Senin, 16 September 2024

Mahkamah Konstitusi Sering Dijadikan Panggung Menggapai Popularitas

JAKARTA- Ketidakseriusan pemohon pengujian undang-undang telah menyebabkan sebanyak 15 permohonan ditarik kembali oleh pemohon dan 5 putusan gugur yang disebabkan pemohon tidak hadir dipersidangan setelah dipanggil secara sah dan patut. Temuan ini menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) seringkali dijadikan sebagai panggung untuk menggapai popularitas semata.

“Banyak pihak yang menggunakan panggung MK bukan untuk tujuan membela hak konstitusional warga, sebagaimana raison de etre dari kehadiran MK,” Hal ini disampaikan Ketua Setara Institute, Hendardi kepada Bergelora.com di Jakarta, Kamis (25/8).

Untuk itu, masyarakat dan praktisi hukum diminta meningkatkan kesadaran dalam berkonstitusi dengan cara tidak mengajukan perkara ke MK dengan cara yang tidak serius.

“Karena penggunaan alat-alat negara untuk tujuan yang tidak serius merupakan bentuk rendahnya penghormatan terhadap praktik ketatanegaraan,” katanya.

Sebelumnya, SETARA Institute melaporkan, terdapat 15 permohonan pengujian yang melakukan penarikan kembali dan 5 permohonan gugur karena pemohon tidak datang ke persidangan setelah dipanggil secara sah.

“Temuan ini membuktikan bahwa ketidakseriusan pemohon mengajukan permohonan pengujian undang-undang di MK cukup tinggi,”  demikian Direktur Riset SETARA Institute, Ismail Hasani.

Mahkamah Konstitusi juga menurutnya perlu memperbaharui hukum acaranya, khususnya terkait batas waktu yang jelas antara Rapat Permusyawaratan Hakim dengan pembacaan putusan, sehingga keadilan tidak semakin tertunda.

“Hukum acara MK juga menuntut konsistensi agar perkara-perkara yang tidak memenuhi syarat formil dapat diselesaikan dengan seminimal mungkin persidangan, sehingga menghemat waktu dan anggaran negara,” jelasnya.

Justice delayed akibat ketidakjelasan standar waktu bagi MK untuk membacakan putusan menurutya akan menjadikan justice denied bagi masyarakat pencari keadilan.

“Baik Undang-Undang maupun Peraturan MK tidak mengatur ketentuan waktu yang detail kapan pembacaan sidang pleno putusan dilakukan, setelah adanya hasil Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Tidak adanya batas waktu, memungkinkan MK berpolitik dalam membacakan putusan,” katanya.

Riset Putusan

Ia mengingatkan bahwa selama ini Mahkamah Konstitusi RI dianggap menjadi salah satu mekanisme nasional baru yang efektif dalam pemajuan dan perlindungan HAM dan secara simultan memberikan legal policy baru yang mengandung dimensi kepastian, kebenaran, dan keadilan konstitusi.

“MK masih menunjukkan produktivitas dari segi kuantitas. Tidak kurang 124 putusan telah dihasilkan dalam rentang waktu 19 Agustus 2015-15 Agustus 2016. Namun demikian, prestasi dan produktivitas MK tetap menuntut perhatian seksama dari berbagai elemen, khususnya dalam rangka memeriksa kontribusi MK pada pemajuan dan perlindungan HAM serta penguatan rule of law di Indonesia,” ujarnya.

Meriset putusan-putusan MK untuk menangkap arah politik hukum yang dikembangkan oleh para hakim yang bertugas, adalah cara untuk mengetahui otentisitas kinerja MKRI pada periode tertentu. Atas dasar kebutuhan itu, SETARA Institute melakukan penelitian atas putusan-putusan MK, khususnya terkait kewenangan pengujian undang-undang.

Laporan kinerja Mahkamah Konstitusi ini adalah penelitian rutin SETARA Institute, yang merupakan penelitian lanjutan dari penelitian terdahulu, yakni penelitian 10 Tahun Kinerja Mahkamah Konstitusi RI dan penelitian kinerja tahunan Mahkamah Konstitusi. Objek penelitian ini adalah 124 putusan yang dikeluarkan pada 19 Agustus 2015-15 Agustus 2016.

Penelitian ini, secara umum bertujuan untuk mengetahui kinerja manajemen peradilan konstitusi, kualitas putusan, dan kontribusi Mahkamah Konstitusi pada pemajuan dan perlindungan HAM serta penguatan rule of law/ demokrasi konstitusional pada periode riset.

Sepanjang periode riset ini, Mahkamah Konstitusi telah memutus 124 permohonan pengujian undang-undang yang menguji 137 konstitusionalitas undang-undang. Dari 124 putusan tersebut, terdapat sebanyak 19 putusan kabul, 44 putusan tolak, 41 putusan tidak dapat diterima, 15 ketetapan, dan 5 putusan gugur.

Jika diperbandingkan, hasil pengujian undang-undang periode riset ini tidak jauh berbeda dengan putusan yang dihasilkan Mahkamah Konstitusi periode Agustus 2014-Agustus 2015, yakni sebanyak 135 putusan dengan 21 diantaranya putusan kabul, 43 putusan tolak, 43 putusan tidak dapat diterima, 22 putusan yang ditarik kembali (dalam bentuk Ketetapan) dan 6 putusan gugur.

SETARA Institute memberi tone negatif (-) pada 8 putusan yang terdiri dari 5 putusan tolak dan 3 putusan kabul. Tone positif (+) sebanyak 18 putusan yang terdiri dari 10 putusan kabul dan 8 putusan tolak. Selebihnya tone wajar/netral (=) sebanyak 98 putusan yang terdiri dari 6 putusan kabul, 31 putusan tolak, 41 putusan tidak dapat diterima, 5 putusan gugur, 15 ketetapan. (ZKA Warouw)

 

 

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,100PelangganBerlangganan

Terbaru