Jumat, 5 September 2025

Land Reform: Pekik Perang Agraria

Oleh: Hari  Subagyo *

LUKA nanah akibat gagalnya landreform 1960 kembali disayat oleh pekik perang agraria Menteri Nusron. Dominasi ekstrem 60 keluarga kaya menguasai 55,9 juta hektar di mana satu di antara keluarga ini menjadi “super baron” suksesor kendali 1,8 juta hektar. Model bisnis agraria tamak menjadikan tanah sebagai aset bukan ladang.

Kontrasnya, jutaan keluarga penggarap sedang bergulat mewarisi sepetak lahan yang terus menyempit hingga tuna tanah. Rumah tangga lapar tanah mengalami ketidakberdayaan terhadap akses sumberdaya agraria yang adil dan berpihak. Sementara saat lalu agensi asing IMF dan Bank Dunia ikut cawe-cawe dalam penataan agenda setting yang menguji konstitusionalisme politik agraria.

Dari 170 juta hektar daratan Indonesia, 70 juta hektar adalah kawasan non-hutan. 48 persen dari 70 juta hektar menjadi aset bisnis keluarga konglo. Beneficiary owners bertumbuh 2 hingga 3 generasi keluarga perebut konsesi HGU dan HGB berburu untung menernakkan ratusan perusahaan komersil.

Umbar data itu isyarat kode pekik perang gaya Nusron Wahid jika benar-benar ingin merealisasikan PP No. 20 tahun 2021 tentang Pertiban Kawasan dan Tanah Terlantar. Beleid era Jokowi ini menjadi pendulum keadilan mengatasi ketimpangan struktural tanah dan rakyat sejalan visi Asta Cita Presiden Prabowo Subianto.

Laporan kinerja Nusron tergantung seberapa berani melaksanakan perintah Presiden RI. Menjadikannya korlap nasional yang tak pandang bulu menetapkan tanah-tanah terlantar setidaknya 15 juta hektar per tahun. Angka yang timbul dari prakiraan aset tanah konglo 60 juta hektar sebagai obyek rekonsolidasi selama 4 tahun ke depan hingga 2029 di masa pemerintahan Prabowo.

Terlambat hampir 70 tahun, kini saatnya negara memimpin gerakan landreform pendayagunaan kawasan. Memperluas obyek sasaran dari 6 menjadi 8 kategori. 6 kategori menurut PP 20/2021 mencakup kawasan pertambangan, perkebunan, perumahan skala besar, industri, pariwisata, dan areal konsesi lain di mana atas kesemuanya kekuasaan pemerintah sebagai Kuasa Pengguna Barang dapat menempuh seluruh opsi.

2 kategori tambahan adalah aset-aset korup hasil kejahatan korporasi keluarga dan areal bidang kawasan militer. Tanah hasil korupsi jelas terjadinya akibat menterlantarkan hukum dan keadilan. Sedangkan kawasan penguasaan aset militer dengan menyesuaikan rekapitulasi data tanah Kemenhan dan Mabes TNI kiranya sebagian dapat didayagunakan menopang sirkuit produksi.

Alutsista modern lebih diperlukan daripada ratusan hektar tanah HPL. Semisal area pusat latihan tempur (puslatpur) dan obyek-obyek peruntukan matra lain yang kerap berpagar kawat bertulis _“restricted area”_. Luasan ribuan hektar di Jawa dan Sumatera yang mengandung nilai keekonomian tanah yang variatif.

Namun demikian, patut cermati lebih dulu gebrakan Menteri Nusron membereskan tanah terindikasi terlantar milik konglomerasi pemegang sertipikat HM, HGU, HGB dan HP. Termasuk pula izin kawasan HPH dan HTI. Mampukah ia memperluas struktur gerakan sapu jagat tanah terlantar? Menteri yang aktivis berkiprah dengan aksi konkret mengorganisasi kelompok kepentingan dan aktor non negara agar capaian kinerjanya terukur.

———–

*Penulis  Hari Subagyo adalah pendiri Serikat Tani Nasional (STN) dan organisator Persatuan Rakyat Demokratik (PRD).

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru