JAKARTA- Beberapa tokoh masyarakat dan akademisi menuntut Pemerintah RI untuk segera menyatakan bahwa sejak tahun 2021 operasi Tambang Freeport tidak akan diperpanjang. Pihak PT Freeport Indonesia juga dituntut untuk membayar ganti rugi kerusakan lingkungan akibat pembuangan limbah dan tail-link yang melanggar praktik penambangan yang baik dan ramah lingkungan. Hal ini ditegaskan oleh Direktur Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara dalam petisi pengambil alihan tambang Freeport yang diterima Bergelora.com di Jakarta, Jumat (18/12)
“Pemerintah RI harus menjamin pemilikan saham oleh BUMD (Pemprov Papua dan Papua Barat) melalui pembentukan konsorsium dengan BUMN. Tambang Freeport harus dibebaskan dari para perburuan rente dan upaya meraih dukungan politik dan logistik dari Pemerintah AS dan Freeport-McMoRan,” tegasnya.
Ia juga menegaskan agar pemerintahan Joko Widodo mengikis habis pejabat-pejabat pemerintah yang telah menjadi kaki-tangan asing dengan berbagai cara antara lain yang dengan sengaja atau tidak sengaja atau secara langsung atau tidak langsung telah memanipulasi informasi, melakukan kebohongan publik, melecehkan kemampuan SDM dan BUMN, serta merendahkan martabat bangsa;
“KPK harus bertanggung jawab untuk terlibat aktif mengawasi proses penyelesaian renegosiasi kontrak PTFI dan menjamin tidak diperpanjangnya operasi tambang sejak 2021,” ujarnya.
Dibawah ini petisi lengkap Tambang Freeport Untuk Rakyat :
Tambang Freeport merupakan salah satu tambang emas, perak dan tembaga yang mempunyai cadangan terbesar di dunia. Sesuai situs resmi Freeport-McMoRan, fcx.com, cadangan terbukti emas dan tembaga yang masih tersimpan di wilayah Tambang PT Freeport Indonesia (PTFI), Grasberg, masing-masing sebesar 28,2 juta ounces dan 29.0 miliar pounds. Dengan harga rata-rata emas US$ 1250 per ounce dan harga tembaga US$ 3,5 per pound, maka nilai pendapatan kotor cadangan terbukti Tambang Freeport minimal adalah US$ 136,75 miliar atau Rp 1.914,4 triliun (kurs US$/Rp=14.000).
Kontrak Karya (KK) Freeport ditandatangani oleh Pemerintah RI dengan PTFI pada 5 April 1967, berlaku selama 30 tahun hingga 4 April 1997. Namun sebelum KK berakhir, pada 30 Desember 1991, KK Freeport telah diperpanjang selama 30 tahun, sehingga kontrak baru akan berakhir pada 29 Desember 2021. Diduga proses perpanjangan kontrak ini penuh nuansa kongkalikong antara oknum pejabat Pemerintah Indonesia dan PTFI yang bisa di kategorikan ke dalam tindak pidana korupsi/KKN.
Akibat kontrak yang disepakati sarat dengan prilaku yang diduga berbau KKN, maka sebagai pemilik sumber daya mineral, Indonesia gagal mendapat manfaat yang optimal. Bahkan setelah PTFI beroperasi selama 47 tahun, Indonesia tidak memperoleh kesempatan untuk ikut mengelola jalannya perusahaan tambang. Akibatnya, porsi keuntungan terbesar justru dinikmati oleh PTFI/Freeport-McMoRan.
Dengan berlakunya UU Minerba No.4/2009, PTFI berkewajiban menyesuaikan seluruh ketentuan dalam KK dengan ketentuan yang ada dalam UU Minerba. Pelaksanaan penyesuaian ketentuan KK ini berlangsung dalam proses renegosiasi kontrak yang antara lain difokuskan pada penentuan luas wilayah, kewajiban divestasi, kewajiban penggunaan produk dalam negeri, peningkatan penerimaan negara, kewajiban smelting dalam negeri dan penetapan periode kontrak. Namun meskipun proses renegosiasi telah berlangsung lebih dari 5 tahun, PTFI tetap menolak mematuhi perintah UU Minerba No.4/2009.
Karena cadangan mineral masih sangat besar, maka Freeport-McMoRan berupaya dengan segala cara guna memperoleh perpanjangan kontrak atau Ijin Usaha Perpanjangan Khusus (IUPK), termasuk membangkang perintah UU. Pembangkangan PTFI diawali sikap Wakil Dubes AS Ted Odius pada 11 Juni 2011 dan Dubes AS Scott Marciel pada 2 Februari 2012 yang menyatakan renegosiasi kontrak melanggar azas kesucian kontrak (contract sanctity) dan mengganggu iklim investasi. Sambil membangkang UU dan mengulur waktu, Freeport-McMoRan mendesak pemerintah memberi kepastian perpanjangan operasi dengan alasan dana yang diinvestasi besar, sementara sisa waktu kontrak yang tinggal 6 tahun.
