Rabu, 16 Juli 2025

KOQ BISA NIH..? Ekonomi Vietnam Terus Meroket, Apa Penyebabnya? Indonesia Tertinggal Jauh

JAKARTA – Menurut perkiraan terbaru dari Bank Dunia, pertumbuhan ekonomi Vietnam diperkirakan mencapai 6,1% pada akhir 2024 dan 6,5% pada 2025. Kedua perkiraan ini lebih tinggi dibandingkan prediksi pada April, dengan peningkatan pertumbuhan disebabkan oleh pemulihan ekspor manufaktur, pariwisata, dan investasi, menurut laporan tersebut.

Hal ini menunjukkan bahwa Vietnam bisa mengalami pertumbuhan yang lebih besar pada 2025 dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya seperti Thailand, Kamboja, Malaysia, Indonesia, dan Filipina.

“Vietnam memang menghadapi beberapa tantangan serius, terutama di sektor domestik yang lemah dan ketergantungan berlebihan pada sektor investasi asing langsung (FDI), namun dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, prospek ekonominya tetap cerah,” kata Nguyen Khac Giang, peneliti dan rekan tamu di ISEAS Institute kepada DW.

Apa Penyebab Ekonomi Vietnam Terus Tumbuh?

Seperti negara-negara Asia Tenggara lainnya, Vietnam sangat bergantung pada investasi asing langsung (FDI).

Antara 2021 dan 2023, aliran masuk FDI ke Vietnam, Thailand, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Filipina rata-rata mencapai sekitar $236 miliar (sekitar Rp3.681,6 triliun) per tahun, menurut Laporan Investasi ASEAN 2024.

Saat investor Barat mencoba mengurangi ketergantungan mereka pada Cina di tengah ketegangan geopolitik antara Washington dan Beijing, negara-negara Asia Tenggara menjadi pilihan utama untuk investasi asing dari AS, Jepang, dan Uni Eropa.

Nguyen mengatakan Vietnam memanfaatkan ketegangan tersebut.

“Saya pikir Vietnam dapat mempertahankan momentum pertumbuhannya berkat keunggulan domestik dengan populasi 100 juta dan kelas menengah yang terus berkembang, serta mengoptimalkan manfaat dari posisinya dalam persaingan kekuatan besar antara Cina dan AS,” katanya.

Cina juga berinvestasi di Asia Tenggara, dengan Beijing dan Hanoi membangun “kemitraan strategis komprehensif” pada 2008.

China Plus One’

Seperti Cina, pertumbuhan ekonomi Vietnam berada di bawah kendali sistem satu partai, dengan Partai Komunis memiliki kendali penuh atas fungsi negara, organisasi sosial, dan media.

“Cina adalah mitra dagang terbesar Vietnam, tetapi yang lebih penting, Cina memainkan peran penting dalam sektor manufaktur Vietnam karena sebagian besar bahan baku berasal dari Cina. Saya tidak berpikir itu akan berubah dalam waktu dekat,” kata Nguyen.

“China Plus One” adalah strategi bisnis ekonomi global bagi investor untuk mengurangi ketergantungan penuh pada pasar dan rantai pasokan di Cina, dengan memperluas ke negara lain sambil tetap mempertahankan kehadiran di negara Asia tersebut.

Negara-negara Asia Tenggara dianggap sebagai alternatif yang cocok.

Bich Tran dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) mengatakan kepada DW bahwa Vietnam sering menjadi pilihan utama.

“Vietnam adalah salah satu pilihan utama bagi banyak perusahaan dengan kebijakan China Plus One karena kedekatan geografis dan budaya yang serupa,” kata Tran.

“Bagi mereka yang sudah beroperasi di Cina, pindah ke Vietnam lebih mudah, dan bekerja dengan orang Vietnam lebih familiar dibandingkan dengan Indonesia atau Malaysia,” tambahnya.

“Namun demikian, Vietnam jauh lebih kecil daripada Cina, sehingga hanya dapat menyerap sejumlah kecil perusahaan yang ingin relokasi. India, jika mereka membuka ekonominya, akan memiliki peluang lebih baik untuk bersaing dengan Cina dibandingkan Vietnam,” tambahnya.

Vietnam Menarik Ekonomi Barat

Amerika Serikat adalah mitra dagang terbesar kedua Vietnam dan pasar ekspor terbesar.

