Oleh : Eva Kusuma Sundari*
Kepolisian Sumatera Utara seharusnya segera mencari dan memeriksa siapa pun yang menyebarkan kebencian serta menganjurkan kekerasan terhadap vihara dan kelenteng di Tanjung Balai.Pihak pemerintah juga harus membantu pembangunan kembali vihara dan kelenteng, korban pembakaran, serta memperbaiki bangunan dan mobil, yang dirusak, dalam kerusuhan massa di Tanjung Balai pada 30 Juli 2016.
Negara Indonesia harus netral dalam setiap kekerasan berbau agama. Siapa pun korban, termasuk kalangan etnik Tionghoa yang kebanyakan beragama Buddha dan Khong Hu Chu, harus dibantu memulihkan rumah ibadah dan kehidupan mereka. Sebaliknya, siapa pun pelaku kekerasan, yang mengatasnamakan agama apapun, juga harus ditangkap dan dihukum.
Kerusuhan di Tanjung Balai dimulai ketika seorang perempuan Tionghoa protes atas suara loudspeaker masjid Al Maksum. Menurut Polda Sumatera Utara, ini adalah ribut antar tetangga. Ia berlanjut dengan perempuan tersebut bersama dengan pengurus masjid –serta beberapa pihak lain termasuk individu dari Majelis Ulama Indonesia dan Front Pembela Islam (FPI)– menyelesaikan sengketa mereka di kantor kelurahan belakangan kantor polisi sektor setempat.
Mungkin secara sosial bisa dipermasalahkan koq seorang perempuan non-Muslim protes atas speaker masjid. Tapi keberatan tersebut bukan kejahatan. Wakil Presiden Jusuf Kalla sering protes atas loudspeaker masjid. Apakah kita hendak anggap Pak JK melakukan kejahatan? Saya kira tidak. Protes ini wajar. Bukan kejahatan.
Pada 2015, Jusuf Kalla, selaku ketua Dewan Masjid Indonesia, berulangkali minta speaker masjid diatur agar tak ada polusi suara. Dewan Masjid juga melatih 700 orang teknisi dengan 100 unit mobil teknis untuk membantu perbaikan speaker masjid.
Pada 1978, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dari Kementerian Agama mengeluarkan instruksi soal pengeras suara, batas volume maupun waktu serta orang yang berada di balik microphone, agar tak mengganggu lingkungan. Namun keberatan terhadap protes perempuan Tionghoa tersebut beralih jadi kebencian dan kekerasan terhadap vihara dan keleteng di Tanjung Balai.
Menyiarkan Kebencian
Pihak kecamatan dan kepolisian Tanjung Balai menduga ada orang yang memakai media sosial guna menyiarkan kebencian terhadap “kafir bangsat” dan “musuh Islam” serta mengubah sengketa ini menjadi kekerasan sektarian berupa pembakaran dan pengrusakan.
Polda Sumatera Utara bisa menelusuri Facebook dan You Tube guna mencari orang-orang yang menyebarkan kebencian serta mengajurkan kekerasan di Tanjung Balai. Polisi bisa mempelajari timeline serta foto dan video. Cukup banyak bukti bisa dipakai di media sosial buat menjerat mereka dengan pasal-pasal pidana.
Masyarakat memahami resiko dari argumentasi minoritas harus menghormati mayoritas. Perempuan Tionghoa di Tanjung Balai tersebut dianggap tak menghormati mayoritas Muslim.
Indonesia adalah negara yang punya bermacam agama dan suku. Mayoritas di suatu daerah bisa jadi minoritas di daerah lain. Menurut UUD 1945, setiap warga negara Indonesia, tanpa peduli agama, etnik, seksualitas atau apapun, punya hak dan kewajiban sama.
Pada 1953, Presiden Soekarno mengatakan jangan pernah ada aturan mayoritas dan minoritas di Indonesia. Perlakuan negara kepada setiap warga Indonesia harus sama tanpa pandang bulu. Ini harus ditegakkan dari Singkil sampai Tolikara, dari Bogor sampai Bali.
Dana bimas di Kementerian Agama seharusnya digunakan untuk program deradikalisasi termasuk sosialisasi Islam yang toleran dan taat konstitusi bagi umat Islam. Insiden ini menguatkan kebutuhan akan peran negara untuk melakukan sosialisasi Pancasila dan pilar-pilar berbangsa dan bernegara. Tidak bisa hal tersebut hanya diurus MPR apalagi negara sudah menetapkan 1 Juni 1945 sebagai hari Lahir Pancasila.
*Anggota Komisi XI DPR-RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (PDI)-Perjuangan. Wakil Koordinator Kaukus Pancasila DPR RI