Jumat, 13 Juni 2025

Kriteria Kemiskinan Versi BPS yang Menyesatkan

Kemiskinan di Ibukota Jakarta. (Ist)

Maret 2018 lalu Badan Piast Statistik (BPS) melansir bahwa telah teyang menjadi angka kemskinan terlah berkuarang menjadi 25,95 juta orang atau 9,82%. Marlo  Sitompul, Ketua Umum SPRI (Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia) membantah hal tersebut dan menuliskannya kepada pembaca  Bergelora.com. (Redaksi)

 

Oleh: Marlo  Sitompul

BEBERAPA hari yang lalu, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), menyatakan bahwa angka kemiskinan per Maret 2018 mengalami penurunan. Dirinya menyatakan, penurunan angka kemiskinan di Maret 2018 yang menjadi 25,95 juta orang atau 9,82% pun tidak berjalan mulus selalu turun.

Pernyataan Kepala BPS jelas-jelas menyesatkan. Publik telah dipengaruhi oleh informasi sesat. Betulkah jumlah orang miskin di negeri ini mengalami penurunan? Pemerintah, mengklaim bahwa penurunan angka kemiskinan terjadi oleh karena efektifnya program pengurangan  kemiskinan seperti; PKH, RASTRA, BPNT, KIP dan KIS. Menyikapi hal tersebut, Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) memandang perlu menyampaikan hal-hal sebagai berikut.

Garis Kemiskinan yang ditetapkan oleh pemerintah jelas-jelas tidak masuk akal. Garis kemiskinan BPS sebesar Rp 401.220 per kapita per bulan di bulan Maret 2018, mengandaikan bahwa yang disebut miskin adalah orang yang sehari hanya mampu makan satu kali. Padahal berdasarkan Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak, Karbohidrat, Serat dan Air yang dianjurkan untuk orang Indonesia (perorang perhari) sudah ditentukan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 75 Tahun 2013.

Untuk urusan makan, sehari sehari rata-rata kecukupan energi dan protein bagi penduduk Indonesia masing-masing sebesar 2150 Kilo kalori dan 57 gram perorang perhari pada tingkat konsumsi.. Untuk menu makan dengan kalori di bawah angka rata-rata itu pun setiap orang setidaknya harus menguras kantong sebesar Rp 15-25 Ribu. Jika sekali makan harus keluar Rp 15 Ribu, artinya dalam sebulan setiap orang haruslah mengeluarkan Rp 1.350.000,-.

Apakah seseorang yang mampu memenuhi kebutuhan makan hanya satu sekali sehari dapat dikatakan hidup sejahtera? Jawabnya jelas TIDAK! Itu baru perhitungan tentang makan. Belum mencakup kebutuhan untuk aktivitas reproduksi sosial lainnya.

Garis kemiskinan versi pemerintah Rp 401.220 perbulan, atau bila dikonversi menjadi 0,95 dolar AS per hari, jauh di bawah standar resmi garis kemiskinan Internasional yang ditetapkan Bank Dunia sebesar 2 dolar AS per hari. Bila Garis kemiskinan dinaikan ke standar Bank Dunia menjadi 2 dolar AS per hari (atau bila dikonversi menjadi Rp 840 Ribu per bulan), akan terdapat lebih dari 100 juta jiwa atau 39% penduduk Indonesia masuk ketegori miskin. Pemerintah jangan memanipulasi garis kemiskinan..

Garis Kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS/ Pemerintah disusun tidak melibatkan masyarakat. Tidak ada konsultasi kepada publik saat BPS menyusun garis kemiskinan. Di setiap kota/kabupaten BPS menetapkan Garis Kemiskinan yang berbeda, padahal untuk urusan konsumsi, bahan pangan dan non pangan yang dibeli oleh rakyat miskin, memiliki standar harga yang sama. Di daerah pelosok harganya kadang jauh lebih mahal dibandingkan dengan kota besar, tapi kenapa saat menetapkan garis kemiskinan angkanya dibuat kecil. Ini jelas sekali penghitungan yang tidak masuk akal dan penuh akal-akalan..

Pemerintah menyatakan bahwa penurunan angka kemiskinan disebabkan karena, program pengurangan kemiskinan, seperti; Program Keluarga Harapan (PKH), Beras Sejahtera (RASTRA) atau Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) efektif mengurangi orang miskin. Perlu semua ketahui, bahwa berdasarkan pengamatan, keluarga miskin penerima PKH, RASTRA atau BPNT, KIS, dan KIP tetap hidup miskin dan tidak tumbuh sejahtera.

Bagaimana mungkin rakyat miskin bisa tumbuh sejahtera jika nilai bantuan PKH dan RASTRA hanya sebesar Rp 1,8 Juta pertahun dan Rp 110 Ribu perbulan. Dengan kata lain, program-program pengurangan kemiskinan hanya meminjam tubuh rakyat untuk dipakai memutarkan uang bantuan negara untuk membesarkan para pedagang, khususnya pedagang besar dan pemilik modal.

Rakyat mesti mengetahui bahwa saat pemerintah menyalurkan bantuan sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH) & Beras Sejahtera (RASTRA)/ Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), pemerintah dengan sengaja membatasi jumlah rumah tangga miskin yang dijadikan sasaran. Akibatnya banyak rakyat miskin yang tidak menerima bantuan sosial. Berdasar suvei kami, ada 13 Juta Keluarga Miskin.

Pembatasan tersebut sengaja dilakukan karena pemerintah lebih memprioritaskan anggaran membayar cicilan hutang luar negeri dan membiayai proyek pembangunan infrastruktur yang hanya melayani kebutuhan kaum pengusaha dan pemilik modal.

Untuk menutupi hal tersebut, pemerintah kemudian membuat siasat bagaimana caranya mengurangi jumlah rakyat miskin. Siasat yang digunakan diantaranya adalah dengan membuat metode dan cara perhitungan yang hanya diketahui pemerintah dan tidak sesuai dengan kondisi pemasukan dan pengeluaran riil masyarakat.

Pada tahun 2015 dan 2017 pemerintah melalui kementerian sosial dan BPS melakukan suvei rumah tangga miskin. Hasilnya kemudian didapat jumlah rumah tangga miskin sebanyak 40% dari jumlah penduduk Indonesia, yakni sebanyak 28,4 Juta Keluarga atau 96 Juta jiwa.

Selanjutnya pemerintah semakin membatasi dengan menetapkan bahwa program PKH hanya diperuntukan bagi keluarga sangat miskin dan program Rastra diperuntukan bagi keluarga yang sangat miskin dan miskin.

Pemerintah melalui Kemensos, tanpa melibatkan rakyat, mengumumkan bahwa berdasarkan survei peringkat kesejahteraan terhadap 40% jumlah keluarga miskin dan hampir miskin menetapkan sebanyak 10% sebagai keluarga yang sangat miskin dan berhak mendapatkan PKH. Sementara 25% lainnya ditetapkan sebagai keluarga yang sangat miskin dan miskin dan berhak mendapatkan RASTRA. Selanjutnya sebanyak 15% (13 Juta) keluarga hampir miskin dianggap tidak pantas mendapatkan PKH dan RASTRA.

Padahal di tengah keadaan ekonomi saat ini, beban hidup antara warga yang dianggap hampir miskin dan miskin memiliki perbedaan yang cukup tipis. Sedikit saja terjadi kenaikan harga-harga maka keluarga yang disebut hampir miskin akan tergelicir kedalam kemiskinan.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, kami Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) menyatakan:

1. Menutut agar pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla segera memperbaiki tata-cara penentuan jumlah keluarga miskin. Dalam prosesnya pemerintah haruslah melibatkan rakyat miskin dengan cara melakukan survei kebutuhan hidup yang dipergunakan oleh rakyat untuk melakukan reproduksi sosial atau memulihkan tenaga serta pikirannya dari aktivitas di ranah ekonomi produksi. Tidak boleh dilakukan secara sepihak tanpa melibatkan rakyat.

2. Menuntut Pemerintah untuk segera memperbaiki data penerima bantuan sosial dan menuntut agar pemerintah memperbesar anggaran untuk kesejahteraan rakyat miskin.

3. Menuntut pemerintah untuk menyelenggarakan Perlindungan Sosial yang bersifat Transformatif serta Universal bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai bagian untuk menghadapi situasi ekonomi Indonesia yang semakin sulit, dampak dari ketidakpastian di tingkat kapitalisme global.

4. Menuntut pemerintah melakukan peningkatan pungutan pajak terhadap kalangan kaya di Indonesia yang banyak menghindari kewajibannya untuk membayar pajak lewat program Pengampunan Pajak. Pemerintah juga tidak perlu membayar cicilan hutang luar negeri yang lebih melayani kalangan pengusaha dan pemodal. Potong gaji para pejabat (Presiden, Menteri, Gubernur, Walikota/Bupati dan anggota DPR RI) untuk membiayai program perlindungan sosial universal ini.

)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru