Kamis (27/7), 22 tahun lalu tepatnya pada 27 Juli 1996 terjadi kerusuhan di kantor DPP PDI, Jalan Diponegoro No. 58, Menteng, Jakpus. Partai Demokrasi Indonesia barusan selesai memilih Megawati Soekarnoputri menjadi Ketua Umum dicurigai membahayakan kekuasaan Soeharto dan Orde Baru harus dipatahkan. Maka operasi penghancuran dimulai dengan menyerbu kantor DPP PDI. Dr. Ribka Tjiptaning saat itu sebagai Ketua DPC Tangerang PDI Pro Mega, bersama Partai Rakyat Demokratik (PRD) membentuk Komite Pembela Megawati (KPM) berada di depan yang melakukan perlawan bersama kader PDI dan pendukung Megawati yang setia. Perlawanan terhadap penyerbuan kantor PDI menjadi salah satu tonggak penting dalam melawan Orde Baru. Agar tidak lupa sejarah, Bergelora.com menurunkan wawancara Elva Nurrul Prastiwi dari www.gesuri.id dengan Ribka Tjiptaning, Jum’at, 27 Juli 2018. (Redaksi)
KAMIS, 27 Juli, 22 tahun lalu tepatnya pada 27 Juli 1996 terjadi kerusuhan di kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Jalan Diponegoro No. 58, Menteng, Jakarta Pusat. Peristiwa tersebut lebih dikenal dengan nama Kudatuli atau Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli.
Saat itu, terjadi pengambilalihan paksa Kantor DPP PDI oleh massa pendukung Soerjadi. Padahal keputusan Kongres Jakarta memutuskan Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDI.
Bibir Ribka Tjiptaning bergetar ketika menceritakan peristiwa itu, bagaimana tidak Mbak Ning begitu sapaan hangat Ribka Tjiptaning menjadi saksi hidup peristiwa yang menyayat hatinya. Kala itu Mbak Ning ditunjuk Megawati Soekarnoputri sebagai tim kesehatan di klinik dalam lingkungan kantor DPP PDI.
Sebagai tenaga medis, Mbak Ning hafal betul setiap jeritan kesakitan para korban dari kebrutalan aksi massa saat itu. Rasa takut bercampur dengan tuntutan kesigapan dirinya sebagai tenaga medis menolong para koban juga berjalan.
Untuk mengenang peristiwa tersebut, Ribka yang kini menjabat Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Sosial dan Penanggulangan Bencana bersama kader dan simpatisan lakukan aksi tabur bunga. Berikut penuturan Mbak Ning secara eksklusif ke Gesuri.id.
Mbak Ning, bisa ceritakan pengalamannya saat peristiwa Kudatuli terjadi waktu itu?
Kita tahu sebenarnya dari tahun 1994 itu sudah ada gejalanya, zaman orde baru kan ada tiga partai, PDI, Golkar dan PPP. Zaman kita orde baru tidak ada satupun orang yang berani memaki atau menghujat Soeharto, 32 tahun orang dikungkung untuk tidak berani berbicara. Lalu kemudian muncul sosok Megawati yang saat itu dijadikan lambang perjuangan rakyat, mungkin ekstrimnya bisa dibilang lambang perlawanan rakyat.

Saat itulah orang mulai berani bicara hak-hak kita, kebetulan Mbak Mega statemennya di Kongres Luar Biasa (KLB) tujuannya mengembalikan kedaulatan di tangan rakyat. Kalau zaman orde baru, kedaulatan berada ditangan penguasa.
Kemunculan Megawati kemudian dihambat, saat itu Mbak Mega sudah terpilih menjadi ketua umum, namun mendapatkan sejumlah hambatan. Selanjutnya, diadakan Musyawarah Nasional (Munas) di Jakarta pada 22 Desember 1993, yang menetapkan Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDI kala itu.
Terjadilah perpecahan dua kubu, antara masa pendukung Soerjadi kekeh menganggap sah Soerjadi sebagai ketua umum dan masa pendukung Megawati. Saat itu masa pendukung Megawati semakin kuat dan kencang diberbagai daerah dan dari segala organisasi, baik itu LSM, Ormas dan PRD (Partai Rakyat Demokratik). Megawati kala itu merupakan lambang perlawanan rakyat yang menentang orde baru, dari situ mulailah ada keterbukaan.
Karena hal tersebut, diduga, ada unsur atau oknum pemerintahan Orde Baru yang menginginkan turunnya Megawati sebagai pimpinan PDI. Akibatnya, terjadilah bentrokan di Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro Jakarta yang saat itu pendukung Soerjadi ingin menguasai kantor PDI. Dulu ini hanya rumah kecil, tidak bagus, sangat sederhana, tapi rumah ini merupakan lambang partai, rumah perjuangan.
Saat itu, faktor apa yang membuat Mbak Ning mendukung penuh Megawati?
Dulu orang ikut Megawati itu tidak ada janji ini itu, tidak ada janji mau jadi anggota dewan, gubernur, bupati atau wali kota, itu tidak ada. Yang namanya ikut Megawati ya harus siap di penjara, siap dipecat kerja. Seperti saya sebagai dokter kala itu ya siap klinik dicabut ijin. Tapi luar biasa, dulu militansi orang pendukung Mbak Mega itu ya sisa-sisa sendal jepit. Kaum intelektual itu dulu ada di Golkar, kalau yang dianggap muslim yang alim itu ada di PPP, dan sisanya yang dibilang kaum marjinal, preman, itu ada di PDI. Dan sampai saat ini pun stigma itu masih terus berlanjut, pendukung Mehgawati itu berani, tidak ada rasa takut, ya apa adanya. Bahkan saat itu, siapa yang mendukung Mbak Mega itu ditahan, yang pegawai dipecat, yang pengusaha ya usahanya dibubarkan.
Kerusuhan 27 Juli 1996 itu korbannya banyak sekali, Komnas HAM mencatat ada lima orang yang tewas, ratusan luka-luka dan puluhan dinyatakan hilang. Tapi sebenarnya banyak yang tidak tercatat oleh Komnas HAM. Bahkan saat peristiwa itu terjadi, klinik kesehatan yang ada di Kantor DPP PDI pun dibakar habis, hancur semua. Saya diamankan oleh teman-teman ke LBH sambil jahit korban tanpa obat bius. Jahitnya pun pakai benang buat baju. Tapi Tuhan itu luar biasa, waktu itu tidak ada obat bius pun orang tidak merasakan sakit. Saya ingat telah mengamputasi jari almarhum Munir Said Thalib.
Ingat peristiwa itu, saya dari kemarin disini nangis, akhirnya berdiri juga ini gedung dan saat ini menjadi Kantor DPP PDI Perjuangan yang diketuai oleh Megawati Soekarnoputri.
Harapan kedepannya kepada pemerintah terkait kasus Kudatuli apa Mbak?
Kalau di PDI Perjuangan sendiri, dari mulai Mbak Mega presiden, sampai saat ini, jelas kongres rekomendasinya tetap menuntaskan kasus 27 juli. Ini juga salah satu rekomendasi yang diberikan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) supaya menuntaskan, dan rekomendasi itu dibahas dalam rapat kerja nasional (Rakernas) DPP PDI Perjuangan.
Pesan-pesan positif apa yang dapat diambil dari kasus Kudatuli?
Kita berharap memang sekarang PDI Perjuangan katanya partai terbuka untuk siapa saja, sehingga ada yang berbeda partai pun masuk. Ya ingatlah, kalau kita bilang jas merah-jas merah, bagaimana kita mau ingat Bung Karno kalau kita sendiri tidak ingat sejarah partai kita yang di depan mata.
Teman-teman yang baru bergabung harus tau sejarah partai ini seperti apa. Bahwa dulu ikut Bu Mega itu tidak ada janji kursi yang ada bagaimana loyalitas dan sampai mana keberanian kita.(Elva Nurrul Prastiwi)