Kamis, 3 Juli 2025

Ketika Putusan PN Jakpus Menantang UU Pemilu Yang Melanggar UUD Amandemen

Oleh: Toga Tambunan *

TERKEJUT! Itulah istilah tepat saat membaca tag berita di tv, tentang keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada hari Kamis 02.03.2023, atas perkara perdata terdaftar no. register 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst, gugatan atas KPU yang diajukan Partai Rakyat Adil Makmur (Partai Prima).

Diktum kelima amar putusan yang dibaca Hakim ketua:

“Menghukum Tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua ) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari”.

Keputusan PN Jakpus itu tegas mencantumkan lamanya bagi tergugat KPU yaitu waktu sisa tahapan persiapan pemilu yang sedang sibuk diproses.

Bermunculan reaksi amat hebat langsung meledak tolak putusan itu. Agaknya dapat bersaing dengan angin puting beliung yang sedang musim. Antara lain berasal dari sosok Wapres, Menko, mantan Presiden dan Menteri, nyaris semua sang Ketua Partai, juga beberapa Ketua Ormas, banyak legislator, beberapa pengamat sospol tajir biasa hadir di syuting tv, atau podcast dan banyak tokoh lagi.

Para penolak keputusan hakim PN Jakpus itu menganjurkan KPU lakukan terus aktivitasnya berjadwal semula. Bukankah statemennya tersebut membangkang tatanan ketatanegaraan negara hukum? Pejabat negara itu meski mengatakannya pendapat pribadi saja, tentu tidak bisa lepas dari kapasitasnya yang dapat mempengaruhi langkah berikut KPU. Mereka sepelekan vonnis pengadilan.

Jadi mundur (lagi) dari pembangunan harmonisasi antar lembaga negara dan pemerintah yang dibenahi berkeringat susah payah oleh Presiden Jokowi sejak dari awal jadi RI 1. Ironis!

Semestinya semua warga menghormati saja keputusan hakim PN Jakpus yang mengadili perkara 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst., gugatan Partai Prima itu.

Saya termasuk menyambut keputusan PN Jakpus secara wajar. Sesuatu kebijakan pemerintah yang kita tidak setuju wajib memprosesnya ke pengadilan. Jika ada persoalan krusial tunggu hakim pengadilan memutuskan vonnis dan hormati. Meski terkejut putusan tersebut.

Berbeda dengan saya samasekali tidak tahu menahu Partai Prima, simpati pun tidak, hanya umbar uneg-uneg, bela pikiran sendiri, sedang para anggota apalagi pimpinan Partai Prima pasti sangat gembira. Selain mereka, memang ada yang turut menyambut baik keputusan hakim yang digelar kontroversial itu.

Jika ditinjau ke tahun tahun berlalu, ketika legislator mengarsiteki Undang-undang Pemilu Nomor 7/2017, bukankah melampaui original intens pasal 22E UUD45 amandemen 2002? Legislatif menetapkan sistim proporsional terbuka itu melampaui sumber hukum.

Di pihak lain, MPR pembuat amandemen UUD 45 itu, mengkerdilkan kapasitasnya sebagai DPR menetapkan pasal-pasal antara lain pasal 22E itu, adalah domein DPR.

Mass media bergelora.com sudah merilis buah pikiran atas masalah tersebut dibawah judul _”Kog Ingkari UUD?”_ sebelum hakim PN Jakpus mengetok palu atas pemilu sistim proporsional terbuka.

Kualitas para legislator RI sejak rezim orba Soeharto, memang menghasilkan karya umumnya mengingkari aspirasi warga. Bahkan Undang-undang yang disahkan, sering kali berlainan dengan isi Undang-undang sebelumnya yang tetap berlaku. Akibatnya umumnya warga pun beralih nggak peduli atas produk legislatif, kecuali terpaksa.

Partai politik mengutus kader berkantor di Senayan, nampaknya banyak yang tidak pantas legislator. Warga pun ingat, banyak calegnya parpol untuk pemilu direkrut dari artis intertainment mengkapitalisasi popularitasnya doang di tv, bukan menakar integritas politik yang dikandungnya.

Jadilah kusebut musibah dari legislatif merekayasa Undang-undang pemilu 2004 melampaui bunyi UUDasar1945 amandemen 2002.

Terkait kondisi itulah bunyi amar hakim PN Jakut disebut diatas merupakan guntur menggetarkan persada Indonesia. Kiranya masih ada hakim yang tegak lurus pada UUD, sekalipun UUD45 amandemen 2002. Betapapun amburadul, UUD 45 amandemen 2002, wajar atau seharusnya sejauh mungkin dapat meredusir spekulasi hukum yang sering terjadi, seperti putusan hakim PN Jakpus

Sebelumnya tidak demikian. Misalnya perkara korupsi mantan presiden Suharto, ternyata SP3. Spekulasi menghentikan proses keadilan jadi kenyataan. Atau terhadap Setya Novanto, mantan Ketua DPR, terbukti korupsi divonnis puluhan tahun, ternyata dijalani hanya beberapa tahun. Begitu juga terhadap Anas Urbaningrum, mantan Ketum Partai Demokrat. Dll. Bahkan ada nyata koruptor, ternyata divonnis bebas. Aneh, legislator ternyata nongkrong saja di DPR.

Patut angkat jempol pada hakim yang menghukum KPU tidak melanjutkan proses jadwal persiapan penyelenggaraan pemilu 2024, meski putusan itu nanti dibatalkan pengadilan lebih tinggi atau mereka disalahkan Komisi Yudisial.

Terhadap putusan hakim PN Jakpus itu, KPU telah berreaksi benar, yakni mengajukan banding. Kita pun apresiasi reaksi KPU demikian, yang selayaknya tetap hormat pada amar PN Jakpus diatas.

Lembaga pengadilan pun beberapa oknumnya juga busuk sehingga marwah lembaga itu buruk. Tapi selayaknya dari luar jangan pula mereduksi perannya.

Barangkali anjuran sepelekan putusan hakim PN Jakpus itulah pemicu insinuasi yang mengatakan mungkin ada pemain nonhakim berperan terbitnya amar PN Jakpus itu.

Waspadalah, insinuasi itu bukti nyata adanya settingan tingkatkan kondisi kini agar lebih kacau, menambah kegaduhan atas maraknya pemerkosaan murid di pesantren serta kedongkolan warga terhadap kekayaan pejabat pajak serta pejabat bea cukai yang tak wajar, yang diantaranya terungkap ke media.

Perkara perdata gugatan Partai Prima itu, mengkaji ketidaktaatan proses pemilu pada UUD45 amandemen 2002 khususnya terhadap pasal 22E yang menetapkan sistim pemilu proporsional tertutup. Perkara demikian itu ranah Mahkamah Konstitusi. Maka (menurut hemat saya) berlebihan bagi kapasitas PN Jakarta Pusat mengadilinya.

Tidak dapat dipungkiri urgensi sistim proporsional terbuka. Mengingat pemilu paling demokratis tahun 1955, dirayakan 91,54% peserta terdaftar memilih dan 87,65% suara sah dilangsungkan secara sistim proporsional kombinasi tertutup terbuka.

Menyelesaikan tuntas sistim proporsional tertutup terbuka itu, domain MPR. Semestinya para Pimpinan dan anggota MPR serta parpol, segra berbuat membuka panca indra serta akalbudinya perihal carut marut perundang-undangan negeri kita ini.

Sekali lagi, jangan tutup mata,— Pasal 3 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan ada 11 prinsip penyelenggara pemilu, yaitu Mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, “terbuka”, proporsional, profesional, akuntabel, efektif, dan efisien.

Sedang pasal 22E ayat 1, dari UUD 45 Amandemen 2002 yang seharusnya menjadi induk segala undang-undang dan peraturan di negeri ini berbunyi:

“Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Tidak menyebut “terbuka”

Pasal 22E ayat 3: “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.’’’

Tidak ada nama calon legislatif!

Putusan hakim PN Jakpus itu telah telak menggertak menantang para legislator, lembaga legislatif dan parpol negeri kita ini.

Bekasi, 7 Maret 2023

*Penulis, Toga Tambunan, pengamat sosial politik

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru