Senin, 16 September 2024

Maluku, Kawasan Timur dan Aliansi AUKUS di Pasifik

Oleh: Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina *

KEMISKINAN di Maluku bukan sekadar wacana, karena data resmi pemerintah, angka-angka ekonomi sudah memberikan gambaran nyata mengenai situasi itu. Maluku bersama seluruh daerah kawasan timur berada dalam kemiskinan. Ada seluruh Tana Papua, Maluku dan Nusa Tenggara Timur, yang sering boleh dibilang hanya tukar nomor urut kemiskinan. Meski hanya beberapa provinsi, tetapi cakupan wilayahnya hampir sebagian dari luas seluruh Indonesia.

Kemiskinan ini, kalau tidak ada kebijakan yang luar biasa, bukan mustahil, kawasan ini menjadi wilayah miskin permanen.

Namun, dari masa ke masa, bukan kemiskinan yang teratasi, tetapi hanya penghalusan diksi kemiskinan, mulai dari daya beli rendah, pra sejahtera, rawan pangan, tertinggal dan sebagainya. Tetapi, secara substansi ketiadaan kesejahteraan merupakan suatu kenyataan, yang sekaligus menjadi ironi dari kekayaan sumber daya alam yang sangat melimpah, mulai dari laut, flora, fauna, minyak dan gas.

Kalau ditelisik ke belakang, Maluku ini selalu menjadi korban, bukan karena Maluku sendiri tetapi karena kekayaannya. Sejarah menunjukkan Maluku selalu menjadi korban eksploitasi untuk kesejahteraan di tempat lain. Setidaknya, ada tiga momentum, Maluku dikeruk sedemikian rupa tetapi, wilayah dibiarkan dalam kemiskinan.

Pertama, kekayaan rempah hanya menghadirkan peradaban baru bagi dunia barat, Maluku menjadi korban penindasan dari kolonialisme. Pencarian dan perdagangan rempah pada masa lalu inilah yang melahirkan teknologi kelautan pada masanya, perbankan, bursa saham dan sebagainya. Saking berharganya, Pulau Run ditukar guling dengan Manhattan di Amerika Serikat.

Maluku tidak sejahtera tetapi menjadi korban dari kekayaan rempahnya sendiri. Ini sangat ironi, namun bisa dipahami karena kolonialisme tidak memikirkan rakyat adat yang merupakan pemilik rempah. Sejarah rempah ini, sangat panjang, sehingga butuhkan satu bahasan tersendiri. Tetapi, setidaknya tanpa pencarian rempah di Maluku, tidak pernah ada wilayah Hindia Belanda, yang kemudian diproklamirkan sebagai Indonesia.

Kedua, kekayaan ikan. Eksploitasi hasil ikan dari Maluku sudah berlangsung berabad-abad dan masih terus berlangsung sampai saat ini. Seorang mantan pejabat eselon I di Kementerian Kelautan dan Ahli dari IPB, Dr. Victor Nikijuluw pernah mengungkapkan, kalau ada moratorium penangkapan ikan di perairan Maluku, maka bukan hanya stok ikan nasional yang terganggu, tetapi akan mempengaruhi stok ikan global. Semua ikan diangkut dari perairan Maluku tanpa menyisakan setetes kesejahteraan untuk rakyat di Maluku yang mungkin berkisar tiga juta orang.

Kalau mau jujur, Maluku tidak butuh untuk merusak lingkungan melalui pertambangan minyak di Bula, Blok Masela, eksploitasi Gunung Botak di Pulau Buru, cukup dengan pengelolaan ikan yang baik, sudah sangat lebih dari cukup untuk kesejahteraan Maluku.

Sejarah mencatat, ada Banda Sea Agreement, yang membolehkan Jepang menangkap ikan dari Laut Banda dengan berbagai kompensasi, tetapi apa hasil dari semua itu untuk Maluku. Kompensasi itu justru hanya menghasilkan infrastruktur mewah yang dibangun di wilayah lain.

Memang benar, negara memiliki wewenang untuk mengelola sumber daya alam, tetapi pasal 33 UUD 1945 sangat jelas, semua kekayaan alam dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat. Jadi, sangat tidak logis, ketika masyarakat adat sebagai pemilik kekayaan alam tidak bisa menikmati kekayaan alam yang ada di wilayahnya.

Ketiga, saat ini Maluku memiliki setidaknya 25 Blok Migas yang berjejer dari Maluku sampai Maluku Utara. Bahkan, Maluku juga memiliki nikel yang belakangan ini menjadi primadona baru. Dunia mengkampanyekan slogan energi hijau melalui penggunaan baterai, tetapi daerah penghasil nikel menjadi beban dari keingian dunia itu, karena nikel dieksploitasi dari alam dan berkat nikel itu ada di Bumi Sulawesi, Maluku dan sebagainya.

Situasi ini sangat tidak adil, karena daerah penghasil nikel menanggung beban dari solusi masalah negara maju. Namun, sangat disayangkan, karena pengusaha melalui kaki tangan negara mengizinkan eksploitasi alam tanpa memikirkan keberadaan masyarakat lokal atau masyarakat adat, yang secara turun-temurun hidup senapas dengan alam dan lingkungannya.

Untuk itu, ketika menyoroti masalah pembangunan di Maluku, tidak sepenuhnya merupakan kesalahan pemerintah daerah. Sebab, secanggih apapun pemimpin di daerah, tidak akan bisa berbuat banyak, karena instrumen untuk membagi anggaran daerah diatur sedemikian denggan menggunakan indikator jumlah penduduk, luas wilayah daratan dan Aparatur Negara (birokrasi). Bisa dicek, dengan formula seperti itu, anggaran Maluku tidak berbeda jauh dari tahun ke tahun.

Jadi, akan lebih parah lagi, kalau anggaran yang kecil itu juga tidak digunakan secara efesien dan efektif dalam mendorong program prioritas yang benar-benar menyentuh rakyat. Semestinya, dengan anggaran kecil, Pemda harus fokus untuk mengembangkan pendidikan yang benar-benar berkualitas, sehingga mampu memutus mata rantai kemiskinan.

Tidak bisa di satu sisi mengutamakan pendidikan, tapi tidak jelas keberpihakan dari sisi anggaran dan kebijakan. Sebab, tidak ada jalan lain untuk memutus kemiskinan di Maluku, kecuali melalui kualitas pendidikan.

Dalam konteks masyarakat adat di Kepulauan Aru, sebenarnya tidak berbeda dengan apa yang dialami warga di Pulau Sangihe, karena rakyat dibiarkan berjibaku untuk menyelamatkan alam lingkungannya dari pertambangan. Tidak boleh atas nama pembangunan, kemudian seenaknya untuk merusak ruang hidup masyarakat adat. Sebab, sebelum investor datang, masyarakat adat hidup tenang dengan lingkungannya. Untuk apa investasi, kalau toh merugikan rakyat. Artinya, bukan diksi pembangunan dan sebagainya yang hanya digunakan untuk melegitimasi praktik eksploitasi yang tidak peduli dengan masyarakat adat dan masyarakat lokal.

Dalam menghadapi konflik investor dan masyarakat adat, sebaiknya untuk menghindari pendekatan hukum, karena hal itu akan mempercepat kekalahan rakyat terhadap para pemilik modal, tetapi mengedepankan perlawanan politik, karena hal itu jauh lebih efektif. Sebab, pendekatan hukum sangat riskan, karena bagaimanapun hakim juga manusia, yang belum tentu bisa menyelami apa yang dialami masyarakat di pulau-pulau kecil dengan resiko alam yang sangat berbeda dengan pulau-pulau besar.

Kalau berbicara pembangunan di Maluku, maka semestinya ada perlakuan khusus karena sebagian besar wilayah Maluku terdiri dari lautan. Tetapi, kalau otonomi daerah hanya ada di tataran undang-undang, tetapi dalam praktik justru terjadi re-sentralisasi melalui berbagai peraturan menteri, keputusan menteri dan sebagainya.

Ketika praktik seperti ini yang terjadi, maka tidak heran apa dilakukan di wilayah kontinental disamakan begitu saja dengan wilayah kepulauan. Semua kebijakan dibuat melalui kacamata Jakarta. Sesekali, ada baiknya, para pengambil kebijakan melihat dari kacamata daerah.

Selain itu, disadari atau tidak, para elit di dalam sistem kekuasaan di Jakarta, terkadang membawa persoalan pusat ke daerah. Padahal, yang dibutuhkan, bagaimana persoalan daerah diangkat menjadi persoalan regional dan nasional. Bukan persoalan dari pusat yang dibawa ke daerah. Sebab, daerah—apalagi di kawasan timur, sudah terpuruk dalam kemiskinan, sehingga selesaikan masalah daerah di pusat, jangan bawa lagi masalah ke daerah.

Geopolitik dan Geostrategi

Belum lama ini ada diskusi mengenai konflik tanah di Kepulauan Aru. Namun, konflik ini memiliki akar, yang langsung dan tidak langsung berkaitan dengan perkembangan geopolitik dan geostrategi yang sedang mengarah ke Pasifik.

Suka atau tidak suka, Maluku dan kawasan timur ada dalam pusaran sasaran rebutan pengaruh antara Amerika dan China bersama mitranya. Namun, dengan persaingan global yang keras seperti itu, tidak terlihat upaya nyata dari para pemegang kekuasaan untuk memainkan peran strategis di Pasifik.

Dari apa yang kita ikuti bersama, Presiden Jokowi dan rombongan pada awal Juli 2023 mengunjungi Australia dan Papua Nugini. Hal ini tentu tidak lepas dari keberadaan kedua negara yamg merupakan tetangga terdekat di Pasifik.

Semestinya, Indonesia sejak lama harus melihat kawasan Pasifik sama strategis dengan kawasan ASEAN. Namun, semua sudah mengetahui, kita nyaris tidak memiliki aliansi strategis di Pasifik. Padahal, faktanya hampir semua kawasan timur berada dalam gugusan pasifik, termasuk budaya dan etnis. Pengabaian kawasan pasifik ini tidak beda dengan pengabaian kawasan timur Indonesia, yang seolah dibiarkan berada dalam kemiskinan di atas kekayaan alamnya sendiri.

Kalau mau jujur, Indonesia sejak lama tidak pedulikan kawasan pasifik, karena lebih cenderang untuk bermain di kawasan ASEAN. Padahal, berbagai negara berlomba untuk menanamkan pengaruh di negara-negara Pasifik. Sejak beberapa tahun silam, dalam berbagai forum publik, penulis selalu mengingatkan, kalau pergeseran pengaruh dan ekonomi ke kawasan pasifik tak terhindarkan. Hal itu tampak dari berbagai isu-isu global, baik dari perubahan iklim, pangan, energi dan sebagainya. Kawasan pasifik akan menjadi jawaban dari semua masalah di masa depan.

Untuk itu, persoalan di Maluku dan persoalan di kawasan timur tidak lepas dari trend global. Sebab, jangan sampai, apa yang terjadi di Maluku, terutama di Aru memiliki keterkaitan dengan pertarungan global untuk berebut pengaruh di kawasan pasifik. Situasi yang ada ini tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan dampak langsung dan tidak langsung pertarungan kekuatan di Pasifik.

Salah satu cara untuk merebut pengaruh, tentu melalui skema investasi, yang bukan mustahil sekadar kemasan untuk mencari pijakan strategis, guna memudahkan daya jangkau ke utara selatan dan barat timur.

Gejala ini bukan tanpa dasar, sebab selama beberapa tahun belakangan, China melakukan penetrasi modal ke pasifik melalui pembiayaan infrastruktur, sehingga menggoyahkan dominasi Australia dan Amerika di kawasan Pasifik. Situasi ini, kemudian direspon Amerika melalui pembentukan aliansi Australia, Unites States (Amerika) dan United Kingdom atau lebih dikenal dengan AUKUS, yang oleh sebagian pihak dilihat sebagai NATO-nya Kawasan Pasifik.

Aliansi ini sangat serius karena Amerika sudah berkomitmen untuk mengembangkan kapal selam berkekuatan nuklir di Australia sebanyak delapan armada. Keberadaan kapal selam dengan kecepatan tinggi ini, hampir mustahil untuk tidak menjadikan perairan kawasan timur sebagai jalur perlintasan. Jadi, perlombaan pengaruh di kawasan pasifik sudah sedemikian sengit, tetapi sangat mengherankan Indonesia tidak memainkan peran apapun.

Semestinya tidak boleh terjadi gajah berkelahi melawan gajah, pelanduk mati di tengah. Dan sayangnya, dalam konteks ini, pelanduk itu adalah Maluku dan kawasan timur. Kesalahan merespon perkembangan geopolitik akan mempertaruhkan nasib rakyat di kawasan timur. Sebab, perebutan di kawasan pasifik akan menjadi kawasan timur sebagai ajang perebutan pengaruh.

Memang, Indonesia sangat jauh terlambat untuk menoleh ke Pasifik karena bertahun-tahun hanya berorientasi ke barat, sementara negara barat sudah lama menanamkan pengaruh di pasifik. Padahal, Indonesia melupakan atau mengabaikan fakta, kalau jumlah terbesar penduduk pasifik itu ada di wilayah Indonesia, mulai dari Papua, Maluku, Nusa Tenggara dan Sulawesi.

Amerika sudah sejak 1925 memulai apa yang dinamakan Institute of Pacific Relations (IPR) yang didirikan di Honolulu untuk mengkaji secara khusus masalah dan hubungan antar negara di kawasan Pasifik. Hal ini tentu didasari pandangan yang visioner kalau kawasan ini akan menjadi sangat strategis di masa depan.
Kawasan strategis ini kurang mendapat perhatian, sehingga tidak keliru kalau akhirnya negara lain yang berhasil menancapkan pengaruh di kawasan, yang seharusnya Indonesia bisa menjadi pemain utama, bukan pemain pinggiran, apalagi menjadi korban dari pertarungan kawasan.

Harus ada satu perubahan cara pandang dalam memainkan peranan di kawasan, sehingga tidak terjebak dalam pola lama, yang terbukti tidak membuat Indonesia memainkan peran di Pasifik, yang sebagian besar adalah Bangsa Melanesia, yang sama dengan ras di kawasan timur.

Hanya saja, sebagian lagi dari kita mungkin sangat alergi kalau berbicara Melanesia. Hal ini menyebabkan Indonesia mengabaikan satu identitas penting, dengan mengaburkan seolah seluruh Indonesia adalah Melayu. Tidak mungkin orang Melanesia menjadi Melayu dan sebaliknya, orang Melayu menjadi Melanesia.

Anak didik sejak dini sudah diajarkan kalau Bangsa Indonesia adalah Melayu, sehingga menjadi pembenara, meskipun faktanya tidak seperti itu. Kita terlalu lama terbuai untuk melupakan Pasifik dan Melanesia, tetapi terkejut dengan perkembangan global, ketika negara-negara besar berlomba untuk menanamkan pengaruh. Sementara kita, sudah lama menjadikan kawasaan ini sebagai halaman belakang dan menelantarkannya.

Beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi dan Menhan Prabowo sempat meninjau Aru dan Maluku Tenggara, untuk mencari lokasi strategis buat pengembangan pangkalan militer. Hal ini mengundang kritikan tajam, karena kawasan timur yang dibiarkan dalam kemiskinan selama ini, tetapi hendak dijadikan tameng jika terjadi peningkatan eskalasi antara negara besar. Adalah sangat tidak bertanggung jawab, ketika daerah yang dibiarkan miskin, tetapi harus bersiap menanggung beban jika terjadi eskalasi konflik yang tajam.

Pengalaman sejarah sudah membuktikan, ketika dalam Perang Dunia II, Maluku dan Papua menjadi pijakan untuk melakukan serangan ke Jepang. Bukan rahasia lagi bahwa,– konflik Laut China Selatan selalu menyimpan daya ledak yang bisa meletus kapanpun.
Untuk itu, selain melihat dalam konteks Maluku, tetapi jangan lupakan kalau geopolitik global juga ikut memainkan peran dalam penetrasi modal di Maluku dan kawasan timur.

*Penulis, Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina, Direktur Archipelago Solidarity Foundation dan seorang politisi senior.

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,100PelangganBerlangganan

Terbaru