Minggu, 20 April 2025

Membongkar Kebathilan Dalam JKN dan BPJS

Oleh : Rini Syafri *

Hampir dua tahun berjalan, tidak perlu diperdebatkan lagi betapa sengsaranya masyarakat akibat pemerintah menerapkan program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional).  Yaitu salah satu model asuransi kesehatan wajib bagi semua (universal health coverage, UHC) yang “dipaksakan”  Barat  melalui sejumlah lembaga multilateral seperti WHO (World Health Organization).  Pemerintah Indonesia sejak 1 Januari 2014 yang lalu, dengan target kepesertaan wajib bagi semua pada tahun 2019.

 

Alih-alih mengatasi bencana finansial akibat komersialisasi pelayanan kesehatan,  program JKN justru mengekalkan komersialisasi dengan menimpakan beban finansial ganda. Karena disamping diwajibkan membayar premi tiap bulan,  masyarakat juga harus merogoh kantong dalam-dalam saat sakit, karena buruknya pelayanan kesehatan JKN. Seperti pelayanan kesehatan dan obat tidak semuanya tercakup dalam program JKN, antri yang menyita waktu  lagi menguras tenaga,  pelayanan yang diskriminatif, dan pelayanan yang justru memperparah penyakit serta mengancam keselamatan jiwa.

Sedangkan penderitaan dari aspek kemanusiaan orang yang sedang sakit.  Keterlambatan penangan medis, antri yang melelahkan,  ditolak serta ditelantarkan rumah sakit, sedang sakit dipulangkan karena batasan plafon pelayanan JKN  sudah menjadi fenomena umum. Bahkan ada rumah sakit yang sampai hati membuang pasien.  Pada sisi ini terlihat jelas JKN bukanlah hadir untuk pelayanan kesehatan berkualitas dan menutup rapat kejahatan pelayaan kesehatan liberal seperti malpraktek, tetapi justru telah membuka pintu baru bagi semua kejahatan kemanusiaan itu.

Akhirnya, program JKN  bersama kebijakan neoliberal  secara keseluruhan  semakin mengukuhkan rumah sakit-rumah sakit, puskesmas-puskesmas, dan  kinik-klinik sebagai neraka bagi si sakit, khususnya yang  miskin. Pelecehan kemanusiaan, kesehatan dan jiwa pasien terus terjadi.  Ini di satu sisi, di sisi lain, para dokter dan tenaga kesehatan lainnya  tidak lebih dari sekedar mesin penggerak roda industrialisasi kesehatan dan nyawa manusia.  Alih-alih sehat, tak jarang penyakit  yang diderita masyarakat semakin parah.  Tragisnya lagi,  kematianpun menjadi kesudahan semua itu.  

Logika Keliru

JKN adalah konsep yang sudah benar,  program yang sangat baik.  Demikian pandangan yang diusung pemerintah dan pihak terkait tentang program JKN.  Bahkan dikatakan  JKN hadir untuk kesejahteraan, keadilan,  solusi bagi berbagai persoalan serius pada sistem kesehatan kapitalistik.  Seperti harga pelayanan kesehatan yang terus melangit, maraknya malpraktek,  hingga kegagalan upaya promotif preventif  yang ditandai dengan tingginya angka kesakitan berbagai penyakit. 

Logika keliru ini antara lain termaktub dalam pernyataan Ali Ghufron, yang saat itu menjadi wakil menteri kesehatan RI.  Dinyatakannya,

”Dimulai sejak tahun 1883, baru sekitar 100 tahun kemudian semuanya teralisasi dengan baik dan seluruh warga Jerman terjamin.  Nah,Indonesia mau lebih cepat dan lebih baik, “ demikian dikutip dalam berita yang bertajuk “Jika Jerman Butuh 100 Tahun, Bisakah Indonesia Suskseskan JKN dalam 5 Tahun?”,  detikhealth.com, 4 Februari 2014.  

Pernyataan senada juga dinyatakan Menkes, Prof. dr. Nila F Moeloek SpM saat pidato sertijab, sebagaimana dikutip kki.net, dalam berita bertajuk, “Sertijab MenKes Baru: Penurunan AKI Jadi Prioritas”.  Selengkapnya dinyatakan Menkes Nila:

Program JKN ini sudah tepat untuk jaminan kesehatan seluruh penduduk Indonesia, hanya perlu dilakukan perbaikan sana-sini.  Programnya sudah sangat bagus sekali.  Ini akan membantu langkah dalam menekan AKI melahirkan”.

Akibatnya sangat fatal,– berbagai persoalan serius seiring pelaksanaan program JKN, yang hakekatnya bersifat paradigmatik/mendasar  direduksi sekedar persoalan teknis/implementasi belaka. Sehingga jadilah fokus pemerintah dan pihak terkait pada upaya bagaimana konsep prinsip JKN diterapkan secara baik. 

Seperti peningkatkan kepatuhan membayar premi,  perluasan cakupan kepesertaan, penyesuaian nilai premi dengan nilai inflasi, “pemaksaan ” keterlibatan semua rumah sakit dan dokter dalam program JKN,  peningkatan pengawasan terhadap rumah sakit dengan rencana pembentukan Badan Pengawas Rumah Sakit, penguatan sistem pelayanan berjenjang dengan memperbanyak rumah sakit rujukan dan rumah sakit pratama, serta kepatuhan pada penggunaan pembayaran tagihan model casemix dan kapitasi.    

Lebih jauh lagi, logika keliru juga tercermin pada RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2014-2019 bidang kesehatan, yang dinamakan Indonesia sehat.  Rencana pembangunan ini mencakup 3 aspek, yaitu: 1.  Mewujudkan paradigma sehat; 2.  Penguatan pelayanan Kesehatan; 3.  Jaminan Kesehatan nasional.  Bila dicermati secara seksama, masing-masing maupun  keseluruhan agenda pembangunan ini ruh dan semangatnya adalah menyukseskan implementasi program JKN dan agenda  neoliberal pada sistem kesehatan. 

Seperti pada agenda penguatan pelayanan kesehatan ditujukan untuk peguatan implementasi sistem rujukan.  Direncanakan pemerintah pembentukan 14 Rumah Sakit Rujukan Nasional, 184 Rumah Sakit  Rujukan regional, 68 Rumah Sakit Pratama dengan 50 TT (Tempat Tidur) di DTPK (Daerah Tertinggal Perbatasan dan Kepulauan).  Sementara agenda akreditasi RS berstandar nasional dan internasional dari Joint Commission Internasional dan menjalin kerjasama (sister hospital) dengan rumh sakit bersertifikat akreditasi nasional atau internasional di luar negeri yang hakekatnya  hanyalah mengokohkan komersialisasi dan liberalisasi fungsi pelayanan rumah sakit.

Kesalahan Mendasar

Bila dicermati secara seksama konsep-konsep JKN itu sendiri yang berpotensi menimbulkan penderitaan dan kesengsaran masyarakat, baik pasien maupun tenaga kesehatan.  Jadi bukan persoalan implementasi atau teknis seperti yang banyak disangkakan.  Karenanya berapapun masa yang dihabiskan, bagaimanapun baiknya implementasi konsep prinsip JKN serta secanggih apapun teknologi yang digunakan,  pelayanan kesehatan  yang benar-benar menyejahterakan setiap individu masyarakat tetap saja menjadi harapan hampa.  Seperti yang kita saksikan di England, Canada, New Zeland  yang melaksanakan prinsip-prinsip UHC selama puluhan tahun, bahkan di Jerman sekalipun yang sudah menjalankannya seabad lebih. 

Ketahuilah kebatilan konsep prinsip JKN tak obahnya pohon yang rusak, akarnya tidak mampu membuat batang pohon berdiri tegak, apalagi akan memberikan buah bermanfaat.  Sebagaimana Allah swt tegaskan dalam QS Ibrahim, ayat 26, artinya:

Dan perumpamaan kalimat (penulis: konsep) yang buruk seperti pohon yang buruk, yang tercerabut akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun”.

Adapun kebatilan dan potensi kemudharatan program JKN setidaknya terlihat dari dua aspek.  Pertama, pengebirian fungsi dan tanggung jawab negara dan pemerintah sebatas regulator.   