Tuntutan
Sebagai pemilik sumber daya mineral, Indonesia harus memperoleh porsi keuntungan dan manfaat tambang yang lebih besar dibandingkan dengan yang diperoleh kontraktor. Indonesia pun harus menegakkan kedaulatan negara dan menjaga martabat bangsa dari arogansi investor asing. Indonesia harus menjadi pengelola Tambang Freeport sesuai dengan amanat konstitusi, Pasal 33 UUD 1945. Oleh sebab itu kami Petitor “Petisi Tambang Freeport untuk Rakyat” bersama-sama dengan Rakyat Indonesia dengan ini menyatakan hal-hal sebagai berikut:
1. Menuntut DPR RI untuk segera membentuk Pansus Freeport dan mengajukan Hak Angket kepada Pemerintah, sekaligus memeriksa oknum pejabat Pemerintah yang manipulatif dan berkongkalikong dengan Freeport-McMoRan;
2. Menuntut Pemerintah RI untuk segera menyatakan bahwa sejak tahun 2021 operasi Tambang Freeport tidak akan diperpanjang;
3. Menuntut PTFI/Freeport-McMoRan untuk membayar ganti rugi kerusakan lingkungan akibat pembuangan limbah dan tail-link yang melanggar praktik penambangan yang baik dan ramah lingkungan;
4. Meminta Pemerintah RI untuk menjamin pemilikan saham oleh BUMD (Pemprov Papua dan Papua Barat) melalui pembentukan konsorsium dengan BUMN;
5. Membebaskan keputusan kontrak Tambang Freeport dari perburuan rente dan upaya meraih dukungan politik dan logistik dari Pemerintah AS dan Freeport-McMoRan;
6. Mengikis habis pejabat-pejabat pemerintah yang telah menjadi kaki-tangan asing dengan berbagai cara antara lain yang dengan sengaja atau tidak sengaja atau secara langsung atau tidak langsung telah memanipulasi informasi, melakukan kebohongan publik, melecehkan kemampuan SDM dan BUMN, serta merendahkan martabat bangsa;
7. Mendorong KPK untuk terlibat aktif mengawasi proses penyelesaian renegosiasi kontrak PTFI dan menjamin tidak diperpanjangnya operasi tambang sejak 2021.
8. Setiap upaya yang dilakukan untuk membatasi dan menghilangkan hak Penguasaan Negara melalui BUMN merupakan pengkhianatan terhadap konstitusi, melecehkan hak rakyat dan mengabaikan tuntutan reformasi berupa pemerintahan yang bebas KKN. Segenap komponen bangsa dan seluruh rakyat Indonesia diminta untuk mendukung dan bergabung dalam gerakan advokasi ini guna tercapainya seluruh tuntutan dalam petisi.
Indonesian Resources Studies, IRESS, bersama para Petitor “Petisi Tambang Freeport untuk Rakyat”
Marwan Batubara (IRESS), Chandra Tirta Wijaya (Anggota DPR RI 2009-2014), Ihsan Qolba Lubis (Anggota DPR RI 2004-2019), M. Hatta Taliwang (Anggota DPR RI 1999-20004), Dr. Syahganda Nainggolan (Sabang-Merauke Institute), Prof. Sri-Edi Swasono (Guru Besar UI), Prof. Din Syamsuddin (Ketua PP Muhammadiah 2010-2015), Kwik Kian Gie (Kepala Bappenas 1999-2004), Jend. Purn. Djoko Santoso (Panglima TNI 2007-2010), Prof. Dr. R. Siti Zuhro (Peneliti LIPI), Prof. Tjipta Lesmana (Pakar Komunikasi Publik), Prof. Dr. Mochtar Pabottingi (Peneliti LIPI), Prof. Dr. Mukhtasor (Anggota DEN 2011-2015), Bursah Zarnubi (Anggota DPR RI 1999-2004), Dr. Fadil Hasan (Peneliti INDEF), Dr Erwin Ramedan (IRESS), Lily Wahid (Anggota DPR RI 2009-2014), Adhie Massardi (GIB), Dr Hariman Siregar (Indemo), Prof. Dr Syaiful Bahri (Rektor Universitas Muhammadiyah), Prof Dr. M. Asdar (Guru Besar FE Unhas), Kartika Nur Rakhman (Ketua DPP KAMMI), Bambang Irawan (Ketua BEM SI), Dr. Revrisond Baswir (Pimpinan AEPI), Benni Pramula (Ketua DPP IMM), Asrianty Purwantini (Pokja PETISI 50)
Petisi ini masih terus digalang untuk mendesak pemerintah Joko Widodo berani bersikap tegas terhadap PT Freeport dan kaki tangannya di dalam negeri (Web Warouw)