PALEMBANG- Puluhan perwakilan masyarakat adat Suku Anak Dalam (SAD) Batanghari Provinsi Jambi dan perwakilan petani Jambi yang melakukan aksi jalan kaki 1.000 Kilometer Jambi – Jakarta Minggu (19/10) kembali melanjutkan perjalanan bergerak meninggalkan Simpang Bayat Muba, setelah semalam menginap dan berdiskusi di rumah warga Simpang Bayat, Banyu Lincir, Musi Banyuasin, Sumatra Selatan. Sebelumnya rombongan itu berangkat dari Jambi, Rabu (15/10).
“Aksi ini dilakukan setelah Pemerintah Daerah Kabupaten Batanghari, Jambi dan PT. Asiatic Persada, perusahaan asal Malaysia – Singapore mengkhianati hasil keputusan semua pihak untuk melakukan pengukuran ulang izin HGU PT. Asiatic Persada seluas 20.000 ha dan pengembalian areal seluas 3.550 ha milik masyarakat Suku Anak Dalam dan petani Jambi,” demikian Nurlela dari Serikat Tani Nasional (STN) kepada Bergelora.com di Banyu Lincir.
Menurutnya pengukuran ulang izin HGU PT. Asiatic Persada seluas 20.000 ha dan Pengembalian areal seluas 3.550 ha yang sudah disepakati oleh semua pihak yaitu Badan Pertanahan Nasional (BPN), DPR-RI, DPD-RI, Komnasham, Pemerintah Provinsi Jambi, bahkan pemerintah pusat merupakan jalan keluar untuk penyelesaikan konflik PT. Asiatic Persada yang sudah berlangsung selama 27 tahun lebih sejak tahun 1986.
Sejak berdirinya PT. Asiatic Persada secara terang-terang menggusur SAD. Bahkan perusahaan sawit asal Malaysia ini juga melakukan ekspansi lahan yang berakibat terampasnya lahan milik petani sekitar.
Lahan perkebunan HGU PT. Asiatic Persada sudah melebihi jumlah konsesi yang diberikan seluas 20.000 Ha. Saat ini diduga lahan PT. Asiatic Persada sudah mencapai 38.000 Ha atau sebanyak 18.000 Ha adalah perkebunan ilegal.
“Perampasan tanah dan penderitaan rakyat selama bertahun-tahun bukannya dipulihkan dengan mengembalikan kedaulatan hak tanah SAD dan tanah perkebunan petani, justru dibernarkan dengan mengkompensasi lahan bermasalah seluas 2000 Ha,” jelas Nurlela lagi.
Masyarakat SAD penerima lahan kompensasi harus berbagi hasil dengan perusahaan, selain itu mereka harus mengangsur pembayaran utang kredit perkebunan kepada perusahaan. Pola penyelesaian ini hanya kulit baru tapi isi lama: yaitu pola kemitraan.
Nurman, salah satu masyarakat dari Suku Anak Dalam menjelaskan bahwa lahan kompensasi 2.000 Ha ini sangat bermasalah. Pertama, sebagian lahan yang diperuntukan untuk masyarakat SAD masuk di wilayah kawasan HPT (Hutan Produksi Terbatas) yang pemanfaatannya tanpa seizin Kementerian Kehutanan RI.
Kedua, sejak tahun 1993 pembukaan perkebunan sawit PT. Maju Perkasa Sawit (MPS) dan PT. Jamartulen adalah ilegal. Sebab kedua anak perusahaan PT. Asiatic Persada tersebut beroperasi tanpa mengantongi izin, baik izin lokasi tahun 1993 maupun HGU.
Ketiga, pengalihan aset PT. Maju Perkasa Sawit (AMS) dan PT. Jamartulen seluas 7.150 Ha kepada PT. Asiatic Persada cacat hukum, pengalihan ini tanpa sepengetahuan BPN dan Pemerintah terkait, akibatnya negara dirugikan. Seharusnya PT. Asiatic Persada juga tidak boleh menerima pengalihan aset perkebunan baru dari perusahaan manapun sebab izin perkebunannya sudah melebihi bats maksimal HGU perkebunan: 20.000 Ha.
