Oleh: Otto Syamsuddin Ishak *
HARI HAM, 10 Desember 2022, mendapat kado dari Majelis Hakim pada Pengadilan HAM di Makassar. Namun bagi warga Papua, itulah kado kedua yang paling buruk (Kasus Paniai 2014) setelah kado pertama, adalah keputusan pengadilan untuk kasus Abepura (2000), yang membebaskan 2 terdakwa (2005), dengan 7 korban sipil meninggal dan 74 warga luka-luka penyiksaan.
Saya ingat, pagi itu kami dari tim pemantauan Komnasham RI, tiba di Jayapura. Kami langsung berusaha koordinasi dengan pihak Polda. Sore harinya, kami mengadakan diskusi dengan sejumlah aktivis HAM di kantor LSM ALDP, yang difasilitasi oleh Latifah Anum Siregar. Meskipun peristiwa itu bukan dalam penugasan ke Jayapura.
Dari berbagai informasi tentang peristiwa, kami mencoba mempelajari anatominya. Kemudian, kami pun segera membuat rilis bahwa peristiwa itu memiliki potensi pelanggaran HAM yang berat. Bahkan, kami sempat membuat kronologi peristiwa sehingga kami mengetahui bahwa tragedy Paniai bermula dari serentetan peristiwa yang terkait dengan masyarakat mempersiapkan diri untuk menyambut Natal.
Kemudian, muncul mobil tanpa lampu yang diberhentikan oleh warga sehingga terjadi keributan karena pengendara mobil itu segerombolan serdadu yang terlibat di dalam operasi dengan sandi: Aman Matoa V. Mereka adalah bagian dari tim khusus 753.
Kabar peritiwa Paniai itu, sudah barang tentu, segera sampai ke Komnasham. Mungkin, karena itu, Komnasham segera membentuk tim investigasi, dengan mengirim komisioner dan staf untuk melakukan investigasi ke Paniai. Saya pun terus melanjutkan tugas pokok pemantauan untuk kasus yang lain.
Jadi, investigasi pro yustisia untuk kasus Paniai sedah dilakukan sejak periode saya menjadi komisioner Komnasham RI (2012-2017). Namun, pemberkasan tidak selesai. Baru pada priode berikutnya (2017-2022), pelaporan proyustisia itu dapat diselesaikan.
Ketika kasus Paniai akan disidangkan pada pengadilan adhoc, di Makassar, saya mendapat kabar bahwa salah satu anggota Majelis hakim adalah komisioner Komnasham (2012-2017), bahkan pernah menjadi ketua Komnasham. Hal ini, sangat penting bagi saya, bahkan menerbitkan harapan yang jauh lebih baik dari hasil persidangan kasus Abepura.
Apalagi, saat kejadian, hakim ini adalah komisioner Komnasham RI. Karena itu, saya berasumsi bahwa beliau memahami anatomi peristiwa. Kedua, beliau memahami UU 26/2000, khususnya hal matarantai komando (sehingga tidak terjadi terdakwa tunggal). Ketiga, saya sering mendengar kata: independen, dan berpihak pada korban, dari mulutnya.
Namun, apa lacur (malangnya) persidangan diselenggarakan dengan terdakwa tunggal, yang anggota infantri organik (bukan BKO), bahkan pribumi. Nampaknya, majelis hakim dalam kasus Paniai ini tidak meletakkan kejadian di dalam ranah Undang-Undang No.26/2000 Tentang Pengadilan HAM.
Karena itu tidak disidik dan dipertanyakan atau digali informasi di dalam perspektif “kejahatan terhadap kemanusiaan”. Padahal, pertama, dari laporan penyelidikan (yang merupakan kewenangan Komnasham, pasal 18 UU 26/2000), masalah ini sudah diletakkan berada dalam ranah kejahatan terhadap kemanusiaan. Artinya sudah memenuhi unsur pembunuhan dan penyiksaan (pasal 9).
Kedua, salah satu persyaratan menjadi hakim Ad Hoc (psl 29), adalah “memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia”.
Namun, lagi-lagi apa lacur, pertama, hakim mengabaikan kejadian Paniai merupakan sebuah rentetan peristiwa. Kedua, hakim mengabaikan konteks operasi Aman Matoa V. Hal ini tampak jelas dari asumsi bahwa terdakwa karena berpangkat tertinggi maka memegang tanggungjawab komando.
Hal ini bertentangan dengan Pasal 42, UU Nomor 26/2000, yang melihat bukan atas dasar kepangkatan, tetapi atas dasar yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer”. Ketiga, hakim mengabaikan kehadiran pasukan lain, yang jelas di luar kewenangan terdakwa.
Jadi, jika dilihat dari pasal 29, maka majelis hakim (ad hoc) tidak memenuhi persyaratan berupa memiliki kapasitas dan integritas yang terkait dengan hak asasi manusia. Naudzubillah!
* Penulis Otto Syamsuddin Ishak, adalah sosiolog, mantan Komisioner Komnasham RI (2012-2017), dan alumni Lemhanas (PPSA-XX).