JAKARTA – RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) telah lebih dari 20 tahun tertunda pengesahannya. Sejak pertama kali diusulkan pada 2004 sebagai inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), RUU ini belum juga disahkan oleh legislatif.
Masa bakti DPR periode 2019-2024 yang berakhir pada 30 September 2024 semakin menambah kekhawatiran banyak pihak, termasuk para pekerja rumah tangga di seluruh Indonesia. Komisi Nasional Disabilitas (KND) mengingatkan urgensi pengesahan RUU PPRT. Komisioner KND Fatimah Asri Mutmainah menekankan pekerja rumah tangga sering mengalami kekerasan dan eksploitasi yang berisiko menimbulkan disabilitas baru, baik fisik maupun mental.
“Pekerja rumah tangga sering menjadi korban kekerasan, yang berdampak pada munculnya disabilitas fisik dan mental,” kata Fatimah dalam jumpa pers di Kantor Komnas Perempuan, Jumat (19/7/2024) lalu.
Komnas Perempuan menegaskan pengesahan RUU PPRT sangat krusial bagi perlindungan PRT. Wakil Ketua Komnas Perempuan Olivia Chadidjah Salampessy menyatakan RUU ini berpotensi menjadi RUU non-carry over apabila tidak disahkan pada periode DPR 2019-2024.
“Seluruh tahapan yang sudah berlangsung bisa dimulai kembali dari awal,” kata Olivia.
Jika hal itu terjadi, maka proses pembahasan RUU bisa semakin panjang, dan membuyarkan harapan para PRT buat mendapatkan perlindungan hukum dalam menjalani profesinya.
RUU PPRT dianggap sangat penting karena tidak sedikit cerita para PRT diperlakukan buruk oleh para majikannya. Bahkan dari mereka ada yang mengalami pelecehan sampai rudapaksa, digaji tidak sesuai upah minimum, bahkan menjadi korban penyekapan dan lainnya.
Salah satunya pengalaman buruk dialami oleh seorang PRT, Desi, yang sudah bekerja selama puluhan tahun. Desi mengaku sering diremehkan oleh majikannya meskipun sudah berusia 46 tahun.
“Saya pernah diberi makanan sisa dari hari sebelumnya,” kata Desi saat ditemui dalam unjuk rasa para PRT di depan Gedung DPR RI, Jakarta Pusat, Rabu (11/9/2024).
Pengalamannya masih tergolong ringan dibandingkan kasus kekerasan ekstrem yang menimpa rekan-rekannya.
Staf Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), Jumisih, menyuarakan kekecewaannya terhadap lambatnya proses pengesahan RUU ini.
Jumisih menyoroti lebih dari 10 juta pekerja rumah tangga di Indonesia dan luar negeri yang hidup tanpa perlindungan hukum yang memadai.
“Kami mendesak pimpinan DPR segera mengesahkan RUU ini demi kemanusiaan dan keadilan bagi para pekerja,” kata Jumisih.
Anggota DPR dari fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Luluk Nur Hamidah, mengkritik sikap DPR yang lamban membahas RUU PPRT.
“RUU lain bisa disahkan dalam waktu kurang dari tujuh jam,” kata Luluk.
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, dalam rapat paripurna pada 30 September 2024, DPR menyatakan RUU PPRT masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2024-2029.
Harapan para PRT buat mendapatkan payung hukum dalam menjalani profesi mereka nampaknya tertunda lagi. (Web Warouw)