Selasa, 10 Desember 2024

Menanti Janji Penuntasan Kasus Kudatuli 1996

Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Sosial dan Penanggulangan Bencana Ribka Tjiptaning memimpin aksi setelah tabur bunga mengenang peristiwa 27 Juli di Jakarta, Jumat (27/7). (Ist)

Abainya penuntasan pelanggaran hak korban berpotensi membudayakan dan melestarikan adanya imunitas ke pelanggaran hukum dan HAM. Sampai saat ini keluarga korban penyerbuan kantor DPP PDI di Jalan Diponogoro, Jakarta, masih menanti penuntasan kasus Kudatuli (Kerusuhan 27 Jul 1996). Bergelora.com menurunkan tulisan Elva Nurrul Prastiwi di www.gesuri.id ( Redaksi)

Oleh: Elva Nurrul Prastiwi

PERISTIWA kerusuhan 27 Juli 1996 (Kudatuli) jadi peristiwa sabtu kelabu dimana ada kejadian pengambil alihan secara paksa kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dari massa pendukung Megawati Soekarnoputri oleh massa Soerjadi (Ketua Umum PDI versi Kongres PDI Medan) yang dibantu oleh aparat negara di jalan Diponegoro Nomor 58 Jakarta Pusat.

Motif terjadinya peristiwa penyerbuan merupakan kekhawatiran dari rezim Soeharto beserta kroni-kroninya terhadap bangkitnya kekuatan pro demokrasi yang direpresetasikan melalui munculnya Megawati Soekarnoputri dalam percaturan partai politik yang didapuk menjadi Ketua Umum PDI saat KLB Surabaya.

Guna memberangusnya, Soeharto mengunakan alat-alat negara untuk menghabisi kekuatan Megawati Soekarnoputri beserta simpatisannya.

Pemicu penyerbuan kantor DPP PDI dimulai dengan adanya propaganda yang memunculkan kebencian dan kemudian meluas serta menimbulkan kerusuhan di beberapa wilayah di Jakarta, khususnya di kawasan jalan Diponegoro, dan Salemba Kramat.

Ini tidak saja terjadi adanya kerugian materi berupa beberapa kendaraan dan gedung terbakar, melainkan juga patut diduga adanya peristiwa lanjutan berupa penculikan dan pembunuhan.

Dalam peristiwa ini, diduga adanya kejahatan terhadap kemanusiaan karena telah terjadi perencanaan yang sistematik dan penyebaran kekerasan yang meluas. Sejumlah pejabat Depdagri dan mantan petinggi ABRI/Polri diduga terlibat dalam peristiwa tersebut, seperti Mantan Pangab, Faisal Tanjung, Mantan Kapolri, Dibyo Widodo, Mantan Dirjen Sospol Depdagri, Soetoyo, Mantan Kasdam Jaya, dan Susilo Bambang Yudhoyono

Berdasarkan hasil investigasi Komnas HAM, peristiwa 27 Juli 1996 telah mengakibatkan, 5 orang meninggal dunia akibat kerusuhan dan 11 orang meninggal di RSP Angkatan Darat, 149 orang megalami luka-luka termasuk aparat keamanan, 23 orang hilang, dan 124 orang ditahan.

Komnas HAM juga menyimpulkan, telah terjadi sejumlah pelanggaran HAM. Dokumen dari laporan akhir Komnas HAM menyimpulkan dugaan terjadinya pelanggaran HAM berat dalam peristiwa 27 Juli 1996 sebagaimana diatur dalam pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Meski saat ini Komnas HAM belum menetapkan peristiwa 27 Juli 1996 sebagai pelanggaran HAM berat karena belum menemukan keterkaitan antara fakta penyerangan sekretariat PDI yang menimbulkan korban dengan pihak yang diduga sebagai pelaku penyerangan.

Semestinya, Komnas HAM dapat menambah bukti guna mengukuhkan melalui proses penyelidikan adanya indikasi keterkaitan antara fakta penyerangan sekretariat PDI dengan menghubungkan beberapa peristiwa yang terjadi sebelum 27 Juli 1996, seperti adanya kebencian-kebencian yang direncanakan oleh penguasa terhadap aktivis  pro demokrasi,  mengintimadasi, menangkapnya dan intervensi Negara melalui gubernur dan menteri dalam Negeri saat berlangsung KLB Surabaya tanggal 2-6 Desember 1993 di Asrama Haji Sukolilo.

Dengan demikian, peristiwa penyerangan atas sekretariat PDI bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri melainkan saling berhubungan yang membuktikan adanya perencanaan secara sistematis, meluas serta di iringgi adanya faktor-faktor pemicu terjadinya pelanggaran HAM berat. 

Dorongan untuk mendukung secara politik bahwa peristiwa 27 Juli 1996 sebagai pelanggaran HAM berat guna mengungkapan siapa pelaku dan mendalangi peristiwa 27 Juli 1996 harus terus dilanjutkan.

Karena dengan penuntasan dan pengungkapan perstiwa 27 Juli 1996 akan memberikan kepastian adanya komitmen Negara dalam menjalanan obligasinya sebagai entitas pelindung setiap orang untuk menjalanan hak setiap orang memiliki kebebasan dan keamanan pribadi dalam berpolitik dan meaktualisasikan dalam suatu partai politik.

Abainya penuntasan terhadap penuntasan pelanggaran hak korban peristiwa 27 Juli ini berpotensi membudayakan dan melestarikan adanya imunitas terhadap pelaku pelanggaran hukum dan HAM di Indonesia.

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,110PelangganBerlangganan

Terbaru