga Wakil Walikota Malang Sutiaji sebagai perwakilan pejabat daerah yang memberikan sambutan uji publik.
Sutiaji mengatakan, pemerintah daerah dalam hal ini adalah sebagai pelaksana produk kebijakan dari pusat. Kalau lebih awal lakukan kajian dan masukan seperti ini, kata dia akan lebih bagus sebelum dilempar ke DPR. Ke depan pilkada, pilpres dan pileg berangkatnya sama.
“Apa yang digagas nasional dan di breakdown provinsi, lalu kabupaten/kota sebagai Implementator. Partai harus jadi pemikir futuristik. Kami harap Undang-undang ini jadi rule kita semua. Ini harus taati dan patuhi bersama,” ujar Sutiaji dalam sambutannya mewakili Walikota Malang.
Prioritas Perempuan
Dalam kesempatan lain, Dr. Dhany Safrudin Nawawi menjelaskan bahwa, pendidikan politik merupakan bagian dari agenda priotas Kemendagri yang ditugaskan kepada Direktorat Jenderal Politik dan Pèmerintahan Umum. Tugas pemerintah adalah membuat aturan yang memungkinkan kaum perempuan mendapat kesempatan menjadi pengurus partai politik.
“Untuk itu kaum perempuan diprioritaskan untuk menjadi angggota DPR dan DPRD, sehingga bukan lagi orang yang barusan bergabung ke dalam partai politik pada saat menjelang Pemilu,” tegasnya dalam ‘Pendidikan Politik Bagi Kaum Perempuan’ yang ikuti oleh kaum perempuan pengurus partai politik, aktivis ormas perempuan anggota DPRD perempuan dan pemilih pemula dari mahasiswi dan pelajar perempuan di Malang, Jawa Timur, Minggu (14/8)
Ia juga menyampaikan komposisi penduduk Indonesia terdiri dari 55% perempuan. Namun perempuan yang terpilih jadi DPR-RI hanya 16%, DPRD-Provinsi hanya 14% dan DPR-Kabupaten kota hanya 12%.
“Hal tersebut merupakan anomali politik yang harus segera diatasi,” tegasnya. (Web Warouw)