“Pembukaan lahan perkebunan secara illegal dan perambahan Kawasan Hutan ini semestinya ditindak secara hukum. Negara dan rakyat telah dirugikan. Karena itu, warga juga berencana melaporkan kasus ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),” ujarnya kepada Bergelora.com
Menolak Verifikasi
Menurut pemimpin aksi, Soleh, aksi juga menolak hasil verifikasi Pemda Batang Hari yang dilakukan Lembaga Adat Batang Hari., karena hasil verifikasi tersebut tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, serta keturunan (SAD) yang sebenarnya.
“Hasil verifikasi ini juga tidak sesuai SK Bupati Batanghari, sebab terdapat oknum pemerintah sebagai penerima lahan kompensasi. Dari hasil verifikasi ini juga terdapat nama-nama yang dicloning (ganda) dan tumpang tindih,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa, selama proses verifikasi berlangsung, Lembaga Adat Batanghari bekerja tanpa melibatkan Tim Verifikasi yang telah ditetapkan, Pemerintah Desa, dan tokoh masyarakat adat desa. Akibatnya, pemerintah mengesahkan proses verifikasi yang bermasalah. Jadi, Lembaga Adat Batanghari hanya menciptakan masalah baru, bukan menyelesaikanya.
Menurutnya, dalam prinsip penyelesaian konflik lahan yang mesti dicapai adalah keadilan agraria sesuai dengan UUPA No. 5/1960 ini dapat menjamin setiap warga Negara Indonesia mendapatkan kesempatan/akses atas tanah, agar terwujudkan keadilan social bagi seluruh rakyat.
“Praktek-pratek kolonialistik dalam pengelolaan agrarian yang hanya menguntungkan pemilik modal sudah semestinya diakhiri. Pemerintah harus kembali pada cita-cita konstitusi Pasal 33 UUD 1945, dimana kekayaan pertiwi ini sebesar-besarnya diperuntukan untuk rakyat,” ujarnya.
Untuk melaksanakan mandat konstitusi ini menurut Soleh dibutuhkan pemerintahan yang tegas berpihak kepada rakyat.
“Karena itu kami menuntut pengukuran ulang HGU PT. Asiatic Persada dan Kembalikan Areal Seluas 3.550 Ha milik Suku Anak Dalam sesuai Surat Intruksi Gubernur Jambi Nomor: S-525.26/1403/SETDA. EKABANG-4.2/V/2013 Tanggal 07 Mei 2013 atau Cabut Izin HGU No. 1 PT. Asiatic Persada sesuai dengan surat Kanwil BPN Provinsi Jambi Nomor: 1073/18-15/X/2013 Tanggal 24 Oktober 2013 dan Surat Gubernur Jambi Nomor: : S-525.26/3260/SETDA. EKABANG-4.2/X/2013 Tanggal 25 Oktober 2013 Perihal Rekomendasi Peninjauan Ulang Sertifikat HGU PT. Asiatic Persada,” ujarnya.
Ia juga menegaskan pengambilan alih Ex PT. Jumer Tulen dan Ex PT. Maju Perkasa Sawit (MPS) yang melakukan pembukaan lahan dan penanaman perkebunan sawit tanpa ijin (illegal) atau hanya mengantongi rekomendasi izin prinsip pencadangan lahan dari Gubernur Jambi pada tanggal 03 Desember 1991 menjadi milik Pemerintah Daerah Kabupaten Batanghari yang kemudian distribusikan tanah tersebut kepada masyarakat lokal Desa Bungku yang proses distribusi tanahnya melibatkan Pemerintah Desa Bungku dan tokoh-tokoh masayarakat Desa Bungku.
“Tindak dan adili PT. Asiatic Persada yang melakukan perambah kawasan hutan (HPT) maupun pejabat pemerintah yang melegalkan perambahan tersebut,” tegasnya.
Ia juga menuntut pencabutan SK Bupati Batanghari nomor 180 Tahun 2014 tentang penetapan Nama serta Peta Lokasi Warga SAD Penerima Lahan Kompensasi 2.000 Hektar dan hentikan kriminalisasi terhadap aktivis dan petani. (Mawardi)