Oleh : Erta Priadi Wirawijaya*
Anggaran Menyesuaikan Program atau Progam Menyesuaikan Anggaran? Terimakasih atas tanggapan pak Anjari Umarjianto Kepala Opini Publik Kemenkes yang intinya mengatakan bahwa program Kemenkes menyesuaikan dengan keterbatasan anggaran sehingga kemenkes harus memiliki prioritas dan prioritas pertama kemenkes saat ini adalah Rakyat.
Saya rasa berkelit dengan keterbatasan anggaran itu klise dan kurang anggun. Anggaran bisa direncanakan, apa yang pantas haruslah diberikan. Pemerintah menetapkan aturan UMR mau ngga mau harus dipenuhi oleh perusahaan kan? Pemerintah menetapkan aturan perusahan harus membayarkan asuransi kesehatan atau kecelakaan kerja mau ngga mau harus dipenuhi perusahaan kan?
Saya teringat sebuah kasus, dulu ketika saya kerja di sebuah RS Nasional Khusus Jantung sebuah BUMN yang beroperasional di pelosok kalimantan memberangkatkan petaninya yang mengalami serangan jantung dengan air ambulance ke Jakarta untuk tindakan dan perawatan lebih lanjut. Biaya transport belum lagi pengobatannya tentunya sangat besar. Tapi itulah kewajiban BUMN tersebut sebagai pemberi kerja.
Kemenkes mempekerjakan dokter, perawat, bidan di berbagai pelosok Nusantara. Risikonya tidaklah kecil, karenanya jaminan keamanan, kesehatan, dan asuransi jiwa / santunan jika hal terburuk terjadi sudah sepatutnya diberikan kemenkes untuk para tenaga kesehatan ini. Ini adalah kepatutan.
Bagaimana Sekarang? Saat ini, tenaga kesehatan dibekali Jaminan Kesehatan oleh BPJS dan tidak ada protap baku mengenai evakuasi gawat darurat. Dokter Internship yang bertugas di daerah terpencil bahkan diharuskan membayar sendiri asuransi kesehatan tersebut.
Belum lama ini ada kasus dr. Andra, dokter Internship yang sakit lantas meninggal dunia saat bertugas di daerah terpencil. Saat keadaan dokter Andra memburuk, keluarga dan teman-teman harus bersusah payah mencari cara untuk melakukan evakuasi medis. Setelah kejadian tersebut, hanya dalam rentang waktu beberapa minggu sudah ada beberapa kali kasus tenaga kesehatan yang meninggal saat bertugas untuk kemenkes. Ini membuktikan bahwa risiko nakes kerja di pelosok nusantara tidaklah kecil.
Santunan yang mereka terima dari kemenkes jika wafat adalah 6 – 12 kali gaji pokok plus piagam penghargaan. Santunan itu tentunya tidak sebanding dengan nyawa yang hilang.
Tenaga kesehatan yang bekerja di pedalaman dibesarkan dengan penuh perjuangan oleh orang tuanya, sekolah dengan biaya yang tidak kecil, dan seringkali memiliki keluarga yang masih tergantung kepadanya. Coba bayangkan seorang bidan, punya seorang anak. Bertugas ke daerah lantas meninggal. Diberi santunan 6 kali gaji pokok. Anggap nilainya 15 juta. Mana sanggup untuk uang sebesar itu untuk membiayai sang anak untuk sekolah hingga cita-citanya terwujud tanpa kendala.
Soal kompensasi atau santunan kita bicara Kelayakan dan Penghargaan yang layak. Piagam di dinding tidak akan bisa menyediakan makanan untuk sang anak. Tidak bisa pula digadaikan untuk biaya pendidikan sang anak. Tidak bisa dipeluk hangat untuk menggantikan sang ibu yang hilang.
Tanggung Jawab Pemerintah
Janganlah sebuah program dibuat dengan menyesuaikan dengan keterbatasan. Sama halnya janganlah pengobatan sebuah penyakit diberikan menyesuaikan dengan keterbatasan tarif Ina CBG. Segala sesuatu ada standarnya. Segala sesuatu ada kepantasannya. Kita harus mengejar hal tersebut, bukan menyerah karena keterbatasan yang ada. Jadi buatlah program yang pantas dengan anggaran yang semestinya, bukan buat program seadanya dengan menyesuaikan anggaran yang minim.
Kita ingin tenaga dokter, tenaga perawat, tenaga bidan, tersedia merata di seluruh Indonesia. Maka yang harus dilakukan adalah dengan memberikan mereka gaji yang layak, yang pantas, yang cukup sehingga mereka bisa mendedikasikan waktunya untuk pekerjaan tersebut. Coba jika gaji mereka tidak dibayarkan berbulan-bulan seperti yang sering terjadi saat ini, tentunya mereka akan resah dan prioritas pertamanya berubah jadi mencari makan.
Selain itu untuk memastikan adanya keberlangsungan harus ada jenjang karir di daerah. Sehingga mereka tidak menjadikannya sebagai batu loncatan, sebagai syarat karena wajib. Sebagai periode liburan sebalum mengikuti residensi. Kalau tidak ada hal itu, program tersebut tidak ubahnya bagai tambalan disebuah kapal yang tenggelam. Tenaga kesehatan akan selalu minim di daerah sehingga masalah kesehatan hanya akan terus membesar. Ujungnya kapalnya yang akan tenggelam karena masalahnya menjadi terlalu besar untuk dikendalikan.
Soal jaminan kesehatan itu sudah pasti harus diberikan. Janganlah mereka diminta dan diwajibkan ikut program BPJS. Bayarkanlah jaminannya oleh pemerintah. Anggarkan uang yang cukup sehingga kalau ada kejadian buruk, evakuasi bisa terlaksana dengan mudah. Bekali mereka dengan protap gawat darurat dan nomor hotline Kemenkes sehingga kalau ada kejadian gawat darurat, keluarga atau teman tidak pusing cari cara untuk evakuasi.
Soal asuransi jiwa, tidak usahlah dioutsource ke pihak ketiga. Buat saja Permenkes yang lebih baik sehingga overall cost bisa ditekan namun penghargaan yang diberikan cukup baik. Jangan hanya 6 kali gaji, sehingga cukup besar hingga keluarga yang ditinggalkan bisa hidup cukup. Cukup untuk makan dan cukup untuk sekolah. Intinya sesuaikanlah anggaran dengan standar yang layak.
Tidak banyak sebenarnya yang dituntut nakes, kami hanya minta untuk dianggap manusia. Saya yakin kalau hal itu sudah terpenuhi, masalah kesehatan di Indonesia perlahan akan terurai dan akhirnya rakyatlah yang akan diuntungkan. Bukankah itu yang jadi prioritas pertama kemenkes?
*Penulis adalah seorang dokter ahli jantung di Bandung. Tulisan ini diambil dari akun Facebook penulis, 1 Desember 2015