Selasa, 1 Juli 2025

Membela Rakyat Tani, Pendeta Gie Dipenjara 1,5 Tahun

BANDARLAMPUNG- Pendeta Sugianto (Gie) akhirnya divonis 1,5 tahun penjara karena membela petani di Lampung karena tanahnya dirampas oleh perusahaan perkebunan. Dia adalah pendeta utusan khusus dari Gereja Kristen Sumatera Bagian Selatan (GKSBS). Sebagian besar jemaatnya adalah orang Jawa yang menjadi transmigran. Berikut ini percakapan Pendeta (Pdt) Henriette Lebang, Ketua umum Persekutuan Gereja-gereja Indonesia dengan PGI dengan Pendeta (Pdt) Sugianto yang didapat Bergelora.com dari aktivis antar iman, Elga Sarapung di Whatsapp Group Gerakan Timur Indonesia Menggugat (GTIM), Minggu (4/3)

 

Pdt. Henriette: Silakan pak Gie memperkenalkan diri lebih dulu

Pdt. Sugianto: Saya adalah pendeta Tugas Khusus di GKSBS Sumber Hadi, di Lampung Timur. Saya tinggalnya di Bandar Lampung. Di Bandar Lampung bersama dengan keluarga. Pekerjaan pendampingan ini sudah saya lakukan sangat lama. Karena saya pernah melayani di Padang Ratu.

Di Padang Ratu, saya pernah di-sel di Kodim karena juga membela masyarakat yang tanahnya diambil oleh perusahaan perkebunan. Di Padang Ratu saya mendirikan Koperasi Kredit (Credit Union). Namanya Koperasi Kredit Sehati. Bersama dengan warga jemaat, sekarang ini menjadi Koperasi yang besar sekali. Salah satu koperasi terbesar di Lampung.

Kemudian tahun 1997 saya pindah ke Jambi. Di sana,  saya mendampingi juga masyarakat yang tanahnya dirampas oleh perusahaan di Taman Raja. Taman Raja itu di Tungkal. Setelah itu saya mendampingi korban trafficking (perdagangan manusia) di Jambi. Dan juga melakukan pendampingan terhadap suku anak dalam untuk memperjuangkan hak-hak Suku Anak Dalam atau orang rimba. Kemudian tahun 2016-2010 saya menjadi relawan di Aceh untuk korban tsunami dan korban konflik.

Setelah itu pulang ke Lampung mendampingi masyarakat yang di Register 40 yang digusur untuk pembangunan Kota Baru (Jati Agung). Saya membentuk organisasi petani yang namanya Organisasi Gabungan Petani Lampung. Kemudian juga mendampingi, para petani yang memperjuangkan tanah di register 45.

Bersama dengan pak Rahmat, saya membentuk serikat petani merdeka. Kemudian saat ini saya mendampingi masyarakat yang tanahnya dirampas oleh Bangun Nusa Indah Lampung (BNIL).

Saya juga aktif di pendampingan dan advokasi untuk buruh migran di Lampung. Juga aktif untuk mendampingi dan advokasi korban trafficking.  Bersama dengan suster Katarina dan kawan-kawan kami mendirikan jaringan masyarakat menentang perdagangan orang.

Kemudian saya juga aktif untuk meyelenggarakan pendidikan politik untuk rakyat. Menjadi fasilitator untuk perdamaian di Lampung Selatan. Di kegiatan penelitian saya terlibat di beberapa penelitian mengenai konflik di Lampung.

Pdt Henriette: Banyak sekali ya pendampingan masyarakat. Daftarnya luar biasa.

Pdt. Gie: Biasa saja sih sebenarnya. Mendampingi masyarakat yang diperlakukan tidak adil, kemudian yang dipinggirkan, termaginalkan, sudah menjadi bagian hidup saya. Entah sebagai pendeta atau tidak. Entah saya dibayar atau tidak. Itulah yang saya kerjakan. Saya melakukan kegiatan-kegiatan ini yang beresiko ini tidak ada yang menyuruh dan tidak ada yang membayar. Saya lakukan sendiri saja. Sekarang saya tinggal di rumah Tahanan, Menggala. Ha ha ha ha…

Pdt. Henriette: Tinggal di rumah baru ya. Terus apa yang memotivasi pak Gie untuk lakukan ini?

Pdt. Gie: Saya nggak tahu ya. Saya tidak punya penjelasan karena hal ini terjadi otomotas saja. Ketika melihat ketidakkadilan itu, saya melakukan pendampingan. Maka ketika di penjara ini pun ini saya tidak bisa diam untuk melihat hal-hal yang tidak adil!

Saya tetap saja melakukan sesuatu yang menurut saya bisa membuat keadaan ini menjadi lebih adil, lebih damai. Itu yang saya lakukan di sini juga. Misalnya membantu kawan-kawan yang juga berjuang untuk hak atas tanah mereka. Yang kayak gitu tuh…

Pdt. Henriette: Maksudnya, ada orang di sana yang juga memperjuangkan hak-hak tanah?

Pdt. Gie: Ada. Banyak yang kasusnya seperti kita

Pdt. Henriette: Dan alasan mereka dipenjara juga karena soal tanah?

Pdt. Gie: Ya. Hanya saja peristiwanya berbeda dengan kita.  Kalau mereka misalnya yang dari Mesuji itu karena mereka marah. Hal itu karena hak plasma mereka diambil, lalu mereka marah dan merusak. Kalau kita kan tidak. Kita memperjuangkan secara sadar. Tapi kita tetap bantu juga mereka.

Kawan-kawan yang diperas di sini juga kita lindungi. Ketika di Polda, yang diperlakukan dengan kekerasan juga kita lindungi. Maka sel kita menjadi sel yang lebih damai, di mana kekerasan tidak boleh dilakukan. Misalnya sekarang ini kami mencoba membuat sel yang bebas rokok dan bebas narkoba. Itu di sel saya.

Memang ya sulit tapi lumayanlah dibandingkan dengan sel yang lain. Di sini, orang tidak boleh merokok di ruangan sel. Sebabnya, merokok itu bentuk kekerasan juga terhadap yang lain yang tidak merokok. Karena itu mengintimidasi juga yang tidak merokok. Orang yang tidak merokok bisa ketakutan terkena dampak buruknya dari rokok. Gitu…

Pdt. Henriette: Pak Gie tadi bilang bahwa dorongan itu terjadi secara otomatis. Itu sudah jadi bagian hidup darp pak Gie. Apakah memang tidak ada ada motivasi khusus atau gimana?

Pdt. Gie :

Nggak ada.  Kadang-kadang kalau ada orang menjelaskan bahwa perbuatan baik ini dilakukan untuk Yesus, tapi saya tidak punya penjelasan seperti itu ya. Terserahlah kata orang, apakah yang saya lakukan ini untuk Yesus atau untuk apa. Saya nggak tahu. Itu yang terjadi pada diri saya.

Karena, ini bukan tanpa pergumulan. Sejak kecil saya sudah diajari agar hidup untuk Yesus, untuk Kristus ya. Lalu kita harus melakukan hal-hal baik, juga alasannya harus jelas untuk itu.

Nah, terus saya berpikir juga: Kalau orang Islam untuk apa melakkan perbuatan baik itu juga. Toh banyak juga orang Islam yang berbuat baik. Orang Budha juga berbuat baik. Nah, saya akhirnya memahaminya tidak seperti itu. Kalau orang lain melakukan sesuatu yang baik karena ada kewajiban, maka saya pahami kewajiban itu datangnya dari luar, bukan dari dalam.

Nah, kalau itu datangnya dari luar, hal tersebut akan jadi beban bagi saya.  Jika itu terjadi, maka motivasi itu pasti akan salah karena itu akan tidak memerdekakan saya. Itu tidak membuat diri saya merdeka. Mestinya kalau saya melakukan hal baik, itu hal membuat diri saya semakin merdeka. Mestinya begitu.

Dalam perjalanan hidup saya, saya menemukan ayatnya di Yohanes 4:14. “Tetapi barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal.”

Jadi, kalau ada orang yang tidak melakukan sesuatu yang baik, barangkali dia memang belum pernah meminum air itu. Maka, saya berusaha  mendapatkan anugerah untuk air itu. Saya yakin, yang disebut air itu adalah Tuhan sendiri. Ya… Keselamatan itu sendiri.

Kalau saya sudah membiarkan diri saya diberi minum oleh air itu, maka otomatis saya akan melakukan sesuatu yang memancarkan, yang mencerminkan dari keberadaan dari Air itu.

Jadi, apa yang saya kerjakan oleh orang lain mungkin dianggap baik, tapi sebenarnya itu adalah sesuatu yang otomatis saja. Saya tidak bisa mengendalikan.

Saya tidak bisa mengendalikan. Saya tidak bisa mencegah. Itu. Yang tidak bisa saya cegah adalah saya menutup keran yang mengalir pada diri saya. Akan tetapi selama saya belum menutup keran yang mengalir dalam diri saya, maka keran yang keluar dari diri saya juga akan mengalir terus menerus. Nah… itu. Akhirnya pemahaman saya begitu.

Maka kalau saya menjelaskan soal  ‘’kewajiban’’ agar orang harus berbuat baik, maka penjelasan saya seperti itu. Sebenarnya perbuatan baik itu terjadi pada diri seseorang secara otomatis. Nggak ada orang yang sanggup melakukan perbuatan baik, jika itu bukan dari Tuhan.

Kalau dia melakukan yang bukan dari Tuhan maka dia melakukan kemunafikan. Dia melakukan kepalsuan, yang hanya sebentar lagi saja akan terbongkar, karena dia akan menjadi sumber penderitaan bagi dia. Bagi dia tak akan tahan mengalami tekanan-tekanan.

Pdt. Henriette: Supaya saya tidak keliru memahami maksudnya, saya ingin memperjelas soal metafora tadi. Karena keran itu terbuka, air itu datang dari Tuhan. Karena kebaikan mengalir maka tergantung kepada orangnya apakah akan menutup atau tidak. Apakah  itu maksudnya otomatis?

Pdt. Gie: Betul. Jadi otomatis seperti itu. Kalau di perumpamaan yang lain, Yesus berkata, “Aku adalah pokok anggur kamu adalah ranting-rantingnya” Kalau kita menjadi ranting, maka hidup kita kan berasal dari pokok itu. Kita tidak punya energi. Energi kita ya berasal dari  pokok itu. Kita hanya dipanggil untuk berbuah. Jadi selama kita masih terpaut pada pokok itu, ya otomatis kita akan berbuah. Kalau kita tidak terpaut pada pokok itu ya kita tidak akan berbuah.

Nah, maka saya memahami kalau orang hidupnya berpaut pada pokok itu maka dengan sendirinya dia tidak akan bisa mencegah buah itu. Jadi saya tidak perlu memprogram harus berbuat baik ini atau itu.

Saya berdoa. Saya meditasi. Supaya hidup saya itu selaras dengan keberadaan Dia yang menjadi sumber kehidupan, yang menjadi sumber mata air. Jadi doa saya itu,  ya hanya begitu setiap pagi. “’Semoga hidup saya sepanjang hari ini selaras dengan kehendak Kuasa dan Kasih-Mu”.

Jadi saya tidak minta yang baik-baik. Saya hanya berdoa supaya hidup saya hanya selaras dengan kehendak, kuasa dan kasih Dia yang menjadi sumber kehidupan sumber perdamaian sumber kesejahteraan, sumber keadilan.

Pdt. Henriette: Bagaimana Pak Gie bisa sampai bisa dipenjara?

Pdt Gie: Karena saya mendampingi masyarakat yang konflik dengan PT. BNIL, perusahaan yang merebut tanah warga. Sebenarnya tanah itu dulu semua adalah tanah milik masyarakat. Lalu karena masyarakat tidak punya legalitas, maka masyarakat diusir. Kemudian, tahun 1993 masyarakat diberi hak yang legal sebagai plasma oleh pemerintah. Tetapi hak sebagai plasma itu diambil lagi oleh perusahaan. Dengan menipu, masyarakat disuruh tanda tangan di kertas kosong itu. Ternyata kertas kosong itu isinya adalah berita acara penyerahan lahan dan uang ganti rugi Rp. 100 ribu.

Saya mendampingi mereka untuk memperjelas tujuan mereka. Kami membangun strategi untuk perjuangan. Membuat mereka lebih berani, membuat mereka bisa berjuang lebih teratur, sistematis. Dan ya.. saya sudah tahu risikonya. Bahwa, salah satu risiko yang bisa terjadi saya ditangkap. Saya juga pernah punya pengalaman ditahan oleh tentara. Saya pernah punya pengalaman dikejar-kejar polisi di Jogja ketika saya mendampingi buruh di Jogja waktu saya masih kuliah.

Pdt. Henriette: Jadi memang pak Gie sudah sangat sadar risikonya ya?

Pdt. Gie: Ya. Saya sadar. Maka, saya tidak pernah menyesal. Saya tidak pernah sedih, tidak pernah marah. Ya, biasa saja. Saya memahami ini sebagai proses atau perjalanan pelayanan saya. Jadi saya di sini, itu sama ketika berdiri di atas mimbar menyampaikan khotbah. Sama artinya ketika saya mengunjungi jemaat untuk penggembalaan. Sama artinya ketika saya sedang melakukan diskusi atau rapat untuk memecahkan masalah gereja. Sama aja. Sama aja di sini. Saya di sini tidak merasa terpenjara.

Pdt. Henriette: Tidak merasa terpenjara?

Pdt. Gie: Saya tidak pernah merasa terpenjara. Saya tidak merasa pernah merasa dibatasi. Saya tidak pernah merasa tersiksa oleh kerangkeng besi atau aturan-aturan-aturan di sini. Saya masih bisa melakukan sesatu di sini. Saya masih bisa membantu

mengumpulkan uang untuk kawan-kawan yang ditahanan ini.

Pdt. Henriette: Artinya walau pun dipenjara pak Gie masih aktif, masih lakukan hal yang sama?

 

Pdt. Gie: Ya. Saya tidak pernah merasa terkungkung. Karena kan banyak orang di tahanan yang merasa menderita. Lalu dia nyanyi-nyanyi kayak orang gila: “hidup di bui bagaikan burung.” Saya nggak merasa seperti itu.  Nggak ada batasan buat saya.

Tidak ada kesedihan. Yang dapat membuat sedih itu kalau isteri menelepon kalau susu anak habis. Itu baru sedih saya. Karena kalau gitu saya betul-betul tidak bisa melakukan apa-apa. Tetapi.. ya bukan berarti tidak bisa apa-apa.

Saya berdoa. Puji Tuhan sampai hari ini, dengan segala kecemasan-kecemasan yang ada tetap cukup. Saya tidak tahu bagaimana Tuhan mencukupkan. Selalu ada cara. Misalnya saya cemas pulsa habis, eh tiba-tiba tadi pagi ada yang kirim pulsa. Saya tidak tahu juga siapa yang kirim pulsa.

Saya melihat bagaimana Tuhan menyertai saya dari waktu ke waktu. Tuhan menunjukkan tanda-tanda penyertaannya itu…

dan saya merasakan itu… Saya merasakan itu. Itu menguatkan saya, sekalipun saya bukan orang yang suka pamer-pamer yang kayak-kayak, seperti model orang-orang

kesaksian gitu. Tapi saya merasaka pengalaman penyertaan Dia. Kadang-kadang kan saya juga sulit untuk menceritakannya. (Pendeta Henriette Lebang)

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru