Selasa, 1 Juli 2025

KPA: UU Pertanahan Harus Jadi Pelaksana UUPA No 5/1960

JAKARTA- Rancanangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan kembali masuk kedalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2016. DPR diminta agar secara hati-hati membahas RUU Pertanahan. Apalagi draft RUU yang kini sedang dibahas oleh DPR tak jauh berbeda secara substansial dengan draft hasil DPR periode terdahulu. Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Iwan Nurdin kepada Bergelora.com di Jakarta, Sabtu (23/1)

“Masalah utama dalam RUU Pertanahan adalah ketiadaan visi bersama antara pemerintah dan DPR bahwa RUU-Pertanahan adalah implementasi dari Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5/1960 bukan menggantinya,” ujarnya

Selain itu menurutnya, misi dari RUU Pertanahan seharusnya merupakan pelaksanaan reforma agraria sejati memberikan jalan keluar penyelesaian konflik agraria menciptakan kelembagaan agraria yang solid dan bersih, mengatur pendaftaran dan administrasi pertanahan yang baik, bersih dan menyeluruh di lingkup nasional.

“RUU Pertanahan juga diharapkan dapat memperkuat hak atas untuk rakyat terutama golongan lemah dan rentan seperti petani, nelayan tradisional, perempuan dan masyarakat adat dan dapat melakukan pembatasan bagi usaha-usaha skala besar dalam memiliki dan mengontrol sumbersumber agraria khususnya tanah serta selaras dengan pembangunan berkelanjutan dan keberlangsungan lingkungan hidup,” jelasnya.

Menurutnya, dengan visi dan misi yang demikian, RUU Pertanahan adalah operasionalisasi dari perwujudan cita-cita UUPA yang belum diatur secara rinci dan disesuaikan dengan kondisi agraria saat ini. Tanpa visi dan misi yang demikian, RUU Pertanahan hanya akan menambah masalah sektoralisme perundang-undangan terkait pengurusan sumber-sumber agraria.

“Namun jika DPR RI dan Pemerintah masih memposisikan RUU Pertanahan sebagai pengganti UUPA 1960 dan alat lebih lanjut bagi proses liberalisasi agraria, yang akan mempermudah kepemilikan asing serta perluasan usaha skala besar yang cenderung eksploitatif maka pembahasan RUU ini sebaiknya dihentikan,” tegasnya.

Bertentangan Dengan UUD ’45
Menurutnya, banyaknya undang-undang terkait sumberdaya alam dan agraria bertentangan dengan konstitusi dan menuai gugatan dari organisasi masyarakat sipil. Beberapa waktu lalu Koalisi Anti Mafia Hutan menguggat membatalkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) namun ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.
“Bukan karena pasal-pasalnya tidak bermasalah. Namun, Majelis Hakim MK menolak untuk membatalkan undang-undang sesuai permohonan pemohonan dan menolak membahas pasal-pasal bermasalah yang diajukan pemohon,” jelasnya.

Selain itu ia menjelaskan, Koalisi Anti Mafia Hutan juga sekaligus menguji Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Berbeda dengan putusan MK terhadap UU P3H, sebagian gugatan terhadap Undang-undang Kehutanan dinyatakan diterima sebagian, yakni Pasal 50 ayat (3) huruf e dan Pasal 50 ayat (3) huruf i.

Dalam amar putusannya, MK menyatakan bahwa Undang-undang Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa ketentuan dimaksud dikecualikan terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial.

Pasal 50 ayat 3 huruf e dan Pasal 50 ayat 3 huruf e, yang mengatur tentang larangan bagi setiap orang untuk menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang, serta larangan menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh yang berwenang cenderung memberi peluang besar guna menghambat bahkan menutup akses masyarakat terhadap sumber-sumber penghidupan dalam hutan.

“Kini, pasca putusan MK 95/PUU-XII/2014, masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial dikecualikan,” ujarnya.

Meski gugatan terhadap Undang-undang Kehutanan berhasil dikabulkan sebagian tuntutannya, namun menurut Iwan Nurdin ancaman kriminalisasi terhadap petani dan masyarakat di sekitar kawasan hutan masih terus menghantui.

“Penguatan hak-hak masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan harus kembali menemui kebuntuan, karena meskipun beberapa pasal dalam Undang-undang Kehutanan telah direvisi, tetapi selama Undang-undang P3H belum dibatalkan, masyarakat rentan terhadap kriminalisasi,” katanya.

UU Perkebunan
Di samping pengujian Undang-undang P3H dan Undang-undang Kehutanan, koalisi organisasi masyarakat sipil juga melakukan uji materi terhadap Undang-undang nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan. Dalam gugatannya, koalisi masyarakat sipil memohon peninjauan terhadap sebagian pasal yang disinyalir tidak berpihak pada kepentingan masyarakat dan cenderung memberi keuntungan kepada perusahaan perkebunan.

“Selama ini, Undang-undang Perkebunan memberikan kemudahan bagi perusahaan perkebunan untuk mendapatkan akses terhadap tanah-tanah masyarakat. Namun, di sisi lain membuka peluang masyarakat untuk kehilangan hak-haknya atas tanah,” jelasnya.

Kondisi demikian menurutnya tentu berpotensi semakin merugikan masyarakat, karena masyarakat kerap berada pada posisi inferior saat berhadapan dengan perusahaan dalam berbagai perundingan atau musyawarah maupun dalam pola-pola kemitraan.

“Sehingga, saat Undang-undang Perkebunan memberikan kemudahan bagi perusahaan untuk mengakses tanah-tanah masyarakat secara luas, maka monopoli penguasaan dan pemilikan tanah semakin tak terhindarkan, sekaligus realitas kesenjangan tentu akan memburuk,” tegasnya. (Calvin G. Eben-Haezer)

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru