Oleh: Prof. Michel Chossudovsky
Situasi di Semenanjung Korea semakin panas, akibat konflik antara Korea Utara dan Amerika Serikat belakangan ini. Bergelora.com menurunkan sebuah artikel yang diambil dari situs www.globalresearch.ca, 14 April 2107
Ancaman Amerika Serikat tidak mempunyai dasar yang jelas untuk membuka serangan pada Korea Utara. Selain itu, Washington tidak memiliki dukungan kuat dari sekutu regionalnya termasuk Korea Selatan dan Jepang. Sementara itu, kebangkitan rakyat yang mendorong impeachment pada Presiden Park Di Seoul baru-baru ini, telah menjadi kekuatan oposisi akar rumput yang pasti menolak kehadiran militer Amerika Serikat di wilayah tersebut. Korea Utara sendiri dengan menyatakan akan membalas jika diserang oleh Amerika Serikat.
Sementara Beijing telah memperingatkan Washington. “Setiap orang memiliki perasaan bahwa konflik dapat pecah setiap saat” demikian Menteri luar negeri China, Wang Yi mengisyaratkan.
“Kami menyerukan kepada semua pihak untuk menahan diri dari provokasi dan mengancam satu sama lain, baik dalam kata-kata atau tindakan, dan tidak membiarkan situasi sampai ke tahap tidak bisa kembali dan tidak terkendali,” tegasnya Wang saat konferensi pers setelah pembicaraan dengan Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Marc Ayrault. (Xinhua, 14 April 2017).
Setelah pertemuan Donald Trump – Xi Jinping di Mar-a-Lago, Florida pekan lalu, China menegaskan tidak ada keinginan untuk mengikuti langkah Amerika Serikat, tidak juga mendukung serangan awal pada Korea Utara. Bahkan justru sebaliknya China menentang rencana Amerika Serikat itu.
Perlu dicatat bahwa penyebaran rudal THAAD di Korea Selatan meskipun secara resmi untuk menghadapi Korea Selatan, tapi juga ditujukan pada China.
Tentu China tidak akan kompromi dalam aliansi militernya dengan Rusia,–yang sudah bersama-sama dibawah Tidak ada indikasi bahwa China akan dengan cara apapun kompromi aliansi militer dengan Rusia dalam Shanghai Cooperation Organization (SCO). Sikap ini, sudah ditunjakkan secara tegas oleh China yang selaras dengan Rusia, misalnya di Dewan Keamanan PBB dalam kaitannya dengan krisis yang berkembang di Suriah.
Selain itu, Rusia memiliki perbatasan dengan Korea Utara dan Vladivostok merupakan pusat militer strategis Rusia, yang menjadi tempat armada Pasifik Rusia.
Menurut Menteri Dalam Negeri Amerika Serikat, Rex Tillerson, “Presiden Trump menunjukkan kepada Presiden Xi bahwa. . . kita akan senang untuk bekerja dengan mereka (China). Tapi kita mengerti hal itu menciptakan masalah dan tantangan yang unik bagi mereka. Untuk itu kita akan bersiap,– dengan kepentingan sendiri, jika China tidak bisa berkoordinasi dengan kami,” (Financial Times, April 7, 2017)
Sepertinya, Beijing tidak ingin bekerja dengan Washington.
Tindakan dan niat Washington dapat diringkas sebagai berikut:
- USS Carl Vinson, pesawat nuklir pembawa kelompok bergerak menuju pantai Korea. Partisipasi angkatan laut Jepang dalam operasi ini belum dikonfirmasi.
- Angkatan Laut AS telah mengerahkan dua kapal perusak dengan rudal jelajah Tomahawk sekitar 500 kilometer dari lokasi uji coba nuklir Korea Utara.
- Pada 13 April, Amerika Serikat menjatuhkan MOAB (Ibu dari semua Bom) di Afghanistan untuk melawan ISIS. MOAB telah digambarkan sebagai sebuah bom baru yang kuat ditujukan pada fasilitas nuklir bawah tanah Iran dan Korea Utara.
Apa tujuan menjatuhkannya di daerah terpencil di Afghanistan sebagai bagian dari operasi kontra-terorisme terhadap ISIS? Apakah tes bom MOAB di Afghanistan ini merupakan gladi resik, sebelum penggunaan militer sebenarnya misalnya terhadap Korea Utara ?
Pernyataan resmi oleh Pentagon tetap ambigu. Tidak ada konfirmasi dari serangan preemptive (pendahuluan-red) terhadap Korea Utara. Meskipun demikian NBC TV melaporkan Amerika Serikat siap untuk melancarkan serangan terhadap fasilitas militer Korea Utara dalam menanggapi uji coba nuklir Pyongyang yang dijadwalkan akhir pekan April 15-16.
“Analis keamanan Internasional meragukan laporan bahwa Amerika Serikat yang mungkin akan mempertimbangkan serangan militer preemptive (pendahuluan) terhadap Korea Utara. Para analis memperingatkan tindakan tersebut bisa memiliki konsekuensi besar pada sekutu utama Amerika Serikat dan mengganggu keseimbangan keseimbangan yang telah dikelola dengan hati-hati dari kekuasaan antara Kim Jong Un dan pihak Barat. (Nick Visser, Huffington Post, 14 April, 2017)
Respon Korea Utara
Korea Utara telah menegaskan bahwa jika diserang, akan ada serangan balik yang sebagian besar menargetkan fasilitas militer di Asia Timur termasuk Guam dan Okinawa AS.
“Kami punya penangkal nuklir yang kuat di tangan kami, dan kami pasti tidak akan menggunakan tangan dalam menghadapi serangan pendahuluan AS, … Apa pun yang datang dari Amerika Serikat, akan kami hadapi. Kami sepenuhnya siap untuk menghadapinya,” demikian Wakil Menteri Korea Utara Han Song Ryol (Dikutip oleh AP) (Web Warouw)