JAKARTA- Koalisi Save Sangihe Island (SSI) menyerukan dan memohon pada Mahkamah Agung untuk memeriksa dan
memutuskan perkara kasasi sengketa tambang di Pulau Kecil Sangihe agar hukum ditegakkan dengan peradilan yang bersih berdasar aturan kaidah dan norma hukum yang baik dan benar dengan mengedepankan rasa keadilan masyarakat yang ajeg. Hal ini ditegaskan Inisiator Save Sangihe Island (SSI) Jull Takaliuang, dalam orasi aksi damai di Depan Kantor MA, Kamis (17/11) lalu.
Ia juga memohon Mahkamah Agung untuk memerintahkan agar Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN) Jakarta, untuk segera mengembalikan sisa uang panjar perkara warga Pulau Kecil Sangihe yang berjumlah Rp 11.227.000 (sebelas juta dua ratus dua puluh tujuh ribu rupiah).
“Mahkamah Agung untuk membersihkan oknum-oknum hakim kotor di PTUN Jakarta dan PT TUN Makasar yang tidak jelas integritasnya yang terindikasi terlibat jual beli putusan,” tegasnya.
SSI juga mengultimatum melalui Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI untuk segara mengambil tindakan tegas dan memproses sesuai hukum oknum petugas lapas dan para pihak yang terlibat dalam penganiayaan dan penyiksaan pada Robison Saul di Lapas IIB Tahuna.
“Kami juga menuntut Presiden RI agar mencabut seluruh izin tambang di Pulau Kecil,” tegasnya.
Jull menjelaskan, hakim Mahkamah Agung (MA) diminta harus berpihak pada keselamatan rakyat dalam menangani perkara Perizinan Operasi Produksi dan perkara Izin Lingkungan yang secara bersamaan memasuki tahap kasasi di Mahkamah Agung. Tidak ada alasan MA menolak Gugatan Masyarakat Sangihe.
“Ke-Agung-an dan kemuliaan lembaga ini menjadi tumpuan dari harapan terakhir Warga Pulau Sangihe sebagai Pencari Keadilan,” ujar Jull Takaliuang.
Nasib Pulau Sangihe dipertaruhkan dalam dua perkara di tingkat kasasi ini yang mengancam dan menghantui hampir 150.000 jiwa rakyat perbatasan yang tidak berdosa, maka kami datang ke Mahkamah Agung, menuntut agar hukum ditegakkan dengan peradilan yang bersih sesuai norma dan kaidah yang mencerminkan rasa keadilan yang ajeg.
Sebagai rakyat perbatasan yang jauh dari Jakarta, menurut Jull, seharusnya MA memilih Majelis Hakim berintegritas, memiliki kompetensi di bidangnya serta tentu saja akan memeriksa dengan teliti, dan membuat keputusan yang jujur dan adil yang memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat Sangihe.
Sebab, Masyarakat Sangihe adalah nelayan-nelayan ulung yang membutuhkan laut yang sehat untuk kehidupan keluarganya. Kemudian di siang hari mereka akan mengelola kebunnya yang menghasilkan pala, cengkih, kopra (kelapa) dan tanaman pangan lainnya.
Makanan pokok orang Sangihe adalah sagu yang membutuhkan air bersih dalam pengolahannya. Para orang tua di Sangihe sudah banyak yang sukses menyekolahkan anak-anak mereka dengan hasil menangkap ikan dan pertanian. Bukan menjual emas.
“Jadi, kami tetap memilih hidup tenang , damai dan nyaman di Sangihe. Jangan hancurkan pulau kami, ruang hidup kami dengan alasan investasi tambang yang merusak lingkungan
dan tatanan kehidupan masyarakat. Masih banyak jenis investasi lain yang menghidupkan.
Yang bisa dikembangkan secara berdampingan misalnya, investasi di bidang Perikanan, Pertanian dan Pariwisata,” tegas Aktivis Perempuan itu.
Perjuangan para pejuang keadilan untuk mencari keadilan itu, tak mengenal kondisi dan situasi. Mereka terjang itu demi Sangihe Lestari.
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Kamis pagi itu (17/11) rakyat dari Sangihe menembus hujan Ibukota yang turun dengan deras, empat orang tim SSI yang datang dari Sangihe dan Manado tak menyurutkan niat melaksananakan
aksi mendatangi kantor Makamah Agung, Dirjen Lapas serta Istana Presiden bersama masyarakat diaspora Sangihe di Jakarta dan aktivis-aktivis jaringan NGO yang terlibat intens
dalam perjuangan menyelamatkan pulau kecil Sangihe.
Aksi damai demi untuk terus menyuarakan tuntutan pembatalan Ijin Usaha Operasi Produksi PT.Tambang Mas Sangihe (TMS) oleh Makamah Agung, sebab sekarang ini dua gugatan masyarakat Sangihe sedang berproses di level Kasasi di MA, dipimpin oleh Andrie dari Kontras dan Uyan Purwawa dari Jatam.
Dalam orasinya, Jull Takaliuang sebagai inisiator SSI mengeluhkan bahwa untuk tiba di Jakarta bagi mereka perwakilan SSI dari Sangihe bukanlah hal yang mudah. Melewati laut
dan udara dengan biaya yang mahal.
Tetapi kami terus berusaha dan berjuang agar kami masyarakat dari pulau perbatasan menghentakkan kaki di ibukota Jakarta mencari para pengambil kebijakan dan maupun
Hakim-Hakim Agung untuk meneriakan jeritan kekhawatiran dan dijelmakan dalam perjuangan rakyat Sangihe melalui Save Sangihe Island.
