JAKARTA- Sepanjang tahun 2015, sedikitnya telah terjadi 252 kejadian konflik agraria di tanah-air, dengan luasan wilayah konflik mencapai 400.430 hektar. Konflik-konflik ini melibatkan sedikitnya 108.714 kepala keluarga (KK). Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Iwan Nurdin kepada Bergelora.com di Jakarta, Rabu (6/1).
“Sesungguhnya tahun 2015 adalah tahun paling krusial sebagai tahun pembuktian awal, apakah pemerintahan Jokowi-JK serius hendak menjalankan reforma agraria untuk mengatasi krisis agraria sesuai janjinya dalam “Nawa Cita”. Ataukah, reforma agraria kembali menjadi gagasan dan janji politik tanpa implementasi sebagaimana rezim yang lalu,” ujarnya.
Sepanjang 2015, konflik agraria telah mengakibatkan korban tewas sebanyak 5 orang, tertembak aparat 39 orang, dianiaya/mengalami luka-luka sebanyak 124 orang dan mengalami kriminalisasi/ditahan sebanyak 278 orang. Meski dari sisi jumlah korban kekerasan dan kriminalisasi memang menurun dibandingkan 2014, namun masih adanya konflik agraria yang mengakibatkan hilangnya nyawa warga serta korban kekerasan fisik akibat tembakan peluru dan kasus-kasus penganiayaan menunjukkan bahwa pola-pola dan pendekatanpenanganan konflik agraria di bawah kepemimpinan Jokowi-JK masih belum berubah.
Dari sisi pelaku kekerasan, sepanjang 2015 didominasi oleh pihak perusahaan sebanyak 35 kasus, polisi sebanyak 21 kasus, TNI sebanyak 16 kasus, pemerintah 10 kasus, preman 8 kasus dan warga 3 kasus. Di tahun sebelumnya, polisi mendominasi tindakan kekerasan (34 kasus). Sementara TNI justru mengalami kenaikan signifikan sebagai pelaku kekerasan dalam penanganan konflik agraria, dari 5 kasus (2014) menjadi 16 kasus di tahun ini.
Cara-cara kekerasan dalam penangan konflik diperparah pula dengan kecenderungan aparat TNI/Polri untuk mengambil posisi tidak netral dalam situasi konflik yang terjadi, yakni sebagai “kepanjangan tanah” perusahaan atau pun pemerintah. Pendekatan prosedural hukum (positif) semata dalam proses penyelesaian konflik juga mengakibatkan petani dan masyarakat adat kerap menjadi korban kriminalisasi aparat dan sistem peradilan yang tidak adil dalam melihat akar konflik agaria.
Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, korban-korban kriminalisasi oleh aparat dan sistem peradilan dalam konflik agraria kerap dijerat oleh Pasal 160, 170, 310 dan 406 KUHP terkait perbuatan penghasutan dan pengrusakan. Sementara UU yang kerap digunakan aparat untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap petani serta aktivis agraria adalah UU 41/1999 tentang Kehutanan, UU 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H), UU 5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta UU 39/2014 tentang Perkebunan.
Ia melaporkan bahwa jika di tahun sebelumnya (2014), sektor pembangunan infrastruktur menjadi penyebab tertinggi konflik agraria, maka di tahun 2015 ini, konflik agraria paling banyak terjadi di sektor perkebunan yakni sebanyak 127 konflik (50%).
“Kita telah menyaksikan bagaimana pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) telah menjalankan pembangunan ekonomi politik agraria, yang merampas dan mengabaikan hak-hak dasar rakyat terhadap sumber-sumber agraria berupa tanah, air, hutan dan kekayaan alam lainnya. Ketimpangan struktur agraria, ledakan konflik agraria, peningkatan jumlah petani miskin (gurem dan tak bertanah) hingga kriminalisasi terhadap petani semakin parah,” tegasnya.
Selanjutnya konflik di sektor pembangunan infrastruktur menempati posisi kedua terbanyak sebanyak 70 konflik (28%), lalu di sektor kehutanan 24 konflik (9,60%), sektor pertambangan 14 (5,2%), kemudian lain-lain 9 konflik (4%), dan di sektor pertanian dan sektor pesisir/kelautan di urutan kelima masing-masing sebanyak 4 konflik (2%)
“Dengan begitu, dalam kurun waktu 11 tahun terakhir, sejak 2004 hingga 2015, maka telah terjadi 1772 konflik agraria dengan luasan wilayah konflik seluas 6.942.381 hektar, yang melibatkan 1.085.817 KK sebagai korban terdampak langsung konflik agraria berkepanjangan. Rata-rata dua hari sekali terjadi konflik agraria di Indonesia,” ujarnya. (Web Warouw)