Pada September 2023, Washington dan Hanoi meningkatkan hubungan diplomatik mereka, menandatangani “Kemitraan Strategis Komprehensif untuk Perdamaian, Kerja Sama, dan Pembangunan Berkelanjutan.” Analis mengatakan perjanjian ini sebagian besar untuk meningkatkan manfaat ekonomi.

Amerika Serikat adalah salah satu dari daftar mitra strategis Vietnam yang terus bertambah, termasuk Australia, Cina, India, Rusia, Korea Selatan, dan baru-baru ini Prancis.

Namun, investasi besar dari Washington adalah kunci peluang ekonomi bagi Vietnam.

Apple, raksasa teknologi AS, kembali dinobatkan sebagai perusahaan paling berharga di dunia tahun ini.

Vietnam telah menjadi lokasi manufaktur penting bagi perusahaan tersebut, dengan Apple menginvestasikan lebih dari $15 miliar (sekitar Rp234 triliun) di negara itu dalam lima tahun terakhir.

Vietnam memiliki biaya tenaga kerja yang rendah dan tenaga kerja yang muda dan besar, dengan 58% dari populasi hampir 100 juta berusia di bawah 35 tahun, menjadikan negara ini tempat yang menarik untuk investasi.

Reformasi struktural sebagai langkah lebih lanjut
Pertumbuhan yang kuat menghadapi hambatan domestik, meskipun Vietnam menjadi salah satu negara dengan ekonomi dengan pertumbuhan tercepat di kawasan, Vietnam memiliki reputasi buruk dalam hal korupsi, sensor politik, hak asasi manusia, dan masyarakat sipil.

Perusahaan kecil dan menengah di Vietnam mengalami kesulitan untuk menjadi kompetitif seperti produsen yang mengekspor ke pasar internasional.

Karena perubahan iklim, seperti Topan Yagi baru-baru ini, harga kebutuhan pokok seperti produksi pangan juga meningkat. Vietnam juga sering menghadapi kekurangan listrik, dan para ahli mengatakan negara ini harus meningkatkan penggunaan energi terbarukan.

Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Sebastian Eckardt, manajer praktik untuk Asia Timur di Bank Dunia, mengatakan reformasi struktural diperlukan.

“Selama paruh pertama tahun ini, ekonomi Vietnam mendapat manfaat dari pemulihan permintaan ekspor. Untuk mempertahankan momentum pertumbuhan tidak hanya sepanjang sisa tahun ini tetapi juga dalam jangka menengah, pihak berwenang harus memperdalam reformasi struktural, meningkatkan investasi publik, sambil hati-hati mengelola risiko keuangan yang muncul,” kata Eckardt.

Vietnam Diramal Jadi Raja Baru ASEAN, RI Bisa Apa?

Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Vietnam digadang-gadang akan menjadi raksasa baru di kawasan Asia Tenggara (ASEAN). Optimisme tersebut meningkat di di tengah kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita, industri manufaktur yang terus berkembang, dan data ekonomi lainnya.

Negeri Naga Baru disebut akan mengalami lonjakan pertumbuhan kekayaan yang paling tajam pada dekade mendatang seiring dengan statusnya sebagai “pusat manufaktur global”. Negara Asia Tenggara ini diperkirakan akan mengalami peningkatan kekayaan sebesar 125% selama 10 tahun ke depan.

“Peningkatan kekayaan ini, terbesar di antara negara mana pun dalam hal PDB per kapita dan jumlah jutawan,” kata laporan firma intelijen kekayaan global New World Wealth dan penasihat migrasi investasi Henley & Partners, dikutip dari CNBC International, Rabu (21/2/2024).

Melihat potensi yang begitu besar, posisi Indonesia menjadi cukup terancam dengan perkembangan Vietnam belakangan ini. Berikut ini data-data perbandingan Vietnam dan Indonesia.

PDB Per Kapita

Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dan Vietnam tercatat sebesar 5,05% sepanjang 2023. Namun jika ditarik sejak 2014, pertumbuhan PDB Vietnam selalu lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia kecuali pada 2021.

Di tahun 2021, pertumbuhan PDB Indonesia sebesar 3,69% sementara pertumbuhan PDB Vietnam sebesar 2,58%.

Bahkan yang menarik di saat ekonomi dunia mengalami kepanikan akibat pandemi Covid-19 di 2020, pertumbuhan PDB Vietnam masih berada dalam teritori positif 2,91%. Berbeda halnya dengan Indonesia yang mengalami resesi dan PDB di 2020 terkontraksi menjadi -2,07% dari yang sebelumnya 5,02% pada 2019.

