JAKARTA – Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar menegaskan pihaknya tak mempersoalkan pemberitaan JakTV. Namun pihaknya menemukan adanya tindak pidana permufakatan jahat hingga rekayasa fakta diduga untuk merintangi Kejagung dalam penyidikan kasus timah dan impor gula.
“Yang dipersoalkan oleh Kejaksaan bukan soal pemberitaan, karena kita tidak antikritik,” kata Harli dalam jumpa pers di Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, dikutip Bergelora Rabu (23/4/2025).
“Tetapi yang dipersoalkan adalah tindak pidana permufakatan jahatnya antar pihak-pihak ini, sehingga melakukan perintangan terhadap proses hukum yang sedang berjalan, ada rekayasa di situ,” lanjut Harli.
Untuk diketahui, Kejagung menetapkan tiga orang tersangka dalam kasus ini, yaitu:
1. Pengacara bernama Marcella Santoso dengan inisial MS
2. Pengacara bernama Junaedi Saibih dengan inisial JS
3. Lalu, Direktur Pemberitaan JakTV Tian Bahtiar yang diberi inisial TB.
Harli kemudian menjelaskan permufakatan jahat yang dilakukan oleh para tersangka. Mereka, kata Harli, melakukan penggiringan narasi publik agar Korps Adhyaksa dinilai buruk.
“Tiga orang ini melakukan apa? Melakukan permufakatan jahat untuk seolah-olah institusi ini busuk. Padahal kenyataannya tidak demikian. Dengan informasi yang tidak benar dikemas untuk apa? Mempengaruhi publik opini,” jelasnya.
Harli mengatakan para tersangka ini memiliki peran masing-masing untuk menjalankan praktik curang. Ada yang berperan sebagai tim yuridis dalam persidangan, ada yang mengatur rekayasa sosial yang akan dilakukan, serta tim nonyuridis.
“Coba rekan-rekan media bisa bayangkan apa yang tidak kami lakukan tapi dinyatakan seolah-olah kami lakukan. Semua dalam rangka apa? Pelemahan terhadap institusi. Untuk apa? Untuk penanganan perkara supaya sesuai dengan kehendaknya,” ungkap Harli.
“Ada peran tim non yuridis, karena kita tahu pasal sangkaannya ada Rp60 miliar dari proses hukum terkait dengan dugaan suap dan atau gratifikasi,” tambah dia.
Pada akhirnya, ketiga tersangka, lanjut Harli, hendak menggiring opini negatif masyarakat terhadap Kejagung. Para tersangka juga turut menjadi dalang berbagai aksi massa.
“Bagaimana pandangan termasuk pandangan peradilan terhadap institusi kejaksaan. Karena melakukan mobilisasi masa, massa disuruh demonstrasi dibayar dan itu terkonfirmasi,” tutur Harli.
Selain itu, Harli menyebut ada upaya pembuatan konten hingga talk show untuk menggiring opini masyarakat. Harli mengambil contoh kasus kelangkaan minyak yang sempat diusut jaksa.
“Kejaksaan memproses (mengenai kelangkaan minyak), ditemukan ada perbuatan pidana, orang-orangnya diproses. Lalu menurut kami ada kerugian keuangan negara. Kerugian keuangan negara ini oleh putusan pengadilan tidak bisa diminta kepada perorangan, tetapi kepada korporasi,” ungkap Harli.
“Lalu di korporasi di-ontslag (vonis lepas oleh hakim). Kenapa di-ontslag, salah satunya adalah (untuk) pembentukan opini yuridis yang dimainkan oleh tiga peran tadi,” sambungnya.
Selepas itu, tersangka, kata Harli melayangkan gugatan perdata hingga gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara. Gugatan itu dipublikasi seakan kejaksaan menyidik korporasi untuk meminta membayar uang pengganti.
“Jadi secara yuridis dimainkan, kemudian rekayasa sosial dimainkan, dan nonyuridis dimainkan,” imbuh Harli.
Kejagung Diminta Lapor Dewan Pers Dulu
Kepasa Bergelora.com di Jakarta dilaporkan sebelumnya, Dewan Pers menyarankan Kejaksaan Agung melaporkan pemberitaan JAK TV yang diduga memuat narasi dan konten negatif untuk menjatuhkan nama Kejagung kepada Dewan Pers terlebih dahulu.
