KUPANG- Lebih dari 13.000 rakyat Nusa Tenggara Timur yang menjadi korban pencemaran Laut Timor mendesak Presiden Joko Widodo untuk membatalkan perjanjian 1997 antara Indonesia-Australia tentang ZEE dan Batas-Batas Dasar Laut Tertentu di Laut Timor.
“Kami juga meminta DPR-RI mendukung pemerintahan Presiden Jokowi untuk membatalkan perjanjian tersebut, karena belum diratifikasi oleh parlemen kedua negara dan tidak bisa diimplementasikan menyusul Timor Timur telah berdiri menjadi sebuah negara merdeka melalui referendum pada 1999,” demikian pernyataan rakyat korban pencemaran yang disampaikan oleh Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) Ferdi Tanoni kepada pers di Kupang, Senin (18/9).
Kepada Bergelora.com dilaporkan, lebih dari 13.000 rakyat NTT itu merupakan petani rumput laut yang saat ini tengah menggugat PTTEP Australasia, sebuah perusahaan minyak asal Thailand, akibat anjungan minyak Montara yang dikelolanya di Blok Atlas Barat Laut Timor terbakar dan meledak pada 21 Agustus 2009 yang mengakibatkan usaha rumput laut di wilayah pesisir Pulau Rote dan Kabupaten Kupang, NTT hancur total.
Melalui Ferdi Tanoni yang telah mengadvokasi mereka untuk menggugat perusahaan minyak di Pengadilan Federal Australia di Sydney setelah lebih dari tujuh tahun lamanya berjuang, kini mereka juga meminta Presiden Joko Widodo dan DPR-RI untuk membatalkan Perjanjian 1997 yang ditandatangani oleh Menlu Ali Alatas dan rekandanya dari Australia Alexander Downer di Perth, Australia Barat pada 1997.
Saat perjanjian itu ditandatangani, Timor Timur masih menjadi bagian integral dari NKRI, namun melalui referendum pada Agustus 1999, Timor Timur memilih untuk menentukan nasibnya sendiri dengan melahirkan sebuah negara baru di kawasan Laut Timor bernama Republik Demokratik Timor Leste (RDTL), sehingga apapun alasannya, perjanjian tersebut wajib dibatalkan dan dirundingkan kembali secara trilateral.
Pemerintah Australia yang seharusnya ikut bertanggung jawab atas kasus petaka tumpahan minyak Montara 2009 tersebut telah dengan sengaja menutupi dan mendiamkam petaka Montara yang telah mengakibatkan lebih 100.000 penduduk miskin di pesisir NTT menderita karena secara langsung mata pencaharian mereka telah dibunuh, tambah Tanoni.
Tanoni yang juga mantan agen imigrasi Australia itu menjelaskan Perjanjian 1997 tersebut hanya memuat 11 pasal, dan dengan tegas menyatakan bahwa
“Perjanjian ini mulai berlaku pada saat pertukaran piagam-piagam ratifikasi”. Namun, Australia secara sepihak mengimplementasikan Perjanjian 1997 tersebut tanpa mengindahkan pasal-pasal yang tercantum di dalamnya, ujarnya.
Tanoni yang meraih “Civil Justice Award Australian Lawyers Alliance 2013” ini kemudian mempertanyakan, “Apakah kita (Indonesia) perlu mempertahankan hubungan bilateral dengan Australia yang hanya menguntungkan kepentingan Australia semata, sementara kepentingan Nasional Indonesia termasuk kedaulatan kita harus dikorbankan?”
Perubahan Geopolitik
Ia menambahkan sejak 1999 telah terjadi perubahan geopolitik yang sangat signifikan di Laut Timor dengan lahirnya setelah negara baru, Timor Leste menjadi satu negara berdaulat sehingga Laut Timor sudah bukan merupakan milik dari dua negara lagi, tapi sudah merupakan milik tiga negara yakni Indonesia, Australia dan Timor Leste.
Tanoni juga mengatakan bahwa Perjanjian Indonesia-Australia pada 1972 tentang Penetapan Batas Landas Kontinental itu menggunakan prinsip landas kontinen perpanjangan alamiah (natural prolongation) sehingga mengabaikan prinsip “media line” atau garis tengah dalam menetapkan batas landas kontinen kedua negara.
Prinsip tersebut melegitimasi argumentasi Australia bahwa Benua Australia dan Pulau Timor terletak dalam dua kontinen yang berbeda dan Palung Timor merupakan representasi fisik bagian Utara dari batas landas kontinen Australia. Namun, prinsip itu tidak benar, karena dalam perjanjian tersebut diabaikan prinsip “media line” untuk menetapkan batas landas kontinen bagi kedua negara.
Konsepsi tersebut, kata Tanoni, menggunakan konsepsi kelanjutan alamiah sehingga batas landas kontinen ditetapkan pada poros kedalaman laut (bathy-metric-axis) di Palung Timor, sehingga Australia bisa menguasai 85 persen dasar Laut Timor yang kaya akan fosil dan bahan bakar minyak serta gas itu.
Padahal, kata dia, fakta geologi dan geomorfologi menunjukkan Benua Australia dan Pulau Timor berada dalam satu landasan kontinen yang sama yakni landas kontinen Australia dan Palung Timor hanyalah merupakan patahan alamiah biasa saja.
Sehubungan dengan fakta tersebut, maka berdasarkan definisi landas kontinen Konvensi Jenewa 1958 Tentang Landas Kontinen dan Konvensi Hukum Laut 1982, landas kontinen negara pantai minimal 200 mil laut dihitung dari garis-garis pangkal laut wilayahnya.
Namun jika pantai negara tersebut letaknya berhadapan dengan pantai negara lain seperti halnya antara Indonesia di wilayah Pulau Timor dan Australia maka yang berlaku adalah prinsip-prinsip delimitasi dan bukan definisi landas kontinen.
“Atas fakta dan dasar inilah maka sudah seharusnya batas landas kontinen RI-Australia di Laut Timor ditetapkan pada garis tengah antara garis pangkal laut wilayah Indonesia dan Australia,” katanya menjelaskan.
Pada 1997, pemerintah Indonesia dan Australia telah menandatangani Perjanjian Batas-Batas Dasar Laut Tertentu dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Laut Timor yang hingga saat ini belum diratifikasi oleh kedua negara, sehingga pemerintahan Presiden Joko Widodo wajib membatalkannya, karena Timor Timur telah berdiri menjadi sebuah negara merdeka dan berdaulat. (Rudy)