JAKARTA – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan bahwa pemerintah daerah harus siap mendukung dan memaksimalkan serta memajukan potensi negeri ini. Padahal diberbagai daerah terjadi perampasan tanah-tanah pertanian secara brutal diikuti intimidasi dan penangkapan terhadap kaum tani desa.
“Daerah harus siap memajukan pertanian,” kata Tjahjo saat bertemu Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman di Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Senin (21/11).
Mendagri sendiri sedang mematangkan rencana-rencana percepatan pembangunan di bidang pertanian bersama Mentan dan Menteri Desa. Hal ini melihat di Indonesia sendiri, unsur pembangun pertanian sangatlah melimpah. Lahan dan pengairan sudah ada, sehingga tinggal memaksimalkan itu semua.Maka dari itu menurut Tjahjo perlu sinergi Kementerian untuk memajukan potensi yang ada di dalam negeri.
Dalam hal ini, Kemendagri sebagai “pemilik” daerah bersama Kementerian Pertanian dan Kementerian Desa harus benar-benar bersatu. Terlebih, menurut Mentan Amran, ada banyak dari masyarakat Indonesia bergantung pada bidang pertanian.
“Ada sekitar 150 juta warga Indonesia yang terlibat di sana (agraris),” ujar Mentan.
Kepada Bergelora.com dilaporkan lebih rinci mengenai lahan, ada 4 juta hektar yang saat ini menjadi sasaran maksimalisasi pertanian di Indonesia. Kondisinya, lahan-lahan itu baru bisa ditanami satu kali dalam satu tahun.
Dengan waktu tanam yang hanya sekali, penghasilan dari sektor pertanian padi, jagung dan kedelai dikalkulasi mencapai Rp 100 triliun lebih setahun.
Jika pemerintah Indonesia bisa mengkondisikan 4 juta hektar lahan itu ditanami 2 kali dalam satu tahun. Hasilnya akan ada dua kali Rp 100 triliun dihasilkan dari sektor tersebut. Ketiga Menteri saat ini berupaya membangun fasilitas terkait untuk merealisasikan penggandaan hasil panen ini. Ada skema bendungan dan elemen penunjang pertanian lainnya yang sedang digodok.
“Ini sedang kita bangunkan grand design untuk 1 juta hektar di Jawa dan 3 juta hektar di luar Jawa,” demikian Amran.
Perampasan & Intimidasi
Namun sebelumnya sebaliknya, Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) kepada Bergelora.com membeberkan penggusuran atas nama pembangunan demi kepentingan umum terus dilakukan dengan pendekatan represif. Sejak Kamis (17/11/2016) Desa Sukamulya, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat dalam kondisi mencekam. Desa ini menjadi benteng penolakan terakhir, setelah 10 desa lainnya mengalami penggusuran untuk pembangunan Bandara Kertajati, atau kini dikenal proyek Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB).
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Dewi Kartika menjelaskan, ribuan warga Sukamulya melakukan penolakan terhadap proses pengukuran lahan BIJB yang melibatkan 1.200 personel aparat gabungan TNI, POLRI dan Satpol PP. Tembakan gas air mata, pemadaman listrik, sweeping dan pendirian tenda aparat di tengah-tengah pemukiman telah menciptakan teror bagi warga.
Proses pengukuran yang berakhir ricuh, berujung pada penangkapan 6 orang warga dan belasan warga lainnya luka-luka, serta menyisakan ketakutan dan trauma bagi warga, terutama perempuan dan anak-anak.
“Terhadap peristiwa ini, KNPA telah melayangkan surat protes kepada Presiden Jokowi, yang pada pokoknya menuntut Presiden menghentikan tindakan represif, kriminalisasi oleh aparat keamanan kepada warga Desa Sukamulya dan memerintahkan penarikan aparat keamanan dari lokasi kejadian serta membebaskan petani yang masih ditahan,” ujarnya.
Ia mengingatkan, pengerahan aparat keamanan, intimidasi, kriminalisasi dan teror seolah menjadi pola standar pemerintah Joko Widodo dalam upaya menggusur lahan warga dengan mengatasnamakan pembangunan dan investasi.
“Pola semacam itu juga terjadi pada pembangunan Waduk Jatigede, Reklamasi Jakarta, Reklamasi Bali, Pabrik Semen Kendeng, real estate Karawang dan lainnya,” tegasnya.
Bandara Internasional
Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB), awalnya merupakan salah satu proyek nasional MP3EI era Presiden SBY-JK, dan kini dikukuhkan menjadi proyek strategis nasional di pemerintahan Jokowi-JK melalui Perpres no 3 tahun 2016 tentang percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional. Berdasarkan keputusan sepihak di atas kertas, pemerintah dari level terendah hingga pusat menyetujui pembangunan BIJB yang mulai mencuat sejak tahun 2004 silam.
Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) yang sebenarnya hanya membutuhkan lahan seluas 1.800 ha, ternyata harus ditopang oleh kegiatan bisnis melalui pengembangan Kertajati Aerocity yang membutuhkan lahan seluas 3.200 ha, sehingga totalnya akan menggusur 5000 ha lahan di 11 desa, yang mayoritasnya adalah lahan pertanian produktif. Padahal saat ini di Jawa Barat sudah terbangun enam Bandara yang fungsinya bisa di optimalkan, sehingga urgensi pembangunan BIJB patut dipertanyakan.
Dari 11 desa yang yang terkena dampak penggusuran yang telah ditetapkan melalui SK Menteri Perhubungan No. 34/2005 yang diperbarui melalui KP 457 tahun 2012, sebanyak 10 desa telah diratakan tanpa proses memadai dan informasi yang jelas bagi masyarakat. Desa Sukamulya merupakan satu satunya desa yang masih memilih bertahan mempertahankan tanah dan kampungnya. Rencana pengukuran hari ini telah mengancam 1.478 KK dengan luas lahan lebih dari 500 ha di desa Sukamulya tergusur demi Proyek Pembuatan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati.
Ironi alih fungsi lahan: Dalam UU No.19 tahun 2013, tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, pasal 103 menyebutkan bahwa Petani yang mengalihfungsikan lahan Pertanian menjadi lahan non Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Namun dalam kasus penggusuran di Desa Sukamulya dan banyak kasus lainnya, justru pemerintah yang melakukan alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian
Data KPA menyebutkan bahwa dalam dua tahun terakhir (2014-2015) telah terjadi serangkaian kekerasan dalam konflik agraria; 534 orang ditahan, 234 dianiaya, 56 tertembak dan 24 orang gugur dalam mempertahankan hak atas tanah mereka. (Max K. Lasut)