“Sebaiknya dibawa dan diadukan dulu ke Dewan Pers dalam ranah etika jurnalistik dalam pembuatan berita,” kata Ketua BPPA Dewan Pers Bambang Santoso saat dihubungi, Selasa (22/4/2025).
Kejagung justru menersangkakan Direktur Pemberitaan JAK TV Tian Bahtiar karena diduga membuat berita negatif tentang Kejagung dan menerima uang Rp 487 juta.Â
Bambang mengatakan, dengan membuat laporan kepada Dewan Pers, pemberitaan JAK TV maupun kesalahan wewenang akan ditindaklanjuti dalam ranah etika jurnalistik
“Sebaiknya, kalau ada kesalahan wewenang ada aturannya dan dapat ditindaklanjuti dengan sebagai sengketa pers atau ranah yang lain,” ujarnya.
Pernyataan Sikap IJTI
Sehubungan dengan siaran pers Kejaksaan Agung RI Nomor: PR – 331/037/K.3/Kph.3/04/2025 tanggal 22 April 2025, terkait penetapan tersangka terhadap Direktur Pemberitaan JAK TV, maka dengan ini Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menyampaikan pernyataan sikap yang diterima Bergelora.com sebagai berikut:
1. IJTI mendukung penuh upaya pemberantasan korupsi di segala lini, termasuk langkah-langkah yang sedang dilakukan Kejaksaan Agung dalam mengungkap dugaan suap senilai lebih dari Rp478 juta yang disebut mengalir ke pihak terkait. Kami menilai hal ini memang seharusnya masuk dalam ranah pidana, dan aparat penegak hukum perlu menuntaskannya secara transparan dan akuntabel.
2. Namun demikian, IJTI mempertanyakan penetapan tersangka terhadap insan pers jika dasar utamanya adalah aktivitas pemberitaan atau konten jurnalistik, khususnya yang dikategorikan sebagai “berita negatif” yang merintangi penyidikan terkait penanganan perkara oleh Kejaksaan. Menyampaikan informasi yang bersifat kritis merupakan bagian dari kerja pers dan fungsi kontrol sosial yang dijamin oleh undang-undang.
3. Jika yang menjadi dasar penetapan tersangka adalah produk pemberitaan, maka Kejaksaan Agung seharusnya terlebih dahulu berkoordinasi dengan Dewan Pers. Sebab, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, penilaian atas suatu karya jurnalistik, termasuk potensi pelanggarannya, merupakan kewenangan Dewan Pers.
4. IJTI mengkhawatirkan bahwa langkah ini dapat menjadi preseden berbahaya, yang bisa disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk menjerat jurnalis atau media yang bersikap kritis terhadap kekuasaan. Ini akan menciptakan iklim ketakutan dan menghambat kemerdekaan pers.
5. Kami mengingatkan bahwa sesuai UU Pers, setiap persoalan atau sengketa yang berkaitan dengan pemberitaan wajib lebih dulu diselesaikan melalui mekanisme Dewan Pers, bukan langsung menggunakan proses pidana. Pendekatan represif terhadap kerja jurnalistik berpotensi mengancam kemerdekaan pers dan mencederai demokrasi.
Sebagai penutup, IJTI menegaskan dukungannya terhadap pengungkapan dugaan aliran dana suap dalam perkara ini sebagai bagian dari proses hukum pidana. Namun, jika penetapan tersangka terhadap insan pers semata-mata karena pemberitaan yang dianggap “menghalangi penyidikan”, maka kami menilai perlu ada penjelasan dan klarifikasi lebih lanjut dari Kejaksaan, serta koordinasi yang semestinya dengan Dewan Pers.
Kami menyerukan kepada seluruh insan pers untuk tetap menjunjung tinggi etika jurnalistik serta menjaga independensi dalam menjalankan tugas. Di saat yang sama, kami meminta aparat penegak hukum untuk menghormati kemerdekaan pers dan tidak menggunakan pendekatan represif terhadap kerja jurnalistik. (Web Warouw)