Senin, 10 Februari 2025

KAWAL SAMPAI BATAL…! Saksi Ahli: Penerbitan IUP Yang tidak Sesuai  Peraturan Perundangan Harus Batal Demi Hukum

JAKARTA – Penerbitan IUP (Izin Usaha Pertambangan) yang tidak sesuai  kepentingan masyarakat dan ketentuan peraturan perundangan harus batal demi hukum.

Demikian ditegaskan Dua Saksi Ahli dari Perguruan Tinggi terkemuka di Indonesia, yang disampaikan kepada Majelis Hakim Peradilan Tata Usaha Negara ( PTUN), Jakarta, Rabu ( 16/3) di Jakarta.

Dr. Tri Haryati Dalimunthe, SH, MH dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia. (Ist)

Sidang lanjutan perjuangan menggugat perijinan PT. TMS yang hendak merebut ruang hidup masyarakat Sangihe kembali digelar  secara hybrid.

Gugatan terhadap perijinan PT.TMS itu dipimpin Hakim Ketua , Akhidat Sastrodinata, SH, MH, dengan menghadirkan dan mendengar kesaksian ahli  dari Kampus Universitas Indonesia dan Universitas Padjajaran Bandung. Masing masing, Dr. Tri Haryati Dalimunthe, SH, MH dan Dr. Maret Priyanta, SH, MH.  Kedua pakar ini berkarir sebagai dosen pada dua Perguruan Tinggi Terbaik di Indonesia.

Dr. Maret Priyanta, SH, MH. dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung. (Ist)

Dalam kesaksian itu , keduanya menyatakan dimuka  Majelis Hakim, pengacara dan disaksikan masyarakat Sangihe yang hadir, bahwa penerbitan IUP yang tidak sesuai  kepentingan masyarakat dan ketentuan peraturan perundangan harus batal demi hukum.

Tri Haryati, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia menuturkan bahwa, dalam penerbitan sebuah keputusan membutuhkan partisipasi masyarakat secara aktif.

Menurutnya dalam Undang-Undang Pertambangan, ketika pemerintah menerbitkan izin, ada kewajiban memberitahukan kepada masyarakat, melalui pejabat Pemerintah Daerah maupun DPRD.

Wanita berhijab itu menambahkan bahwa izin yang diterbitkan Kementerian ESDM hanya berlaku di bawah tanah.

Segala izin, persoalan yang ada di atas tanah harus diselesaikan oleh pemegang IUP atau IUPK. Perusahaan baru bisa melakukan tahapan produksi apabila telah memenuhi kewajiban sesuai perundang-undangan yang barlaku.

“Hal itu termasuk perijinan dasar seperti UU 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan IPPKH  ( Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan)serta pembebasan tanah masyarakat sudah harus diselesaikan dahulu sebelum tahap operasi produksi,” jelas Wanita bermarga Dalimunte ini.

Dr. Tri Haryati menekankan bahwa prinsip pasal 33 UUD 1945 mutlak dikedepankan bahwa segala sesuatu dilaksanakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat.

Sebaliknya tidak menganggu kepentingan masyarakat, menghargai hak asasi manusia bukan semata untuk kepentingan investor atau kepentingan kelompok tertentu.

“Asas manfaat terhadap masyarakat harus menjadi pertimbangan utama. Artinya asas manfaat, tidak hanya dilihat dari kepentingan negara tetapi juga melihat dampak kerusakan akibat penambangan tersebut, bisa saja negara mendapatkan 1.000 tetapi dampak kerugian yang dialami masyarakat melebihi nilai tersebut,” jelas Dr. Tri Haryati ketika menjawab pertanyaan  Pengacara Tergugat terkait arti asas manfaat dalam UU pertambangan.

Tiga Syarat Kelayakan

Saksi ahli kedua, menghadirkan Dr. Maret Priyanta, SH, MH , Dosen Universitas Padjajaran Bandung.

Ia menjelaskan bahwa dalam sistem hukum perizinan lingkungan di Indonesia harus memenuhi tiga syarat kelayakan, yaitu layak ruang, layak lingkungan dan layak usaha atau operasional.

“Layak ruang dasarnya adalah UU penataan ruang dan UU Pengelolaan Pulau Kecil dan Pesisir. Ruangnya harus layak dulu, Kalau ruangnya tidak layak, maka amdal yang disusun harus batal demi hukum,” Tegas Maret Priyanta dimuka Majelis Hakim  yang disampaikan melalui zoom.

“Demikian juga izin usaha yang berada pada ruang yang tidak layak harus batal demi hukum,” tambahnya.

Menurutnya, Konsep ini sesuai dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Bahwa kewenangan penataan ruang ada di tingkat Pemerintah Daerah. Hal ini disampaikan kepada pengacara tergugat ketika menanyakan bahwa saat ini PT TMS sudah mengantongi izin lingkungan.

Menurut Maret Priyanta yang juga  Seorang Dosen  di Unpad Bandung, bahwa izin lingkungan itu harus sesuai dengan keputusan Bupati A, atau Walikota B.

“Selama  belum ada izin lokasi tata ruang, izin tersebut tetap cacat hukum. Apabila izin tidak sesuai tata ruang, dapat dibatalkan,” jelas Maret.

Lebih lanjut Saksi Ahli ini menjelaskan bahwa Konstruksinya adalah, apabila masyarakat menanyakan sebuah perusahaan yang hadir di sebuah wilayah berdasarkan IUP tetapi tidak sesuai dengan tata ruang, maka Pemerintah Daerah setempat dapat melakukan tindakan administratif dengan meminta  penghentian kegiatan operasi perusahaan tersebut.

Kepada Bergelora.com dilaporkan, seperti diketahui, pada Januari 2018, Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe, menolak memberikan rekomendasi kesesuaian ruang kepada PT. TMS, karena bertentangan dengan UU 1 tahun 2014 tentang pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal ini sejalan dengan kesaksian ahli.

“Sebab kewenangan penerbitan tata ruang ada pada bupati/walikota,” demikian ditegaskan  Saksi Ahli, Dr. Maret Priyanta yang juga merupakan Dosen di salah satu Kampus terbaik di Indonesia dari Bumi Parahyangan Bandung.

Ketika pengacara penggugat, mengajukan saksi ketiga, Benhard Tuwokona Pilat, S.IP, M.Si, yang juga adalah mantan Kepala Dinas PUPR dan BAPPELITBANG Pemda Sangihe, pengacara tergugat mengajukan keberatan kepada Hakim, meski tanpa penjelasan alasan dari keberatan itu.

Majelis Hakim pun serta-merta menerima keberatan pengacara tergugat dan sepakat menolak saksi ketiga yang diajukan pihak penggugat.

Penolakan kesaksian oleh Majelis Hakim mendatangkan kekecewaan  Masyarakat Sangihe yang hadir dalam persidangan.
Tokoh masyarakat Sangihe Laksda  TNI (Purn) Soleman Ponto yang  juga Mantan Ka BAIS  mengatakan Hakim seharusnya mendengar kesaksian saksi ahli ketiga dari sisi penataan ruang daerah.

Karena yang bersangkutan terlibat dalam penyusunan Perda 4 tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Sanhihe.

“Sehingga Hakim bisa tau, kenapa di Sangihe tidak bisa ditambang?  Apa alasannya dibalik Perda RTRW Sangihe,” ujar  Tenaga Ahli Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) dengan nada kecewa.

Hal senada disampaikan Simson Katiandagho, Sesepuh Masyarakat Sangihe di Jakarta.

Menurut Dosen salah satu Akademi Pelayaran di Jakarta itu, Penting sekali sebenarnya bagi Hakim untuk mendengar kesaksian Pak Pilat.

“Tentang mengapa sikap Pemerintah Daerah menolak kehadiran PT TMS, dan apa huhungannya dengan UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, sehingga Hakim akan lebih pahami duduk persoalannya,” ujar Simson Katiandagho.

Meski demikian, kedua tokoh meyakini Majelis Hakim akan mempertimbangkan dengan seksama kesaksian dua Saksi ahli dan nantinya akan memutuskan dengan adil perkara ini. (EDL)

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,110PelangganBerlangganan

Terbaru