Ide dasar jaminan kesehatan sosial (JKN-penulis) adalah pengalihan tanggung jawab penyelenggaraan pelayanan kesehatan dari Pemerintah kepada institusi yang memiliki kemampuan tinggi untuk membiayai pelayanan kesehatan atas nama peserta jaminan sosial (BPJS Kesehatan-penulis)” 

Demikian ditegaskan Asih dan Miroslaw, keduanya dari German Technical Cooperation (GTZ).  LSM yang aktif membidani kelahiran JKN, dalam tulisan yang berjudul,” Sistem Jaminan Kesehatan Sosial: Bagaimana  Jaminan Kesehatan Sosial Dapat Membuat Perubahan?” , www.sjsn.menkokesra.go.id.  

Selanjutnya, karena mengadopsi konsep ini  negara dan pemerintahpun melalaikan fungsi dan tanggung jawab pentingnya.  Bahkan negara dan pemerintah melalui BPJS Kesehatan, justru memindahkan beban dan tanggungjawabnya ke pundak masyarakat.  Masyarakat diwajibkan membayar premi kepada BPJS Kesehatan, sebagai prasyarat mendapatkan pelayanan kesehatan, yang sesungguhnya merupakan hak masyarakt dan tanggungjawab negara memenuhinya.  Tindakan kelalaian ini semakin tampak dilihat dari keberadaan BPJS Kesehatan sebagai lembaga yang bertanggungjawab kepada pemerintah, dalam hal ini  presiden.

BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Presiden.” ( Ayat 2 Pasal 7 Undang-undang No 24 Tahun 2011 tentang BPJS).

Pemerintah hanya dibebani premi kelompok miskin Penerima Bantuan Iuran, itupun dengan kualitas kelas III, bukan kualitas terbaik. 

Komersialisasi Pelayanan Kesehatan

Meski sebagai badan publik, BPJS Kesehatan mengelola pelayanan kesehatan di atas prinsip-prinsip bisnis, bukan pelayanan. Konsep out of pocket , logikanya adalah “bayar dulu kalau mau mendapatkan pelayanan kesehatan”, bukanlah semangat gotong royong sebagaimana penyesatan yang dilakukan pemerintah.  Semangat neoliberal ini semakin nyata terlihat dari kebijakan BPJS Kesehatan yang menunda masa aktivasi kartu BPJS Kesehatan menjadi satu pekan.  Yaitu sehubungan dengan banyaknya masyarakat yang memanfaatkan pelayanan kesehatan BPJS Kesehatan tampa diikuti kepatuhan membayar premi.

Tidak mempan waktu sepekan, maka per 1 Juni 2015 masa aktivasi dipanjang menjadi 14 hari.  Yaitu bagi pekerja bukan penerima upah dan bukan pekerja, aktivasi kartu BPJS Kesehatan paling cepat 14 hari setelah pendaftaran. Bagi bayi meski masih dalam kandungan sudah harus didaftarkan sejak  sudah ada denyut nadi.  Demikian termaktub dalam Peraturan  BPJS  Kesehatan No 1 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Dan Pembayaran Iuran Bagi Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta Bukan Pekerja.

Kepala Humas BPJS Kesehatan Irfan Humaidi terkait aturan BPJS Kesehatan tersebut menyatakan:

“Semua ini dilakukan untuk memastikan agar pelayanan kesehatan yang diterima sesuai dengan hak peserta BPJS Kesehatan, makanya harus diatur dengan baik,” (Mulai 1 Juni, Kartu BPJS Kesehatan Berlaku 14 Hari Usai Pendaftaran, Republika.co.id. 28 Mei  2015).

Sementara itu, sejumlah bukti menunjukkan aktivasi 7 hari  saja telah berakibat fatal terhadap kesehatan dan bahkan jiwa pasien, apa lagi aktivasi 14 hari. Dituturkan Sekjen Persi, Dr Wasista Budi Waluyo, MHA:

“Dulu datang, pasien langsung dilayani. Sekarang keluar peraturan aktif kartu 7 hari.  Kami (Rumah Sakit) jadi bingung.  Pernah ada kasus orang kecelakaan, dia jatuh dari genteng. Karena aturan ini, dia harus menunggu operasi. Sayang, beberapa hari sebelum operasi dia meninggal,” demikian diberitakan Liputan6.com, 19 Desember 2014, dengan tajuk “Pihak RS Dibuat Bingung Aturan Aktivasi Kartu BPJS 7 Hari.”

Semangat komersialisasi BPJS Kesehatan  juga terlihat dalam penentuan nilai premi yang mengacu pada konsep untung rugi.  Pengeluaran BPJS Kesehatan yang melebihi penerimaan premi, merupakan alasan utama mengapa BPJS Kesehatan berencana meningkatkan nilai pembayaran premi.   Sebagaimana dinyatakan ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional, Chazali Situmorang :

“Kenaikannya sekitar Rp 40 ribu sampai Rp 50 ribu dan berlaku efektif mulai 2016 ke depan,” (Waduh! Premi BPJS Kesehatan Bakal Dinaikkan Rp 50 Ribu.  Harianterbit.com, 2 April 2015).

Selanjutnya besarnya nilai premi menjadi faktor penentu plafon pelayanan kesehatan,dan kualitas pelayanan kesehatan itu sendiri.  BPJS Kesehatan telah menyediakan skema CoB (Coordination of  Benefit), bersinergi dengan sejumlah perusahaan asuransi kesehatan privat, untuk pelayanan kesehatan yang lebih baik, dengan pra syarat harus membayar lagi sejumlah premi.

Demikian  fakta kebatilan konsep prinsip JKN.  JKN sejatinya hanyalah  menjadikan negara dan pemerintah mengabaikan fungsi dan tanggungjawabnya, disaat bersamaan JKN justru mengekalkan komersialisasi pelayanan kesehatan, pangkal penyebab bencana kemanusiaan yang sangat menakutkan.  Oleh karena itu, adalah kesalahan berfikir yang sangat fatal, bila menyatakan JKN adalah solusi,JKN adalah program yang sudah baik, JKN akan mengembalikan hak pelayanan kesehatan yang terampas.  Tidak, tidak demikian hakekatnya, karena faktanya dengan UHC dan JKN harga pelayanan kesehatan tetap saja melangit,  krisis tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan  tidak teratasi, demikian pula persoalan tingginya tingkat kesakitan berbagai penyakit. 

Adapun tentang puluhan juta orang yang telah memanfaatkan pelayanan kesehatan JKN, tidaklah lantas mengubah konsep prinsip JKN yang batil menjadi benar.  Karena pemanfaatan itu berlangsung dalam kondisi tercederainya hak-hak pelayanan kesehatan mereka, baik karena harus membayar premi dengan batas plafon pelayanan maupun karena pelayanan massal (asal ada) meski digratiskan negara.  Sungguh Allah swt telah menegaskan tentang persoalan ini dalam QS Al Maaidah (5): 100, yang artinya:

“Katakanlah (Muhammad), ‘Tidaklah sama yang buruk dengan yang baik, meskipun menarik hatimu kebanyakan keburukan itu, maka bertaqwalah kepada Allah wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat, agar kamu beruntung,’”       

Pelayanan Kesehatan Khilafah

Kesohihan (benar) konsep pelayanan kesehatan khilafah setidaknya terlihat dari dua aspek.  Pertama, kesehatan dan pelayanan kesehatan didudukan sesuai hakekat dan faktanya.  Yaitu kebutuhan pokok publik, siapapun dia, miskin-kaya, rakyat-penguasa, muslim-non muslim, apapun bahasa dan warna kulitnya.  Ditegaskan Rasulullah saw, yang artinya:

“Siapa saja yang ketika memasuki pagi hari mendapai keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya”. (HR Bukhari). 

Ini artinya Islam menentang keras pandangan kapitalime, neoliberal yang mendudukan kesehatan, pelayanan kesehatan sebagai jasa yang harus dikomersialkan. 

Kedua, Allah swt telah mengamanahkan pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan  langsung dipundak negara dan pemerintah.  Artinya Islam tidak menyerahkan tanggungjawab pemenuhan itu kepada individu terlebih dahulu, dan jika tidak mampu (miskin) baru menjadi tanggungan negara.  Akan pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan yang miskin maupun yang kaya langsung diamanahkan  dipundak negara dan pemerintah.  Sabda Rasulullah saw, yang artinya:

”Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala.  Dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Al- Bukhari). 

Artinya,apapun alasannya  terlarang negara dan pemerintah hanya sebagai regulator dan fasilitator.  Sementara fungsi penyelenggaraan dan pemenuhan pelayanan kesehatan diserahkan lembaga bisnis, seperti BPJS Kesehatan.  Karena hal itu jelas-jelas pengabaian tanggung jawab penguasa dan bentuk pembangkangan nyata terhadap Allah swt.  Disamping  pengebirian fungsi negara sebagai regulator sama saja melapangkan jalan bagi komersialisasi dan industrialisasi pelayanan kesehatan, yang terbukti menjadi sumber petaka dan kemudharatan yang semestinya dihilangkan negara dan pemerintah. 

Sementara itu, Rasulullah saw menegaskan, yang artinya:

Barang siapa yang membahayakan orang lain Allah akan membahayakannya dan barang siapa menyulitkan orang lain Allah akan menimpakan kesulitan padanya” (HR Bukhari). 

Sebagai penanggung jawab urusan publik, tentu negara dan pemerintah lebih besar lagi tanggungjawabnya dalam menghilangkan kemudharatan kepada masyarakat.  Jika begitu bagaimana mungkin ditolerir  konsep yang justru membawa semangat pengabaian peran dan tanggung jawab negara dalam menghilangkan dan mencegah kesengsaraan masyarakat?

Ketiga, sehubungan dengan konsep kedua, sebagai unit pelaksana teknis fungsi dan tanggung jawab negara dalam pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan publik, haruslah rumah sakit-rumah sakit dan klinik-klinik pemerintah, demikian juga puskemas, dikelola di atas prinsip-prinsip pelayanan, bukan komersial. 

Keempat, anggaran bersifat mutlak, yaitu ada tidak ada kekayaan pada pos pengeluaran pelayanan kesehatan wajib diadakan negara.  Tidak dibenarkan penggunakan konsep anggaran berbasis kinerja, tidak dibenarkan dilakukan pemungutan  uang publik meski sepeser saja.  Sebaliknya negara justru wajib menyediakan anggaran berapapun besarnya, agar benar-benar tersedia secara memadai tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan berkualitas terbaik dengan segala kelengkapannya demi terwujudnya pelayanan kesehatan gratis berkualitas terbaik bagi setiap individu masyarakat, kapanpun dan dimanapun individu tersebut berada. 

Lebih jauh lagi, menyediakan pelayanan kesehatan gratis berkualitas terbaik adalah jalan bagi dua hal yang amat besar artinya dalam pandangan Islam, yaitu pertama jalan bagi terpeliharanya kemuliaan manusia, yang Allah swt sendiri telah memuliakannya, dinyatakan  Allah swt dalam QS Al Isra:70, artinya:

Sesungguhnya Kami memuliakan anak cucu Adam (manusia)..”.  

Kedua, jalan bagi terselamatkannya jiwa manusia, yang terselamatkan  satu jiwa saja dibaratkan penyelamatan terhadap  jiwa seluruh umat manusia, sebagaimana Allah swt nyatakan dalam QS Al Maidah:32, artinya:

” ….barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah dia Telah memelihara kehidupan manusia semuanya. ..”

Demikianlah konsep-konsep prinsip Islam yang sohih, yang bersumber dari Al Quran dan Sunnah, yang bersama-sama dengan keseluruhan sistem kehidupan Islam bila diterapkan dalam bingkai sistem politik Islam, khilafah Islam, benar-benar akan menyelesaikan persoalan krisis fasilitas kesehatan dan krisis tenaga kesehatan, akan mencukupi kebutuhan PICU, NICU dan ICU. 

Allah swt mengibaratkan konsep yang benar tersebut dengan pohon yang baik, sebagaimana termaktub dalam QS Ibrahim, ayat 24-25, artinya:

Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah swt telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) kelangit, (pohon) itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizing Rab-nya.  Dan Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat”.  

Pada gilirannya, sebagai janji yang pasti dari Allah swt, Rabbul ‘aalamiin, pelayanan kesehatan gratis berkualitas terbaik benar-benar kenyataan yang bisa dirasakan siapa saja, sebagaimana yang telah berlangsung dalam peradaban Islam yang penuh rahmat puluhan abad.  Dan dengan izin Allah swt, masa  yang penuh kebaikan itu akan segera kembali, menggantikan pelayanan kesehatan batil kapitalistik, peradaban kufur sekuler yang hanya menimpakan kehinaan dan kepedihan hidup.

*Penulis adalah Ko Lajnah Mashlahiyyah Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru