JAKARTA- Perkembangan politik menjelang pelaksanaan Pilkada serentak pada Februari 2017 mendatang akhir-akhir ini semakin mencemaskan bagi kehidupan demokrasi di Indonesia. Politisasi sentimen Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan (SARA) semakin marak terjadi dan menghiasi ruang publik. Penggunaan isu SARA sebagai instrumen politik untuk menyerang lawan politik dan sekaligus menghimpun dukungan politik adalah perilaku politik menjijikkan. Demikian Direktur Imparsial Al Araf dalam jumpa pers di Gedung YLBHI, Jalan Diponegoro nomor 74, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (18/11) yang dihadiri perwakilan lembaga seperti LBH Jakarta, YLBHI, TURC, Yayasan Satu Keadilan, Politik Rakyat, Elsam, dan LBH Pers.
“Kami mendesak elit politik dan masyarakat secara umum untuk segera mengakhiri penggunaan atau politisasi sentimen SARA, hentikan penebaran ujaran kebencian di ruang publik, dan stop kekerasan,” tegasnya.
Menurutnya, politisasi SARA dalam politik elektoral yang disertai dengan mobilisasi massa tidak hanya berbahaya bagi kondisi keamanan, akan tetapi juga mempertaruhkan masa depan keberagaman di Indonesia.
“Kembalikan demokrasi elektoral sebagai ruang politik yang substantif dan bermakna dan bersih dari suap dan korupsi untuk mewujudkan keadilan, kesejahteraan rakyat,toleransi, kemanusiaan, kesetaraan gender dan hak asasi manusia,” ujarnya.
Kepada Bergelora.com juga dilaporkan, Deputi Direktur Pengembangan Sumberdaya HAM-ELSAM, Wahyudi mengatakan penggunaan politik SARA dalam politik elektoral bukan hanya tidak konstruktif dalam kerangka politik demokrasi, tapi sangat berbahaya karena potensi konflik dan kekerasan berbasis sentimen ini rentan terjadi di Indonesia. Apalagi dinamika penggunaan isu ini juga diwarnai oleh penebaran ujaran kebencian di ruang publik yang semakin memupuk kebencian dan intoleransi di masyarakat.
“Politisasi SARA dan penebaran ujaran kebencian akan mendorong masyarakat secara perlahan ke dalam ikatan-ikatan sosial yang primordial, mengikis solidaritas kewargaan, dan meruntuhkan kebhinnekaan yang menjadi dasar utama dari pendirian republik Indonesia,” jelasnya.
Elit politik dan masyarakat menurutnya secara umum mestinya menyadari bahwa Pilkada sejatinya adalah ruang dan mekanisme politik dalam demokrasi untuk memilih pemimpin terbaik sebagai pemegang kedaulatan rakyat dan untuk mewujudkan gagasan dan agenda tentang keadilan, kesetaraan serta kesejahteraan rakyat.
Ia mengingatkan politik elektoral ini sangat penting dijalankan secara edukatif dan konstruktif untuk mencapai tujuan politik yang luhur tersebut. Nalar politik yang kritis dan transformatif harus dibangun dalam menseleksi dan memilih calon pemimpin.
“Politik yang konstruktif yang mengedepankan seleksi calon pemimpin bukan atas dasar SARA tetapi integritas, gagasan, dan agenda yang diusungnya harus dikedepankan,” jelasnya.
Dalam konteks politik elektoral ini ia menambahkan, demokrasi akan menjadi omong kosong belaka ketika gagasan untuk mewujudkan keadilan, kesejahteraan, dan pemenuhan hak-hak sosial-ekonomi terpendam dan luput dari perdebatan publik dalam dinamika politik Pilkada ini.
“Karena itu, penggunaan isu SARA dan perdebatan politik lain yang minus substansi harus segera diakhiri dengan mengedepankan pertarungan gagasan yang konstruktif dan substantif,” tegasnya.
Direktur Eksekutif TURC Andriko Otang juga memandang bahwa sangat penting dan sudah menjadi keharusan bagi aparat keamanan (Polisi,TNI, Intelijen) untuk menunjukkan sikap netralitas dan independensinya di tengah pelaksanaan politik elektoral Pilkada. Aparat keamanan dituntut bekerja secara profesional dan akuntabel sesuai dengan tugas pokoknya.
“Aparat keamanan (Polisi, TNI, Intelijen) harus bersikap netral dan menunjukkan independensi, menjalankan tugasmasing-masing secara profesional dan akuntabel,” tegasnya.
Direktur Advokasi YLBHI, Bahrain mengatakan keberpihakan secara politik dan atau pemanfaatan situasi politik ini untuk tujuan lain yang merupakan bentuk dan cerminan dari penyimpangan dari profesionalitasnya harus dicegahdan dihindari. Hal ini penting dan dibutuhkan untuk menjamin dan memastikan dinamikapelaksanaan Pilkada berjalan aman dan damai. Penyimpangan akan mengancam keamanan pelaksanaan Pilkada.
“Menjaga perdamaian dan keamanan ini tentu bukan semata kewajiban dari aparat keamanan, tapi juga menjadi tugas dan tanggung jawab semua elemen di masyarakat. Dalam kerangka ini, masyarakat terutama kalangan elit politik dan agama dituntut juga untuk mengedepankan nilai perdamaian, toleransi, dan pertarungan gagasan konstruktif dalam konteks elektoral ini,” tegasnya. (Enrico N. Abdielli)