Oleh: Yul Amrozi *
BELAKANGAN muncul hasil survey media-media yang “terpandang” semisal Litbang Kompas atau grup jajak pendapat seperti Indikator Politik Indonesia atau Charta Politika. Semuanya masih membawa asumsi bahwa tingkat popularitas tokoh-tokoh politik yang sekarang cukup dikenal akan mampu “menggerakkan” bursa politik kontemporer.
Padahal keadaan politik hari ini dibandingkan lima tahun yang lalu saja sudah sangat berbeda. Masa-masa lembaga-lembaga survey “terpandang” itu mampu menjadi pembeda dalam menentukan lalu lintas opini publik di negeri ini sebenarnya sudah surut. Perubahan opini publik yang memunculkan pergulatan politik sekarang sudah tidak ditentukan oleh pihak-pihak yang menjadi besar saat industri media tidak seterpuruk sekarang.
Era disrupsi digital telah menjadikan media-media yang bersandar pada teknologi pra gawai benar-benar berada di pinggiran. Peran penentu opini publik sudah ditentukan oleh jari-jari jutaan netizen yang mengikuti ‘kehendak’ algoritma media sosial penyedia platform yang telah menjadi gergasi-gergasi tiada lawan.
Opini yang dihitung melalui survey deskriptif dari pengambilan sampel populasi, sudah berkali-kali tersungkur di hadapan sedotan data-data “realtime” populasi yang tersimpan dalam jumlah yang gigantik yang sering digosipkan sebagai data mahabesar yang belum kunjung bisa dituai hasil-hasil perhitungan yang maksimal.
Aksi-aksi Donald Trump mengacak acak kesadaran awam di negeri pengusung demokrasi liberal masih segar diingatan orang memainkan pola-pola ujaran kebencian hingga semburan dusta yang membuat Amerika Serikat kehilangan muka ketika ingin bicara tentang keberlanjutan demokrasi.
Di Indonesia ide-ide politik yang bisa membawa kegairahan berpikir sudah lama menjadi kenangan saat jargon-jargon revolusi mental tidak mampu tumbuh sebagai diskursus pemikiran yang dibicarakan di tingkat nasional. Yang ada hanyalah caci maki dan cemoohan dari pihak-pihak merasa berkontestasi berdasarkan nalar reptilian yang meminggirkan kesadaran kebangsaan alih alih persatuan.
Sisa-sisa hiruk pikuk reformasi 98 pada waktu itu masih mengamanatkan tentang pentingnya perubahan struktur politik kenegaraan yang memungkinkan berkembangnya demokrasi dan meminggirkan kekuatan-kekuatan militerisme untuk tidak terlalu banyak mengurusi urusan “orang sipil”.
Hiruk pikuk politik saat ini hanya mengobarkan glorifikasi kemalasan berfikir yang tidak punya imajinasi tentang apa itu hal-hal apa yang penting bagi kemaslahatan orang banyak (demokrasi). Yang ada hanyalah retorika logika formal yang melecehkan sejarah yang belum cukup lama cukup sarat dengan pemikiran pemikiran reflektif dan nir pamrih tentang pentingnya membela kepentingan masyarakat yang sebelumnya ditekan oleh sistem kenegaraan yang biasa menggunakan alat alat kekerasan negara untuk menutupi suara suara publik yang kritis.
Jadi tidak heran jika sekarang bahkan hanya sekadar untuk bergosip politik tentang siapa yang bisa muncul sebagai calon pemimpin ke depan benar benar hanya menjadi kontestasi tumpul yang hanya bersandar pada seolah olah popularitas atau hitung hitungan partai partai pemenang pemilu yang tidak punya program bernegara.
* Penulis Yul Amrozi, peneliti distrupsi media di Kementerian Kominfo, pernah menjadi Pollster di awal pertengahan 2000-an.