Tidak sampai di situ, pertumbuhan PDB per kapita Vietnam juga terlihat lebih cepat dibandingkan Indonesia dalam rentang periode 2014-2022.

PDB per kapita Indonesia di tahun 2014 sebesar US$3.531,5 sementara di tahun 2022 menjadi US$4.783,9 atau tumbuh 35,46% dalam delapan tahun.

Berbeda halnya dengan Vietnam, PDB per kapitanya tumbuh lebih tinggi yakni 49,13% dalam periode tersebut meskipun secara nominal, PDB per kapita Vietnam lebih rendah dibandingkan Indonesia.

Kontribusi Manufaktur terhadap PDB

Manufaktur menjadi salah satu industri yang memiliki peranpenting dalam meningkatkan PDB.

Bagi Vietnam sendiri, sektor manufaktur merupakan inti perekonomian negara dan pendorong pertumbuhan utamanya.

Pada tahun 2022, sektor ini menyumbang 24,8% terhadap PDB Vietnam. negara beribu kota Hanoi ini telah menetapkan target agar sektor manufaktur menyumbang 30% terhadap PDB pada tahun 2030, dan 45% di antaranya berasal dari produk-produk teknologi tinggi.

Vietnam berencana untuk mencapai hal ini dengan meningkatkan kontribusi industri manufaktur sebesar 8,5% per tahun.

Untuk diketahui, sektor manufaktur Vietnam telah menerima manfaat langsung dari kebijakan China Plus One setelah hubungan perdagangan antara AS dan China memburuk. AS dan Vietnam menandatangani kemitraan strategis baru yang berfokus pada pembangunan rantai pasokan semikonduktor yang kuat untuk industri AS.

Sebuah laporan menunjukkan bahwa impor barang AS dari Vietnam naik 25,1% dari tahun ke tahun pada tahun 2022.

Berbanding terbalik dengan Indonesia yang justru porsi manufaktur terhadap PDB cenderung mengalami penurunan dari 20,97% pada 2015 menjadi hanya 18,67% pada 2023.

Ekspor

Nilai ekspor Vietnam sempat berada di bawah Indonesia pada 2014, namun sejak 2015 hingga akhir 2023, ekspor Vietnam selalu berada di atas Indonesia. Bahkan selisih antara keduanya relatif semakin melebar sejak 2015 hingga 2023.

Di 2015, jumlah ekspor Indonesia sebesar US$150,37 miliar sedangkan Vietnam sebesar US$162,05 miliar.

Namun pada 2023, selisih ekspor kedua negara tersebut melebar menjadi US$91,64 miliar.

Keterbukaan perdagangan terhadap PDB Vietnam bagi global pun jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan Indonesia.

Bahkan jika dibandingkan dengan negara di ASEAN lainnya, Vietnam jauh lebih unggul dan relatif terus merangkak naik dari 2014 hingga 2022.

Berbeda halnya dengan Indonesia yang hanya 50%, Vietnam justru memiliki keterbukaan perdagangan terhadap %PDB di kisaran 180% pada 2022.

Mantan Menteri Keuangan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Chatib Basri menjelaskan keterlibatan Indonesia dalam rantai pasok global juga minim.

Dia menjelaskan saat kondisi ekonomi global hancur pada 2020 karena pandemi Covid-19, kontraksi ekonomi Indonesia tidak sebesar negara lain. PDB Indonesia terkontraksi 2,07% pada 2020 sementara Singapura terkontraksi 5,8%.

“Kalau ketergantungannya tinggi sekali, di suatu negara stop, supply chain kena, hancur semua. Karena kita gak terlalu integrated, kita untung,” tutur Chatib.

Asian Development Bank (ADB) dalam laporan The Evolution of Indonesia’s Participation in Global Value Chains menyebutkan partisipasi Indonesia dalam rantai pasok global relatif lebih rendah karena memilih fokus untuk memenuhi konsumsi domestik.

Dalam rantai pasok global, Indonesia lebih berperan kepada pemasok komoditas dari pada menyuplai produk manufaktur ke user.

Laporan tersebut meneliti peran Indonesia dalam industri/sektor hulu penyedia input antara (backward linkage) dan industri/sektor hilir pengguna output (forward linkage) selama periode 2000-2017.

Partisipasi Indonesia dalam forward linkages turun dari 21,5% di tahun 2000 ke 12,9% ke 2017. Sementara itu, partisipasi di backward linkages turun dari 16,9% dari 2000 menjadi 10,1% di 2017. (Web Warouw)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru