Ilustrasi, setiap perempuan adalah Kartini, setiap perempuan adalah guru generasi mendatang. (Ist)
Dengan tulisan, Kartini muda berkorespondensi dengan kawan-kawannya di Belanda. Lewat tulisan-tulisannya, Kartini juga menyuarakan ide-ide bagi kemajuan penduduk asli tanah kelahirannya yang kala itu berada dalam cengkeraman Belanda penjajah. Telly Nathalia, pendiri komunitas Perempuan Berkebaya, Chattra Kebaya, aktivis hak-hak pengungsi, penulis dan aktivis pers,–menuliskannya buat pembaca Bergelora.com. (Redaksi).
Oleh:TellyNathalia
ADA salah kaprah ketika memperingati hari Kartini tiap 21 April setiap tahunnya oleh bangsa Indonesia, yang bertepatan dengan peringatan hari lahir pahlawan nasional Raden Ajeng Kartini.
Salah kaprah ini selalu berakhir pada kegiatan wajib semacam lomba berbusana nasional bagi perempuan atau lomba berkebaya, berkain dan bersanggul.
Padahal, perjuangan Kartini bukanlah mengenai penggunaan busana tradisional. Bahwa pada masa itu, Kartini sebagai seorang perempuan muda bangsawan Jawa dengan gelar Raden Ajeng, memang menggunakan kebaya, kain, lengkap dengan konde dan segala asesoris pelengkap, merupakan sebuah fakta penggunaan busana sehari-hari pada masa itu.
Perjuangan Kartini mengenai emansipasi atau kesetaraan hak-hak perempuan Jawa, terkhusus di kalangan keluarga bangsawan bukan lewat penggunaan busana, melainkan melalui jalur literasi melalui tulisan-tulisannya.
Telly Nathalia. (Ist)
Dengan tulisan, Kartini muda berkorespondensi dengan kawan-kawannya di Belanda. Lewat tulisan-tulisannya, Kartini juga menyuarakan ide-ide bagi kemajuan penduduk asli tanah kelahirannya yang kala itu berada dalam cengkeraman penjajah Belanda.
Yang membuat Kartini terkenal adalah karena kemampuan menulisnya. Dan untuk dapat menulis, memiliki pemikiran yang visioner, bukan diperoleh Kartini dengan berpangku tangan.
Berkat kakak laki-lakinya RMP Sosrokartono yang terkenal karena menguasai setidaknya 35 bahasa, baik bahasa asing maupun bahasa daerah di nusantara, menjadi orang nusantara yang menjadi wartawan perang dan malang melintang di Amerika dan Eropa, Kartini selalu diberikan beragam topik buku bacaan.
Slogan buku adalah jendela dunia, telah dibuktikan Kartini. Ketika memasuki fase akil balig, saat di mana sebagai perempuan pada masa itu yang telah siap untuk dinikahkan, Kartini sebagai gadis bangsawan harus mengalami masa-masa dipingit, dibatasi ruang geraknya dari dunia luar karena disibukkan untuk mempersiapkan diri menjadi istri yang berbakti kelak, tetap menjaga koneksinya dengan dunia luar melalui buku.
Hanya buku-buku yang dihadiahkan kakaknya yang menemani hari-hari RA Kartini pada masa-masa itu.
Membaca buku, telah mengasah kemampuan merangkai kata Kartini yang kemudian dituangkan dalam bentuk surat-surat kepada sahabat-sahabatnya di Belanda.
Dalam surat-suratnya, Kartini tak hanya membahas tentang masalah emansipasi atau kesetaraan hak-hak antara perempuan dan laki-laki seperti hak untuk memperoleh pendidikan di lingkungannya, tapi juga digunakannya untuk menyampaikan pemikiran yang terbuka tentang mimpi-mimpinya akan status warga negara bagi kaum pribumi yang tentunya mengarah pada semangat nasionalisme.
Setelah Kartini meninggal pada 1904 saat melahirkan putranya, surat-suratnya menginspirasi perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia.
Surat-suratnya dikumpulkan dan dibukukan oleh kawan-kawan Belandanya, serta kemudian diterbitkan pada tahun 1911 dengan judul Door Duisternis tot Licht: Gedachten Over en Voor Het Javanese Volk. Buku ini kemudian diterjemahkan dalam beberapa bahasa termasuk Bahasa Inggris, Perancis dan Arab.
Dalam bahasa Indonesia, setelah diterjemahkan ulang oleh cucunya Prof. Haryati Soebadio, buku kumpulan surat-surat Kartini ini diberi judul: Dari Gelap Menuju Cahaya.
Peringatan hari Kartini, bukanlah soal busana, tapi bagaimana seorang perempuan mengembangkan literasi dengan banyak membaca dan tak hanya berhenti di situ melainkan melanjutkannya dengan merangkai kata-kata dalam tulisan yang di kemudian hari menjadi legasi berharga.
Bahkan surat-surat Kartini diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh penulis perempuan Suriah Aleyech Thouk untuk digunakan sebagai inspirasi mengobarkan rasa nasionalisme dan perjuangan kesetaraan gender di negaranya.
Kartini dikenal karena kemampuan literasinya. Kartini dikenal karena kemampuan menulisnya. Belajar dari Kartini, saat memperingati hari lahirnya tahun 2021 ini, perempuan Indonesia khususnya, hendaklah mengambil hikmah bahwa membaca dan menulis adalah jalan menuju cahaya yang memerdekakan jiwa. Mari kita ikuti jejak Kartini dengan makin membiasakan diri membaca dan menulis. Selamat Hari Kartini!