Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, MH*
Belum hilang rasanya dari ingatan kita ketika para teroris menyerang Bali. Penyerangan para teroris itu tidak hanya terjadi di Bali saja, tetapi juga dibeberapa gereja yang ada di beberapa kota di Indonesia. Belakangan adalah teror bom di Gereja Oikumene, Samarinda, Kalimantan Timur yang mengorbankan seorang balita 2,5 tahun beranam Intan Olivia Marbun. Hal ini merupakan bukti bahwa di Indonesia masih banyak pelaku teror, dengan berbagai macam latar belakang alasan yang merupakan penyebab mereka melakukan aksi teror itu.
Masih adanya pelaku aksi teror ini merupakan bukti bahwa masih ada sebagian masyarakat Indonesia yang menjadi pendukung dan bersimpati terhadap para teroris itu. Para pendukung itu datang dari berbagai lapisan masyarakat. Ada yang merupakan sanak famili, hubungan emosional berasal dari satu kampung, satu organisasi, ataupun dari kelompok yang memiliki satu ideologi. Oleh karena itu, di dalam menyelesaikan masalah terorisme ini mau atau tidak mau, suka atau tidak suka harus mempertimbangkan rasa keadilan para pendukung aksi teror ini. Para pelaku serta para pendukung aksi teror ini sudah tentu memiliki alasan pembenaran masing-masing untuk membenarkan aksi yang mereka lakukan itu. Tidak adanya rasa keadilan justru berpotensi melahirkan teroris-teroris baru. Rasa keadilan ini tidak hanya harus dirasakan oleh para pendukung aksi teror itu, tetapi juga oleh para korban, dan masyarakat lain yang juga mengalami kerugian sebagai akibat dari adanya serangan aksi teror itu.
Untuk menjamin adanya keadilan bagi semua pihak dalam menyelesaikan masalah terorisme ini, maka satu-satunya jalan adalah menyelesaikannya lewat jalur hukum. Untuk itulah diperlukan adanya undang-undang yang mengatur tentang segala hal yang berkaitan dengan pemberantasan teror ini, dan pemerintah pada tahun 2003 meresmikan Undang-undang RI Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme. Undang-undang RI ini memberikan tugas dan wewenang kepada Polisi sebagai unsur utama di dalam memberantas aksi teror tersebut. Namun setahun kemudian pemerintah menetapkan satu Undang-undang RI lagi, yaitu Undang-undang RI Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, yang di antara pasalnya mencantumkan tugas dan kewenangan bagi TNI untuk memberantas aksi teror.
Masing-masing undang-undang ini mempunyai ciri-ciri khusus dalam penjabarannya. Undang-undang RI Nomor 15 tahun 2003 memberikan kewenangan kepada Polisi untuk memberantas terorisme dengan cara mempidananakan para pelaku aksi teror tersebut. Artinya para pelaku aksi teror harus diupayakan untuk ditangkap terlebih dahulu baru kemudian dibawa ke pengadilan untuk dipidanakan. Sedangkan Undang-undang RI Nomor 34 tahun 2004 memberikan kewenangan bagi TNI untuk mengatasi terorisme dengan cara melakukan operasi militer. Konsekuensi bila suatu operasi militer diambil sebagai keputusan, maka pelaku diizinkan untuk terbunuh. Walaupun operasi militer dalam rangka mengatasi aksi teror dikategorikan dalam bentuk Operasi Militer Selain Perang (OMSP).
Adanya perbedaan yang mendasar pada kedua undang-undang tersebut mengakibatkan adanya perbedaan pula dalam pelaksanaannya. Akan tetapi pada kenyataannya, ketika melaksanakan tugasnya, baik TNI maupun Polisi belum melaksanakan seperti apa yang diatur oleh kedua undang-undang tersebut. Sebagai produk hukum, kedua undang-undang itu harus dihormati keberadaannya. Pelaksanaan tugas dengan tidak memperhatikan aturan yang diatur didalam Undang-undang RI pada akhirnya akan menghasilkan masalah baru yang dapat berdampak kepada Ketahanan Nasonal. Oleh karena itu, maka kedua Undang-undang RI ini mutlak untuk dijadikan pedoman di dalam melakukan persiapan, maupun di dalam pelaksanaan pemberantasan aksi teror.
Yang menjadi permasalahan saat ini adalah bagaimana caranya agar kedua undang-undang ini dapat dijadikan pedoman untuk melaksanakan pemberantasan terorisme di Indonesia. Oleh karena itu, judul ini dipilih untuk mengingatkan bahwa gatra hukum mempunyai kaitan erat dengan gatra hankam, dengan harapan, bahwa dalam rangka menciptakan situasi hankam yang aman dan tentram, maka penindakan para pelanggarnya hendaknya harus benar-benar memperhatikan aturan perundang-undangan yang berlaku, agar tidak melahirkan permasalahan yang baru lagi.
UU No 34/2004 Tentang TNI
Landasan hukum pemberantasan terorisme oleh TNI adalah Undang-undang RI Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI. Tata cara pemberantasan terorisme dalam Undang-undang RI ini diatur dalam beberapa pasal yaitu pasal 5, pasal 6, pasal 7 dan pasal 18.
Dalam Pasal 7 telah diatur dengan jelas tentang tugas pokok TNI dan cara menjalankan serta persyaratan yang harus dipenuhi ketika akan menjalankan tugas itu. Dalam melaksanakan tugasnya dalam rangka menegakkan kedaulatan negara, menjaga keutuhan wilayah serta menyelamatkan bangsa, TNI melaksanakannya dengan cara melakukan operasi militer, yang bentuknya terdiri dari Operasi Militer untuk Perang (OMP) maupun Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Cara OMSP dilaksanakan salah satunya adalah untuk mengatasi terorisme. Dalam melaksanakan kedua bentuk operasi itu tidak bisa dilakukan secara otomatis, tetapi dibutuhkan satu persyaratan yaitu adanya kebijakan dan keputusan politik negara, sebagaimana yang telah diatur pada Pasal 5 dan Pasal 7 ayat 3 dalam undang-undang yang sama.
Dijelaskan juga dalam pasal 5 bahwa pelaksanaan tugas TNI harus selalu atas sepengetahuan dan seijin DPR. Setiap pelaksanaan operasi militer baik untuk perang maupun selain perang, harus seijin dan sepengetahuan DPR. Oleh karena itu, untuk melakukan operasi dalam rangka mengatasi terorisme harus mendapat izin dan persetujuan dari DPR terlebih dahulu
Sesuai dengan pasal 6 pada dasarnya TNI difungsikan untuk menangkal dan menindak segala bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata baik dari dalam maupun luar negeri, serta sebagai pemulih kondisi keamanan negara yang terganggu akibat kekacauan. Fungsi TNI sebagai penindak segala bentuk ancaman militer diperkuat dan sudah sesuai dengan Undang-undang RI Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara pada pasal 7 ayat 2 yang berbunyi : “Sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer menempatkan Tentara Nasional Indonesia sebagai komponen utama dengan didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung.”
Dalam pasal 18 dijelaskan bahwa operasi pemberantasan teroris adalah karena aksi terorisme termasuk salah satu diantara ancaman militer dan/atau ancaman bersenjata. Presiden untuk melakukan pemberantasan terorisme, dapat langsung mengerahkan kekuatan TNI tanpa meminta persetujuan DPR terlebih dahulu. Namun, setelah waktu 2 x 24 jam, Presiden harus melaporkan pengerahan kekuatan TNI tersebut kepada DPR. Selanjutnya, apabila DPR tidak menyetujuinya, maka operasi tersebut harus dihentikan.
UU No15/2003 Tentang Pemberantasan Terorisme
Landasan hukum pemberantasan terorisme oleh Polri adalah Undang-undang RI Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme, khususnya pasal 6 telah sangat jelas dinyatakan bahwa pelaku teror dipidana maksimal pidana mati. Yang perlu mendapat perhatian pada undang-undang tersebut adalah kata dipidana. Kata ini membawa konsekuensi bahwa para pelaku teror harus dihukum, bukannya langsung dibunuh. Para pelaku teror nanti dibunuh berdasarkan proses persidangan, bukan dibunuh dalam proses penangkapan atau di dalam proses penghentian aksi teror. Dengan demikian, Polisi sebagai pelaksana amanat undang-undang RI tersebut dalam melaksanakan tugasnya tidak boleh melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan pelakunya terbunuh. Polisi harus berusaha agar supaya pelaku aksi teror itu tertangkap hidup-hidup, bukannya terbunuh. Dengan demikian polisi tidak boleh disiapkan untuk membunuh para pelaku aksi teror.
Perbedaan Pelaksanaan
TNI dalam memberantas terorisme dilakukan dengan cara melaksanakan Operasi Militer dalam bentuk Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang harus mendapat persetujuan DPR sebelumnya, atau dapat segera melaksanakan operasi atas perintah presiden. Namun, dalam waktu 2 x 24 jam Presiden harus melaporkan operasi ini kepada DPR. Bilamana DPR tidak menyetujuinya, maka operasi harus segera dihentikan. Sedangkan untuk Polri dapat segera melakukan operasinya untuk menangkap pelaku aksi teror tanpa seizin DPR.
Cara memberantas terorisme yang dilakukan oleh TNI dilakukan dalam cara operasi militer, yang dalam pelaksanaannya pelaku aksi teror boleh terbunuh. Hal tersebut dikarenakan dalam operasi militer yang ada hanya membunuh atau dibunuh. Sedangkan Polri dalam mengatasi aksi teror harus dapat menangkap hidup-hidup pelaku aksi teror tersebut, untuk kemudian dibawa ke pengadilan dalam mendapatkan hukumannya.
Sehubungan dengan perbedaan tersebut, apabila Polri merasa tidak sanggup untuk menangkap hidup-hidup para pelaku aksi teror, maka Polri harus segera melaporkan kepada Presiden atau kepada Menkopolhukam dan DPR. Sehingga selanjutnya Presiden dapat segera memberi perintah kepada TNI atau keputusan politik dapat segera diambil oleh pemerintah dhi. Menkopolhukam dan DPR untuk segera menugaskan TNI dalam mengatasi aksi teror tersebut.
Pejabat-pejabat Penting Serta Tugasnya Yang Terkait dengan Operasi Pemberantasan Terorisme Berdasarkan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 dan Undang-undang RI Nomor 15 tahun 2003 adalah sebagai berikut :
1) Presiden bertugas untuk memutuskan apakah TNI akan langsung digunakan secepatnya setelah terjadinya aksi teror, seperti yang diamanatkan pada pasal 18 Undang-undang RI Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI. Keputusan presiden ini akan diambil apabila :
Presiden menginginkan agar aksi teror dapat segera diatasi untuk mengurangi kerusakan dan jatuhnya korban yang lebih banyak lagi sebagai akibat dari serangan para teroris. Bila hal ini terjadi, maka TNI secepatnya akan melaksanakan operasi militer untuk mengatasi aksi teror yang sedang berlangsung.
Presiden menilai bahwa Polri akan mengalami kesulitan untuk menangkap hidup-hidup para pelaku aksi teror, serta untuk menghindari jatuhnya korban di antara anggota Polri sebagai akibat dari upaya untuk menangkap para pelaku aksi teror.
2) Menkopolhukam bertugas untuk menilai situasi apakah Polri masih mampu untuk menangkap para pelaku aksi teror. Apabila Menkopohukam menilai bahwa Polri tidak akan mampu untuk menangkap para pelaku aksi teror tersebut, maka Menkopolhukam segera mengundang Panglima TNI dan Kapolri untuk mengadakan rapat kerja atau rapat konsultasi bersama DPR untuk memutuskan apakah TNI sudah dapat digunakan untuk mengatasi aksi teror yang sedang berlangsung.
3) DPR bertugas untuk menilai apakah Polri masih mampu untuk menangkap hidup-hidup para pelaku teror sebagai bahan untuk memutuskan ketika Menkopolhukam menyarankan agar TNI dapat segera diturunkan untuk mengatasi aksi teror yang sedang berlangsung
4) Panglima TNI bertugas untuk menyiapkan kekuatan TNI untuk sewaktu-waktu dapat segera diturunkan untuk mengatasi aksi teror yang sedang berlangsung berdasarkan perintah Presiden RI atau berdasarkan keputusan politik negara yang diambil dalam rapat kerja atau rapat konsultasi antara Menkopolhukam, Panglima TNI, Kapolri dan DPR.
5) Kapolri bertugas untuk segera mengerahkan kekuatan Polri untuk menangkap para pelaku aksi teror. Apabila Kapolri menilai bahwa Polri sudah tidak mampu lagi utuk menangkap hidup-hidup para pelaku aksi teror, maka Kapolri dapat segera melaporkan kepada Presiden atau Menkopolhukam untuk meminta bantuan kepada TNI dalam mengatasi aksi teror yang sedang berlangsung itu.
Pemberantasan Terorisme Saat Ini
Untuk memberantas terorisme saat ini, Undang-undang RI yang digunakan hanyalah Undang-undang RI Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme yang pelaksananya adalah Polri. Akan tetapi, hal yang sangat mendasar yang dikehendaki oleh Undang-undang RI tersebut yaitu PELAKU DIPIDANA, yang mengandung arti bahwa pelaku harus ditangkap hidup-hidup. Hal ini pada kenyataannya tidak dilaksanakan sama sekali oleh Polisi. Para anggota Polisi tidak disiapkan untuk menangkap atau melumpuhkan pelaku, tetapi Polisi lebih disiapkan untuk membunuh. Hal ini bisa terlihat dari cara berlatih yang tidak ada bedanya dengan latihan yang dilakukan oleh TNI, serta alat peralatan dan senjata yang melengkapi Polisi juga tidak ada bedanya bahkan melebihi TNI. Hal ini tentunya bertentangan dengan amanat Undang-undang RI.
Pada latihan maupun pada pelaksanaan pemberantasan aksi teror saat ini, belum pernah diskenariokan pentahapan sesuai yang diharapkan oleh kedua undang-undang tersebut. Namun kemungkinan yang bisa terjadi, para pejabat yang tersebut di dalam kedua undang-undang tersebut belum mencermatinya. Para pejabat penting yang terkait langsung di dalam pelaksanaan pemberantasan terorisme belum mengetahui bahwa mereka sebenarnya merupakan kunci dari pelaksanaan pemberantasan terorisme.
Sekarang ini ada pembicaraan untuk membuat undang-undang perbantuan TNI kepada Polri dalam rangka pemberantasan terorisme. Hal ini merupakan bukti bahwa kedua undang-undang yang sudah dibahas sebelumnya belum dipahami dengan benar. Pada kedua undang-undang itu sebenarnya sudah diatur dengan tegas dan jelas lingkup tugas masing-masing antara TNI dan Polri, serta kapan Polri mempersilahkan TNI untuk melaksanakan tugasnya sesuai dengan amanat yang ada di dalam undang-undang.
Pemberantasan terorisme secara rinci tata cara pelaksanaannya telah diatur di dalam Undang-undang RI Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI dan Undang-undang RI Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme. Akan tetapi, pada kenyataannya kedua undang-undang itu belum atau bahkan tidak dijadikan pedoman untuk melaksanakan pemberantasan terorisme. Kedua Undang-undang itu tidak dimanfaatkan dengan baik karena belum diketahui semangat yang ada didalam kedua undang-undang itu. Oleh karena itulah, maka isi dari kedua undang-undang itu perlu di pelajari dengan baik.
Hal yang harus dihindari dalam upaya mengatasi terorisme, adalah jangan sampai upaya yang dilakukan dalam rangka mengatasi aksi teror justru mengakibatkan lahirnya teroris-teroris baru. Untuk menghindari terjadinya hal seperti itu, maka segala aturan seperti yang telah diatur di dalam Undang-undang RI Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI dan Undang-undang RI Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan konsekuen. Selanjutnya yang perlu dijadikan perhatian, bahwa tata cara pelaksanaan pembarantasan terorisme ini harus disosialisakan agar diketahui dengan baik oleh seluruh lapisan masyarakat.
*Penulis adalah Kabais TNI 2011-2013