Sabtu, 5 Juli 2025

Kaji Ulang Program Pendidikan Dokter Layanan Primer!

Oleh: Dr. Mariya Mubarika

Jika tidak ada aral melintang program Pendidikan Layanan Primer akan diluncurkan pada akhir tahun 2016 ini. Program ini ditujukan terutama kepada mereka para dokter umum yang bekerja di puskesmas dan pelayanan primer lainnya, yang diniatkan pemerintah untuk memperbaiki pelayanan kesehatan primer di Indonesia.  Namun, pada perjalanan nya program ini menuai penolakan keras dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

 

Dalam muktamar nasional IDI ke 29 di Medan pada bulan Desember 2015, seluruh cabang IDI menolak program ini diluncurkan. Penolakan ini juga diperjuangkan secara hukum oleh Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) dalam Judicial Review yang pada akhirnya di tolak Mahkamah Konstitusi.

Penolakan MK terhadap Judicial Review PDUI bukan menjadikan perjuangan para dokter berhenti. Saat ini IDI sedang mengawal jalannya Rancangan Perundang Undangan program pendidikan DLP yang belum finalisasi karena banyak hal yang tidak relevan di dunia kedokteran dan peraktek kedokteran di Indonesia.

Di beberapa wilayah seperti Jawa Barat mengadakan Rembug Nasional dengan mengundang perwakilan dokter seluruh Indonesia dan dihadiri oleh Ketua Komisi IX, Ketua Komisi X, mantan Hakim MK, Kemenristek DIKTI, Kemenkes, Konsil Kedokteran Indonesia dan beberapa lembaga lain untuk mengkritisi hal ini, ketua komisi X, Ceu Popong setuju dilanjutkannya revisi Undang-undang tersebut walaupun sudah ditolak MK.

Undang-undang bukan kitab suci bisa direvisi bila bertentangan dengan Undang-undang lain dan tidak relevan dalam pelaksanaannya. Ceu Popong dan mantan hakim MK Prof Haryono menjelaskan walaupun sudah ada di dalam Undang-undang bukan artinya program itu harus mutlak dijalankan, banyak hal yang ada di Undang-undang tetapi tidak layak jalan.

Perwakilan dari Konsil Kedokteran juga menegaskan munculnya Undang-undang Pendidikan Dokter yang bertentangan dengan Undang-undang Praktek Kedokteran. Hadirnya profesi baru merupakan tanda tanya mengapa ini tiba tiba muncul. Hal ini juga pernah terjadi seperti Undang-undang tembakau yang tiba tiba hilang.

Para dokter yang hadir merasa program ini tidak relevan dengan kondisi pendidikan dokter serta pelayanan kesehatan saat ini yang carut marut. Di Banten diadakan Rembug Banten yang menghasilkan 4 sikap dokter sebanten terhadap program pendidikan ini yang kemudian di teruskan ke PB IDI sebagai amanah aspirasi anggota.

Dokter Tidak Kompeten?

Lalu mengapa pemerintah dengan gigih terus memperjuangkan program yang sangat mahal ini berjalan? Pemerintah ingin mencontoh Negara maju seperti  Inggris dan Amerika, di sana diterapkan Family Doctor yang di Indonesia diberi nama Dokter Layanan Primer. Profesi ini yang mengisi layanan primer dengan pendidikan post graduate. Dokter dengan kompetensi pendidikan layanan primer mampu melindungi masyarakat dengan pelayanan dokter yang berkualitas.

Pemerintah juga menyalahkan banyaknya rujukan ke pelayanan sekunder (RS) disebabkan dokternya tidak berkompeten, sehingga harus sekolah lagi. Artinya untuk praktek sebagai dokter umum di layanan primer menghabiskan waktu 9,5 tahun yaitu 6 tahun S1 kedokteran, 1 tahun internship dan akan ditambah lagi 3 tahun specialis DLP. Setelah spesialis dokter layanan primer ini barulah berpraktek sebagai dokter layanan primer seperti di Amerika dan Inggris.

Asumsi pemerintah itu ditantang keras oleh hampir sebagian besar dokter di tanah air yang telah merasakan bagaimana mahalnya kuliah di Fakultas Kedokteran. Banyak anak pintar yang ingin jadi dokter pupus cita-citanya karena mahal tidak terjangkau dan bagaimana susahnya praktek dengan segala keterbatasan.

Pernyataan pemerintah merupakan tuduhan yang tidak berlandaskan. Dibalikan lagi, perbuatan pemerintah yang terus mendukung Fakultas Kedokteran substandard (dibawah standar mutu pendidikan) itu juga merupakan penyebab kualitas dokter menurun.

Rakyat juga sudah menjadi saksi bagaimana keterbatasan sarana prasarana kesehatan, alat medis dan obat obatan serta jumlah dokter yang kurang yang setiap hari mengisi berita dengan kisah-kisah pilunya yang seharusnya menjadi perhatian prioritas dari penggunaan anggaran oleh pemerintah.

Apa yang sebenarnya menjadikan keberatan dari profesi dokter sehingga program ini di tolak dan menuai banyak kritikan? Saat ini pendidikan dokter sedang dalam kondisi yang tidak sejalan dengan pembangunan kesehatan. Pendidikan dokter mahal dan tidak terjangkau untuk rakyat menengah kebawah, padahal daerah yang kekurangan dokter adalah daerah yang status ekonomi masyarakatnya lemah.

Di Indonesia saat ini baru tersedia hampir 10.000 puskesmas, sementara yang dibutuhkan seharusnya 100.000 puskesmas. Dari ke 10.000 puskesmas itu belum semuanya terisi tenaga dokter, jika terisi hanya satu dokter itu juga tidak mencukupi karena tugas puskesmas sebagai promosi kesehatan dimana dokter harus berkeliling dan juga harus ada yang jaga di puskesmas untuk melayani pasien sakit. Panjangnya sistem pendidikan dokter tersebut tidak sejalan dengan kebutuhan dokter yang sudah kritis di tanah air.

Kurangnya sarana dan prasarana, alat kesehatan dan obat obatan  di layanan primer juga menjadi penyebab dokter tidak dapat bekerja dengan baik, pasien di rujuk ke pelayanan sekunder (RS) dan hal ini juga yang membuat dokter enggan ditempati di daerah yang minim peralatan medis, obat dan sarana faskes.

Proyek Besar

Undang-undang Pendidikan Kedokteran No. 20 tahun 2013 pasal 1 ayat 9 yang menjadi cantolan pendidikan Dokter Layanan Primer (DLP) bertentangan dengan Undang-undang No 29 tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran pasal 1 ayat 2. Dalam Undang undang pendidkan dokter 2013 ada penyisipan profesi baru yaitu Dokter Layanan Primer yang sebelumnya tidak ada dalam Undang-undang Praktek Kedokteran. Atas dasar ini kemudian diimplementasikan menjadi sebuah proyek besar pendidikan dokter layanan primer.

Kata Dokter Layanan Primer juga sebenarnya telah ada dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) 2012  sebelum lahirnya undang-undang Pendidikan Kedokteran. Dalam hal ini, SKDI telah disusun oleh PB IDI bersama Perhimpunan Dokter Pelayanan Primer (PDPP) yang terdiri atas Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI) dan Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) serta disahkan Konsil Kedokteran Indonesia.

Hal inilah yang menjadi landasan hukum atas pengakuan kompetensi lulusan dokter baru melalui Uji Kompetensi dan penjagaan kompetensinya lebih lanjut setelah 5 tahun melakukan praktik kedokteran melalui Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan.

Ketua Umum Pengurus Besar IDI, Prof.Dr.dr Oetama Marsis menegaskan Dokter dengan SKDI 2012 dapat mengatasi masalah dilayanan primer. Ia juga menambahkan dengan adanya Spesialis DLP itulah yang akan mengancam kompetensi mereka karena ada dokter umum dan dokter spesialis layanan primer.

Dokter Layanan Primer sendiri dalam Undang-undang, masih rancu apakah masuk spesialis atau masih umum. Sementara ada hampir 100 ribu lebih dokter yang menjadi anggota IDI dan mereka menjadi gate keeper di Fasilitas Kesehatan Primer saat ini.

Paket Recognisi

Dalam perjalanan penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), PB IDI juga keberatan dengan rencana Kementerian Pendidikan Tinggi yang akan memberikan pendidikan recognisi, yaitu dokter yang sudah diatas 15 tahun berpraktek langsung mendapatkan gelar Specialis Layanan Primer dan program transisi untuk dokter yang 10 tahun berpraktek hanya menjalankan pendidikan 6 bulan saja.

Perlakuan di atas tentu menabrak banyak hal dalam aturan pendidikan dokter dan undang undang staf pengajar pendidikan dokter dan paket recognisi nya serta pendidikan transisi  membuat tidak bermutunya pendidikan dokter.

Ikatan Dokter Indonesia melakukan audensi ke Komisi IX dan Komisi X untuk mengkaji lagi program ini karena menyebabkan proses pendidikan dokter menjadi lama padahal saat ini dibutuhkan dokter yang mau bekerja ke daerah. Anggaran yang besar untuk program yang tidak relevan sangat disayangkan. Dengan masalah pembangunan kesehatan saat ini mestinya bisa digunakan untuk program yang pro rakyat seperti  perbaikan sarana prasarana kesehatan, pemenuhan obat obatan dan penambahan jumlah puskesmas di daerah, beasiswa pendidikan dokter dan lainnya yang memang penting.

Apa kurangnya 100 ribu dokter umum yang selama ini menjadi gatekeeper di pelayanan primer dengan lulusan specialis layanan primer produk baru yang akan lauching? Dokter umum yang saat ini berpraktek di layanan primer berdasarkan SKDI 2012 memiliki kompetensi  144  penyakit (level 4). Dokter spesialis layanan primer yang saat ini akan di luncurkan memiliki kompetensi 155 penyakit (level 4). IDI mempertanyakan tepatkah selisih  11 penyakit membuka program studi baru setara spesialis?  Padahal, kekurangan ini dapat dimintakan ke Fakultas Kedokteran untuk menambahkan dalam perbaikan kurikulum dokter.

Untuk 100 ribu dokter yang saat ini berpraktek di layanan primer IDI memberikan solusi dengan menempuh Pendidikan dan Pelatihan Kedokteran berkelanjutan (PPPKB) terstruktur. Tidak perlu pendidkan formal yang memakan waktu dan anggaran yang besar

Dari kenyataan ini harusnya pemerintah mengkaji lagi implementasi program pendidikan dokter layanan primer ini. Pemerintah harusnya lebih peka dan pro rakyat seperti yang diamanatkan Undang-undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009. Pemerintah juga harusnya mendengar terikan terikan dokter umum, spesialis, dokter internship dan mahasiswa kedokteran. Perbaikan sistem pendidikan dokter, dan PPPKB jelas lebih tepat, cepat dan tidak memakan biaya besar dalam target peningkatan kompetensi.

*Penulis adalah dokter umum, lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada dan Pengurus  Ikatan Dokter Indonesia.

  

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru