Minggu, 2 November 2025

Kalah Bersaing, Elit Politik Selalu Tebar Politik Rasis

JAKARTA- Politik berbasiskan pertentangan ras tidak pernah berhasil efektif di Indonesia karena manusia Indonesia tidak memiliki asal sejarah kebencian subjektif terhadap ras yang lain. Dalam sejarah Indonesia, kebencian terhadap ras tertentu selalu ditebar oleh elit politik tertentu untuk menyingkirkan elit lainnya, dan tidak pernah efektif membawa perubahan secara mendasar. Demikian aktifis buruh, Danial Indra Kusuma kepada Bergelora.com setelah pemutaran film perdana tentang WJ Thukul, di Jakarta, Jumat (18/11).

“Berbeda dengan setiap orang Amerika kulit putih. punya kebencian terhadap kulit hitam dan berwarna lainnya. Tanpa harus berkelompok, secara pribadi mereka membedakan diri mereka dengan kulit berwarna. Sehingga kencing saja ada bilik kulit putih dibedakan dengan kulit hitam. Sehingga rasisme tumbuh di Amerika. Orang Indonesia tidak seperti itu,” ujarnya.

Ia menjelaskan, dalam sejarah Indonesia, kerusuhan anti cina di Bandung Mei 1963, Kalimantan, Oktober 1967 dan Jakarta Mei 1998, tidak akan terjadi tanpa injeksi dari operasi intelejen yang menjadi bagian dari elit politik tertentu yang sedang berkuasa dan bertentangan. Sementara rakyat dipasok kebencian, diprovokasi dan digerakkan sampai menjarah, merusak, menyerang sampai membunuh orang tionghoa.

Kerusuhan anti cina tahun tahun 1963 menurutnya digerakkan oleh mahasiswa-mahasiswa anti Bung Karno. Selain  keterlibatan eksponen anti Bung Karno, yang lebih ‘spektakuler’ lagi adalah temuan Peter Dale Scott, peneliti asal Amerika Serikat (AS), yang mengemukakan adanya ‘tangan’tangan’ AS dalam huru hara 10 Mei 1963. Dalam karyanya, Konspirasi Soeharto – CIA: Penggulingan Soekarno 1965-1967  (1998), Peter mengungkapkan adanya skenario AS dalam melancarkan aksi-aksi de-stabilisasi di Indonesia melalui  serangkaian bantuan bagi pihak  militer angkatan darat (AD)  atau Seskoad (Sekolah Staf Komando Angkatan  Darat) dalam program  MILTAC (Military Training Advisory Group) sejak tahun 1962.

“Melalui program ini para perwira AD di Seskoad dilatih untuk menyusup ke berbagai sektor seperti pemerintahan dan sosial kemasyarakatan melalui program Civic Mission Seskoad guna mencapai target-target politik yang diinginkan AS. Salah satu ‘karya’ Civic Mission tersebut adalah huru-hara Bandung 10 Mei 1963,” ujarnya.

Kerusuhan anticina di Pontianak, Kalimantan Barat menurutnya berlatar belakang operasi intelejen militer Orde Baru dibawah perintah Presiden Soeharto yang bertujuan menghabisi pengikut Bung Karno di seluruh Kalimantan khususnya yang sempat berjuang untuk konfrontasi Malaysia.

“Orang dayak digerakkan untuk mengejar dan membunuh etnis tionghoa di Kalimantan Barat dan Tengah dengan tuduhan pengikut Peraku (Pasukan Rakyat Kalimantan Utara) dan PGRS (Pasukan Gerilya Rakyat Serawah). Sebanyak 10.000 orang lebih tionghoa jadi korban,” ujarnya.

Kerusuhan berbau anticina Mei 1998 menurutnya juga didalangi oleh operasi intelejen militer Orde Baru. Pada waktu Presiden Soeharto sudah terdesak karena gerakan mahasiswa dan rakyat terus menerus menuntut dirinya mundur dari jabatan Presiden.

“Sudah sejak 1980-an gerakan mahasiswa dan rakyat berjuang menumbangkan Soeharto, Sampai dipuncaknya pada Mei 1998. Soeharto juga mendapat tekanan dari dunia internasional. Tiba-tiba kerusuhan berbau anticina muncul dan merebak diseluruh penjuru Jakarta. Itu adalah upaya terakhir Soeharto untuk melawan internasional dengan menakut-nakuti pakai isu anticina. Supaya modal asing pada lari,” ujarnya.

Aktivis gerakan buruh ini juga mengingatkan bahwa dalam sejarah, budaya bangsa Indonesia sangat adaptif dan terbuka pada setiap pendatang, sehingga bisa dengan mudah datang dan tinggal menjadi bagian dari bangsa Indonesia.

“Namun memang orang tionghoa selalu dijadikan korban oleh pertentangan elit dalam kekuasaan ekonomi dan politik. Seperti sekarang ini terus menerus dihembuskan sehubungan dengan Gubernur Ahok,” jelasnya.

Yang berbahaya menurutnya adalah jika kelas menengah menjadi ketakutan karena merebaknya isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) sehingga akan mematikan kreatifitas dan kritisisme yang hanya dimiliki oleh kelas menengah.

“Kalau begini, demokrasi bisa terancam, militerisme bisa tumbuh lagi mengambil alih kekuasaan. Oleh karenanya kelas menengah harus melawan ketakutan yang hanya ada dalam kepalanya, dalam realita ketakutan itu bisa dikalahkan dalam perlawanan,” ujar pendiri Partai Rakyat Demokratik (PRD) ini. (Wibowo Arif/Web Warouw)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru