Selasa, 1 Juli 2025

Kerja Rodi Dokter Internship

Oleh: dr. Rahadi Widodo Pandoyo**

Dionisius Giri Samodra, 24 (tahun-red), dokter muda yang meninggal saat menjalani internship atau magang di Dobo, Kepulauan Aru, Maluku Tenggara, tak punya jaminan kesehatan saat mulai bertugas. Sebab, pemerintah baru mewajibkan BPJS Kesehatan bagi para dokter internship, Oktober tahun ini. Begitu, ya? Ternyata.

 

Seandainya berita meninggalnya dokter Andra tidak mencuat di media, hal ini tidak akan diketahui masyarakat umum. Kami para dokter pun baru tahu bahwa sebegitu dzalim nya pemerintah RI memperlakukan adik-adik kami, para dokter yang masih muda ini.

Dokter yang masih muda, bukan ‘dokter muda’. DULU, sebutan dokter muda itu kami sematkan pada rekan-rekan co-assisten di RS Pendidikan. Sebutan yang lebih menghargai dibanding panggilan co-ass.

Suatu kedzaliman nyata dari pemerintah, ketika mengirim seorang dokter untuk bertugas di institusi pelayanan kesehatan tanpa membekalinya dengan jaminan/asuransi kesehatan. Kita semua tahu, petugas kesehatan termasuk dokter, sangat rentan terpapar penyakit. Sungguh sadis kakak-kakak kita para dokter yang menjadi pejabat di Kemenkes RI, dengan “sengaja” membenturkan adik-adiknya pada penyakit, tanpa membekali jaminan apapun.

Barangkali, sumpah dokter untuk memperlakukan teman sejawat sebagaimana kita sendiri ingin diperlakukan, tidak berlaku lagi bagi dokter-dokter pejabat kemenkes.
Oh ya, bagi yang alergi dengan kritik terhadap pemerintahan sekarang. Maaf, saya tidak sedang mengkritik pemerintahan Bapak Jokowi.

Program Internship ini adalah produk pemerintahan SBY. Undang-undang Pendidikan Kedokteran yang mengamanatkannya juga dibuat di masa SBY. Permenkes yang mengaturnya pun dibuat tahun 2010. Itulah maka Bu Menkes sekarang tidak tahu-menahu.

Pemerintahan era Jokowi justru ‘lebih baik’. Yaitu mewajibkan dokter internship punya jaminan kesehatan sebelum diberangkatkan ke tempat tugas. Aturan itu baru berlaku Oktober tahun ini. Tapi baca lagi kalimat di atas. Poinnya adalah ‘mewajibkan’ bukan ‘menyediakan’.

Prakteknya, para dokter internship tersebut diwajibkan menjadi anggota JKN (Jamaninan Kesehatan Nasional-red)/BPJS kesehatan dengan MEMBAYAR IURANNYA SENDIRI, alias JKN MANDIRI. Keren, nggak?! Kalau ada pengusaha mewajibkan buruh di pabriknya untuk menjadi anggota JKN Mandiri dengan memaksa buruh itu membayar iurannya sendiri… apa itu namanya? Dzalim bukan?!

Oh ya, kita sudah dengar penjelasan Kepala Badan PPSDM Kemenkes dr. Usman Sumantri tentang dokter-dokter internship ini. Bapak dokter yang pejabat itu sudah memaparkannya di tivi berkali-kali. Iya, kita paham. Dokter internship tidak termasuk golongan ‘pegawai’ di Kemenkes. Beda dengan dokter PTT. Karena bukan pegawai maka mereka tidak diberikan fasilitas sebagaimana pegawai pada umumnya.

Lantas APA sebenarnya mereka itu? PEGAWAI bukan, MAHASISWA bukan.
Bu Menkes sudah minta maaf telah menyebut dokter internship sebagai mahasiswa. Sudah kita terima permintaan maafnya, kan?!

Pajak Biaya Hidup

Sebagai BUKAN PEGAWAI, maka dokter internship tidak digaji. Apapun pekerjaan yang mereka lakukan, anggap saja itu kerja rodi. Iya, itu istilah di zaman belanda. Di zaman jepang, namanya romusha. Di jaman ‘reformasi’ namanya internship.

Kalau ada pengusaha mengadakan kegiatan magang untuk karyawannya, tanpa memberikan gaji… apa itu namanya? Dzalim bukan?! Apakah pengusaha seperti itu akan dibiarkan saja oleh pejabat Disnaker setempat? Apakah tenaga-tenaga kerja kita yang ikut program magang ke Jepang, Korsel, dll tidak digaji? Tapi mereka menerima uang, kok? 2,5 juta per bulan?

Iya, tapi kata Bapak Kepala Badan PPSDM Kemenkes, itu bukan gaji. Itu bantuan biaya hidup. Hmm… baiklah, bantuan biaya hidup. BANTUAN? Tapi kenapa dikenakan pajak? Pajak apa namanya? PAJAK BANTUAN BIAYA HIDUP? Memang ada, ya? Coba rekan-rekan cari tahu, pajak apa itu. Kalau yang dipungut itu adalah PAJAK PENGHASILAN sebagaimana dikenakan terhadap pegawai pada umumnya, maka secara legal uang 2,5 juta itu adalah GAJI. Cuma Bapak Pejabat aja yang ngeles, supaya terbebas dari kewajiban memberikan fasilitas kepada ‘pegawai’ yang tidak diakuinya itu.

Program internship sudah terlanjur berjalan. Undang-undang Pendidikan Kedokteran yang mengamanatkannya sudah dibuat, diundangkan, dan ‘tiba-tiba’ muncul di tengah-tengah kita. Kebanyakan dari kita tergagap-gagap karena tidak mengetahui bagaimana asal-mulanya.

Bagi kita, yang tidak punya kuasa ikut-campur menyusun Undang-undang itu, wajar timbul pertanyaan, mengapa bikin program yang begitu rumit, aneh, dan kompleks seperti internship ini?

Kalau tujuannya meningkatkan kompetensi dokter baru, mengapa tidak diserahkan mekanismenya ke Kementerian Pendidikan (apapun nama kementeriannya). Bukankah lebih sederhana kalau fakultas kedokteran bekerjasama dengan institusi pelayanan kesehatan setempat untuk membimbing dokter menjelang lulus? Semacam co-ass stase luar begitu. Simpel, kan?

Penanggungjawabnya juga jelas, Kementerian Pendidikan. Tidak seperti sekarang. Kementerian Pendidikan sudah lepas tangan karena mereka sudah diwisuda dan bukan mahasiswa lagi. Sementara Kementerian Kesehatan tidak juga mengurusi karena menganggap mereka ‘bukan pegawai’ (bahkan sempat disebut masih mahasiswa). Terus siapa mereka? Anak-anak yang kehilangan induknya!

 

*Tulisan diambil dari akun Facebook dr. Erta Priadi Wirawijaya, spesialis jantung dengan judul asli “Gaji atau BHD?”

**Penulis adalah dokter spesialis paru di RSUD dr. HM Rabain, Muara Enim Sumatera Selatan

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru