Oleh: Haris Rusly
Kita perlu mengenali dan mendefenisikan keadaan saat ini melalui gejala yang dapat kita lihat melalui media massa maupun pengalaman yang kita jumpai sehari hari. Keadaan seperti apa yang sedang kita hadapi saat ini ketika harga komoditas yang jatuh di level terendah, sehingga para saudagar dan taipan tak bisa lagi merampok di sektor tersebut.
Salah satu ciri dari keadaan saat ini adalah ketika sebuah pemerintahan dibajak, dikuasai dan dikendalikan oleh komplotan saudagar yang bermental “kontraktor” dan taipan yang bermental “pedagang”.
Mental kontraktor selalu merampok melalui berbagai skema projek pemerintah yang dibiayai APBN/APBD atau projek yang di-“create” atas kerjasama dengan investor asing dengan menjadikan negara sebagai jaminan. Jika projek yang di-“create” tersebut gagal, maka negara yang menanggung bebannya. Mental dagang selalu menjadikan impor sebagai sarana perampokan. Orientasinya hanya mengeruk keuntungan dan menumpuk kekayaan. Mental dagang menempatkan pabrik rakitan dan distributor produk industri asing.
Mental kontraktor dan mental dagang dari komplotan saudagar dan taipan tersebut yang menghambat pertumbuhan industri nasional kita. Orientasi kontraktor dan dagang selalu berorientasi untuk membajak institusi pemerintah sebagai alat untuk merampok melalui skema projek dan impor.
Berbeda dengan chaebol, konglomerat di Korea Selatan yang selalu berorientasi pada pembangunan industri yang mensyaratkan adanya riset dan inovasi untuk melahirkan produk baru. Sebagai contoh dari perusahaan yang dimiliki charbol Korsel yg melahirkan sejumlah produk adalah Hyundai, Samsung, LG, SK Group, Ssangyong, Daewoo, Hanjin, Lotte dan Cheil Jedang.
Di Indonesia, para saudagar tiba-tiba kaya mendadak ketika pemiliknya menjadi salah satu pejabat negara. Namun bernasib ‘Jamila’ (Jadi Miskin Lagi) ketika pemilik perusahaannya terbuang dari pemerintah.
Tak ada prestasi yang dapat kita banggakan dari komplotan saudagar dan taipan. Kenyataannya, hanya Indomie produk Indofood yang jadi kebanggaan nasional kita. Di luar Indomie, bahkan garam dan tusuk gigi pun kita impor. Para saudagar dan taipan tersebut menjadi kaya raya bukan karena inovasi dan industri, sebagaimana Zaibatsu, konglomerat di Jepang yang lahir pada paru kedua zaman Takugawa maupun Meiji, atau Chaebol, konglomerat di Korea Selatan yang melahirkan sejumlah inovasi dan industri, yang produknya saat ini mengepung bangsa kita.
Mereka menjadi saudagar dan taipan kaya raya karena berhasil membajak partai- partai politik dan institusi negara, yang memudahkan mereka mengeruk sumber daya alam, menguasai tanah untuk perkebunan, menipu bank di saat krisis, melakukan rekayasa projek dengan jaminan negara, serta membunuh industri nasional dengan impor.
Kenyataan tersebut mengingatkan kita pada tesisnya Yushihara Kunio dalam buku Kapitalisme Ersatz Asia Tenggara (LP3ES: 1990). Yoshihara melakukan penelitian di lima negara Asia Tenggara, Filipina, Singapura, Thailand, Malaysia dan Indonesia.
Secara singkat Yoshihara menjelaskan bahwa kapitalisme di Asia Tenggara menjadi Ersatz karena dua hal. Pertama, di Asia Tenggara, campur tangan pemerintah terlalu banyak sehingga mengganggu prinsip persaingan bebas. Kedua, kapitalisme di Asia Tenggara tidak ditopang perkembangan teknologi sehingga tak terjadi industrialisasi yg mandiri.
“Ersatz” berasal dari bahasa Jerman yang berarti pengganti atau substitusi, lalu diadopsi ke dalam bahasa Inggris dengan arti yang sedikit berbeda, ‘substitusi yang lebih inferior’, atau kapitalisme substitusi yang lebih inferior.
Situasi yang berbeda di era reformasi adalah, ketika para saudagar dan taipan membajak parpol dan institusi negara dalam sistem pasar bebas untuk tujuan merampok, dengan mematikan inovasi dan industrialisasi. (bersambung)
*Penulis adalah Ketua Presidium Petisi 28