JAKARTA- Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran Prof. Romli Atmasasmita meminta Komnas HAM berhenti menangani kasus alih status pegawai KPK, menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Jika dilanjutkan, maka tindakan Komnas HAM termasuk obstruction of justice atau tindak pidana menghalangi proses hukum.
Dari perkembangan terakhir yang diikuti Prof. Romli, Komnas HAM meminta data-data hasil Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) kepada Kepala Badan Kepegawaian (BKN) Bima Haria Wibisana.
Namun, hal itu tidak bisa dipenuhi Kepala BKN. Karena pemilik instrumen adalah Dinas Psikologi Angkatan Darat selaku pihak yang melakukan wawancara, dan Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) yang melaksanakan profiling.
“Dalam penjelasannya, Kepala BKN menyatakan tidak memiliki data-data hasil tes yang diminta. Karena semua ada di BIN dan Psikologi AD,” kata Prof. Romli dalam keterangannya Rabu (23/6).
Kepada Bergelora.com dilaporkan, sebelum meminta keterangan dari institusi tersebut, perumus UU KPK ini menyarankan agar Komnas HAM mempelajari kembali tugas dan wewenangnya, sesuai UU HAM dan Keppres Tentang Komnas HAM.
Selain itu, Prof Romli juga menyarankan agar Komnas HAM membaca filosofi, beserta historis dan misi diberlakukannya UU HAM dan derivasinya, UU Pengadilan HAM. Sekaligus perbedaan antara pelanggaran HAM dan pelanggaran pidana.
“Sehingga, jelas dan terang bedanya dalam konteks pengaduan 75 eks pegawai KPK yang diberhentikan karena perintah UU ASN, PP 41 Tahun 2020 dan PerKOM KPK No 1 Tahun 2020,” tegas Prof. Romli.
Bila permohonan gugatan 75 eks pegawai didaftarkan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), seketika Komnas HAM wajib menghentikan kegiatannya untuk menghormati yurisdiksi PTUN memeriksa subyek dan obyek perkara yang sama.
“Jika Komnas HAM bersikukuh, maka tindakannya termasuk obstruction of justice,” tandas Prof Romli. (Web Warouw)