JAKARTA- Salah satu program yang didorong oleh Jokowi-JK adalah “reforma agraria”, yang bertujuan untuk menguatkan akses masyarakat miskin terjadap pemilikan dan penguasaan tanah. Program tersebut diwujudkan dalam RPJMN 2015-2019 melalui redistribusi lahan sejumlah 18 juta bidang tanah seluas 9 juta hektar, dibarengi dengan bantuan pra dan pasca produksi. Namun pemerintah gagal memahami substansi dari reformasi agraria dan mengalami disorientasi.
“Adapun 9 juta hektar tanah objek redistribusi tanah atau tanah objek reforma agraria (TORA) ditargetkan berasal dari dalam kawasan hutan seluas 4,1 juta hektar. Selebihnya di luar areal kawasan hutan, yakni HGU habis atau tanah terlantar seluas 0,4 hektar, sisanya seluas 4,5 juta hektar lagi-lagi hanya berupa legalisasi aset (sertifikasi tanah) yang hendak diklaim juga sebagai bagian dari program reforma agraria. Jadi objek TORA tersebut sesungguhnya tanah-tanah hak masyarakat yang belum disertifikasi, kemudian diberi program sertifikasi di atasnya dan disebut sebagai reforma agraria,” Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Iwan Nurdin kepada Bergelora.com di Jakarta, Selasa (12/1)
Sebagai landasan hukum pelaksanaan reforma agraria ala Jokowi- JK ini akan diterbitkan perpres. Inisiatif merumuskan rancangan peraturan presiden (Perpres) sebagai landasan hukum terkait pelaksanaan reforma agraria telah mulai digagas beberapa bulan lalu. Namun, rancangan tersebut masih jauh dari layak untuk ditetapkan.
“Terdapat beberapa persoalan mendasar dari rancangan Perpres tersebut, antara lain, persoalan orientasi atau paradigma dari reforma agraria yang tidak selaras dengan reforma agraria sejati, kelembagaan implementor yang masih bertumpu pada satu kementerian, TORA yang masih luput membidik tanah-tanah HGU sebagai target redistribusi, hingga subjek redistribusi tanah yang masih terlalu umum, bahkan berpeluang salah sasaran saat diimplementasikan,” ujarnya.
Menurut Iwan Nurdin, selain belum layak secara substansi, dalam proses perumusan rancangan Perpres juga bermasalah, karena prosesnya cenderung tidak transparan dan tidak melibatkan banyak pihak. Belum cukup kontroversi soal perumusan rancangan perpres ini yang “ditenderkan” kepada pihak ke tiga (tercatat pemenang tender adalah PT.Mahaka) senilai 1,5 miliar untuk memenuhi target penyelesaian perumusan perpres selama satu tahun (2015).
“Praktiknya, proses perumusan perpres dan konsultasi publik cenderung hanya dilakukan untuk formalitas saja, tidak secara sungguh-sungguh dilakukan untuk menyerap usulan dan masukan substantial secara kritis dari berbagai pihak yang berkepentingan dan kompeten. Sebagai agenda bangsa, maka perumusan rancangan perpres reforma agraria seharusnya melibatkan banyak kementerian dan lembaga yang terkait, sekaligus organisasi masyarakat sipil secara luas,” ujarnya.
Kondisi demikian tentu membuka peluang kegagalan dan penyimpangan implementasi program reforma agraria sebagaimana tertuang dalam Nawa Cita. Di samping itu, tujuan-tujuan mendasar dari reforma agraria seperti perombakan struktur agraria, pemangkasan monopoli pemilikan dan penguasaan atas tanah hingga penguatan akses dan kontrol masyarakat atas tanah belum secara jelas dan terang diatur dalam rancangan Perpres tersebut.
“Harus ada pelurusan kembali konsep dan tujuan sejati dari reforma agraria, yang dituangkan dalam rancangan perpres. Proses penyusunan rancangan Perpres harus dilakukan secara terbuka dan partisipatif. Jika isi rancangan Perpres tetap tidak selaras dengan orientasi dari reforma agraria sejati, sebaiknya rancangan Perpres tersebut tidak disebut sebagai Perpres Reforma Agraria, tetapi Perpres Redistribusi Tanah saja,” ujarnya. (Web Warouw)