“Makamah Agung adalah tumpuan harapan kami untuk menyelamatkan pulau kecil
Sangihe dari ancaman kehancuran jika PT.TMS beroperasi. Upaya hukum yang kami tempuh
merupakan pilihan sulit di tengah carut marut wajah penegakan hukum di Indonesia,” ujarnya
Apalagi beberapa waktu belakangan terdapat fakta yang mencoreng keagungan institusi Makamah Agung (MA) dengan tertangkapnya 2 Hakim Agung oleh KPK
Agustinus Mananohas, seorang lelaki tua berusia 77 tahun asal kampung Salurang, Sangihe mengisahkan perjalanannya yang tidak mudah ke Ibukota Negara – Jakarta untuk terus
menyuarakan perjuangannya mempertahankan pulau Sangihe agar tetap nyaman dan lestari.
Opa Agus panggilannya, menyatakan dengan tegas bahwa apapun resikonya, ia tidak ingin pulau Sangihe hancur akibat pertambangan PT.TMS.
Meski di usianya yang tidak mudah lagi, Opa Agus sangat getol dan selalu di barisan depan jika warga penolak TMS mengadang alat berat yang dimobilisasi oleh TMS.
Ia menyatakan bahwa, demi pulau Sangihe di sisa umurnya, ia tidak mau mati karena penyakit, jika memang perjuangan SSI sampai titik darah penghabisan, akan lebih terhormat baginya mati berjuang menyelamatkan ruang hidup anak cucunya.
Opa Agus, adalah salah satu dari 7 penggugat IUP PT.TMS di PTUN Jakarta.
Kanti Janis, Putri Politisi asal Sangihe, Roy BB Janis (alm) menyatakan bahwa Gubernur Olly Dondokambey dapat saja langsung menghentikan PT.TMS dengan mencabut Ijin Lingkungan yang sudah dibatalkan oleh PTUN Manado. Sebab itu bukan UU. Demikian juga halnya dengan Menteri ESDM, bisa mencabut IUP TMS. Sebab ada regulasi yang melarang tambang di pulau kecil.
“Kenapa harus membuat rakyat berhadapan dengan negara dan susah payah berjuang seperti ini,“ tutur Kanti
Afdillah dari Green Peace, menyatakan bahwa Hakim MA harus berpihak pada keselamatan rakyat. Tidak ada alasan menolak Gugatan Masyarakat Sangihe
Veive Hamenda mengatakan saya sebagai putri Sangihe, tidak rela pulau saya lahir,
keluarga saya hidup dirusak oleh PT.TMS. Kami hidup dan bersekolah tidak dari tambang.
“Kami lebih menginginkan laut kami tetap bersih dan alam yang lestari yang sudah mensuplai pangan untuk konsumsi,” katanya.
Fikeman dari Econusa, Sangihe luasnya di bawah 1000 KM persergi. Ekosistem di pulau-pulau kecil harus dilindungi.
“Regulasi yang mengatur pulau kecil sudah jelas melarang tambang di pulau kecil,” tegasnya.
Sementara itu Ada komunitas masyarakat Papua yang menyatakan mendukung perjuangan
Sangihe. Seorang pemuda Papua menyerukan bahwa Sangihe bukan tanah kosong, Papua bukan tanah kosong, Tolak Tambang sampai Tuhan datang ke 2 kali.
Muhammad Jamil sebagai Kuasa Hukum penggugat menyatakan Menteri Luhut, Menteri Siti Nurbaya bahkan Presiden Joko Widodo memiliki keseriusan untuk menyelamatkan
pulau-pulau kecil. Di COP Mesir, pemulihan ekonomi pasca covid (sehatan), transisi energi dan perubahan iklim.
“Kami tidak melihat komitmen serius mengurusi perubahan iklim. Kenapa? Karena sampai hari tambang di pulau kecil masih ada. Sebab dengan naiknya
permukaan air laut, pulau-pulau kecil lah yang paling terancam,” katanya.
“Ekonomi apa yang bisa tumbuh dan transisi energi apa yang ingin diciptakan di lingkungan dan alam yang telah seluruhnya rusak?” tegasnya.
Diterima Panitera Muda MA
Sementara, Pihak Makamah Agung kemudian menerima lima ( 5) orang utusan masyarakat untuk berdialog menyampaikan persoalan yang dihadapi masyarakat.
Utusan yang masuk berdialong adalah Kanti Janis, Simson Katiandagho, Jull Takaliuang, Muhamad Jamil dan Didi Koleangan.
Mereka diterima dengan baik di salah satu ruangan Panitera Muda Perkara Tata Usaha Negara MA, Simbar Kristianto.
Dalam penyampaiannya Simbar mengatakan bahwa berkas-berkas kedua perkara tersebut sedang ditelaah, setelahnya akan dilanjutkan akan didaftarkan dan kemudian dikabarkan
kepada pihak-pihak terkait.
“Saat ini sedang ditelaah, belum ada nomor perkara dan belum ada penetapan majelis hakim. Paling cepat satu bulan selesai dan akan mendapatkan nomor urut permohonan kasasi,” ujarnya.
Jalan panjang warga Pulau Sangihe memperjuangkan keselamatan sebagai ruang hidup (inter-generational equity) dari caplokan pertambangan yang mengangkangi hukum adalah jalan berliku yang maha-sulit bagi rakyat di wilayah perbatasan negara dengan Filipina. (EDL)