Minggu, 8 September 2024

Siauw Tiong Djin: Harapan Seorang Indonesia Di Perantauran

JAKARTA- Ribuan kaum diaspora Indonesia tersebar di seluruh belahan dunia. Mereka bekerja, belajar atau bahkan tinggal dan hidup di negeri orang. Bergelora.com bekerjasama dengan Gerakan Kebaikan Indonesia (GKI) menurunkan kisah-kisah mereka yang sudah dimuat di http://www.kabar-rantau.com/

 

Pada 29 Desember 1973, saya berangkat ke Melbourne, Australia dari Jakarta untuk belajar. Sebagai seorang korban “kejahatan Negara” saya sangat beruntung memperoleh kesempatan belajar di luar negeri, berkat kebaikan hati paman yang sudah bermukim di Australia. Sejak itu, walaupun saya sering ke Indonesia berkunjung, saya berdomisili di Australia.

Sehari sebelum berangkat saya berkesempatan menemui ayah, Siauw Giok Tjhan yang ditahan pemerintah Orde Baru sejak Nopember 1965 di penjara Salemba, Jakarta, untuk berpamitan.  Dalih penahanan tanpa proses hukum apapun yang berlangsung 12 tahun ini adalah ia dianggap berbahaya untuk Indonesia karena dinilai mendukung komunisme. Sebelum 1 Oktober 1965 merupakan salah satu pilar dasar politik negara Indonesia: Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunisme).

Siauw merupakan Ketua Umum Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia), anggota Dewan Pertimbangan Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara  dan beberapa institusi lain. Ia gigih menentang rasisme dan mencanangkan paham integrasi (kini lebih dikenal sebagai multikulturalisme) dalam membangun bangsa Indonesia, bangsa yang ber Bhinneka Tunggal Ika. Harapannya komunitas Tionghoa diterima sebagai salah satu suku di Indonesia.  

Saya garis bawahi keberlangsungan “Kejahatan Negara” (State Crimes) adalah dari 1965 hingga terpilihnya Abdurrahman Wahid sebagai Presiden Republik Indonesia pada 1999. Aparat pemerintah di bawah pimpinan Jenderal Soeharto — awalnya kepala Kopkamtib dan kemudian menjadi Presiden RI — melaksanakan pembunuhan missal, jutaan orang dibunuh kejam; menahan ratusan ribu orang yang tidak bersalah tanpa proses hukum bertahun-tahun; dan mempersekusi jutaan orang lain (sanak keluarga hingga cucu yang pada 1965 belum lahir, para kerabat dan semua orang yang pernah berhubungan) yang dianggap menganut paham politik kiri.

Saya tumbuh di masa persekusi sistematik oleh pemerintah. Untuk masuk sekolah, saya harus menggunakan nama seorang paman sebagai wali, tidak bisa menggunakan nama Siauw Giok Tjhan, yang cukup dikenal pada masa itu. Para kakak yang sudah berusia di atas 18 tahun harus melarikan diri, menghindari penangkapan massal. Ibu saya, Tan Gien Hwa, sempat ditahan sebulan, sebagai sandra untuk kakak yang dicari tapi sempat melarikan diri. Adik ayah, Siauw Giok Bie ditahan pula di kota Malang selama 12 tahun tanpa proses hukum. Beberapa paman lain diteror, ditahan berminggu-minggu, diperas sebelum dibebaskan. Pada akhir 1965 kami diusir dari rumah kediaman kami yang ayah sewa dari BR Motikdi jalan Tosari karena ada seorang jenderal yang mengiginkannya. 

Sebagai keluarga seorang tahanan politik, kami tidak memiliki hak hukum apapun. Hidup kami terasing bahkan terisolasi. Kami tidak bisa memperoleh Surat Bebas G30S/PKI. Kami kerap menyembunyikan identitas menghindari berbagai masalah. Akan tetapi, kami masih merasa beruntung karena ibu dan beberapa anaknya termasuk saya masih bisa hidup bersama di luar tahanan. Banyak keluarga tapol lain tercerai berai.

Pesan Ayah

Pada waktu ayah memeluk saya dan menyatakan selamat jalan pada akhir Desember 1973 di penjara Salemba, ia berseru: “Ingat selalu, Djin adalah orang Indonesia”. Kata-kata yang masih mengiang di telinga saya, 43 tahun kemudian dan yang menjadi dasar sikap saya sebagai seorang Indonesia, walaupun sudah lama hidup di luar Indonesia. 

Latar belakang inilah yang menimbulkan berbagai harapan sebagai seorang Indonesia yang hidup di perantauran. Saya berharap Indonesia yang menginjak usia ke 70 pada 2015 ini berkembang sebagai sebuah negara hukum di mana  Rule of Law ditegakkan sepenuhnya.

Indonesia tidak bisa terus menerus menjadi negara dengan jutaan rakyatnya hidup sebagai pelarian atau tahanan politik tanpa proses hukum.Bentuk Rule of Law harus berpijak di atas komitmen yang mengenyahkan kemungkinan terulangnya keberlangsungan Kejahatan Negara dan berbagai tindakan pelanggaran hak asasi manusia dari 1965 hingga 1999. Pengakuan pemerintah bahwa kejahatan negara dan pelanggaran HAM terjadi tentunya merupakan sebuah langkah positif yang membangun. Alangkah baiknya jika ini diikut sertai sebuah pengakuan resmi dan permintaan maaf dari presiden RI.

Indonesia adalah salah satu penanda tangan Declaration of Human Rights dan pengukuhannya. Alangkah baiknya bila Indonesia berkembang sebagai sebuah negara yang sepenuhnya melaksanakan HAM. Undang-undang yang mengukuhkan HAM dikeluarkan dan semua pelanggaran HAM ditindak tegas.

Saya tumbuh di sebuah zaman di mana rasisme terhadap komunitas Tionghoa di banyak bidang dilaksanakan oleh aparat pemerintah, baik berdasarkan undang-undang dan peraturan-peraturan yang mengandung rasisme atau tidak.  Sayapun mengalami kebijakan pemerintah yang menginginkan ciri-ciri etnisitas ke Tionghoaan lenyap dari bumi Indonesia. Sejak 1966 hingga 2000, komunitas Tionghoa dilarang merayakan tahun baru Imlek, dilarang melakukan ibadah kepercayaannya di depan umum, dipaksa mengganti nama ke nama-nama yang tidak berbau Tionghoa, didiskrimnasi masuk universitas, masuk ke lembaga-lembaga militer dan pemerintahan. 

Istilah Tionghoa yang lahir sebagai pengakuan atas nasionalisme Tiongkok di awal abad ke 2000, secara resmi diubah dengan “Cina” oleh pemerintah pada 1967. Di Indonesia, “Cina” mengandung konotasi penghinaan. Secara umum, komunitas Tionghoa diletakkan di posisi yang perlu memperoleh perlayanan berbeda dari mayoritas. Perubahan-perubahan fundamental yang membangun dimulai Gus Dur setelah ia menjadi presiden RI dan untungnya dilanjutkan oleh Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono dan kini Joko Widodo. 

Bhinneka Tunggal Ika

Saya berharap, Indonesia yang berazaskan Bhinneka Tunggal Ika, berkembang sebagai sebuah negara yang mendukung multikulturalisme.  Rasisme sepenuhnya diperlakukan sebagai sebuah sikap dan tindakan yang melanggar hukum. Setiap warga negara Indonesia memiliki hak dan kewajiban yang sama, tanpa perbedaan atas dasar ras, keturunan, agama maupun paham politik. Tentunya ini hanya mungkin terwujud bilamana kebijakan pemerintah dan dinamika antarkomunitas conducive untuk pluralisme yang kini lebih dikenal sebagai multikulturalisme.

Para perintis kemerdekaan Indonesia mengorbankan jiwa raga mencapai kemerdekaan dalam arti sesungguhnya. Kemerdekaan di alam yang demokratis menentang adanya penindasan dari sebuah kelompok politik tertentu, agama tertentu atau ras tertentu atas kelompok lainnya. Rakyat Indonesia-lah yang berhak menentukan melalui proses demokrasi dan institusi demokrasi, apa yang terbaik untuk Indonesia dan rakyatnya, bukan sekelompok penguasa elit tertentu saja. Dan kemerdekaan yang menjamin Indonesia tidak didikte negara-negara kuat lainnya karena faktor ekonomi maupun militer. 

Sebagian besar rakyat Indonesia masih berada dalam kemiskinan. Globalisasi menuntut perubahan kebijakan makro ekonomi yang bersandar atas pembangunan yang mempercepat kemakmuran merata. Korupsi yang sudah membudaya di seluruh lapisan masyarakat harus diberantas.  Apa yang dilakukan oleh Presiden Xi Jinping di Tiongkok dalam pemberantasan korupsi di dari lapisan tertinggi hingga menengah bisa ditiru. Kekayaan alam, sesuai dengan Undang-Undang Dasar hendaknya dijadikan salah satu sumber kemakmuran rakyat. Sistem perpajakan dilaksanakan sedemikian rupa sehingga yang berpenghasilan tinggi membayar pajak tinggi, membantu pembangunan ekonomi yang menjamin kemakmuran yang merata.  (Calvin G. Eben-Haezer)

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,100PelangganBerlangganan

Terbaru