JAKARTA – Walaupun mendapat penolakan luas dari masyarakat, Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) malahan berencana membangun pabrik telur nyamuk ber-wolbachia. Langkah ini dilakukan sebagai salah satu bentuk inovasi baru penanganan demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia.
Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes RI Maxi Rein Rondonuwu menjelaskan bahwa pada saat ini kapasitas produksi telur ber-wolbachia di Indonesia masih terbatas. Lima kota yang saat ini menjadi lokasi pilot project nyamuk ber-wolbachia memerlukan sekitar 40 juta telur per minggu.
Karena itu Maxi mengatakan perlu proses bertahap untuk menjadikan inovasi nyamuk ber-wolbachia ini menjadi program secara nasional.
“Kita kan sekarang ini yang sudah punya kapasitas produksi untuk wolbachia itu ada di lab UGM, Yogyakarta sekitar mungkin 8 juta telur per minggu. Kemudian di labkesmas Salatiga Jawa Tengah juga sekitar juga 7-8 juta telur per minggu,” ucap Maxi kepada pers di Jakarta Selatan, Rabu (17/1/2024) lalu.
Kemenkes RI menuturkan bahwa teknologi wolbachia ini sudah terbukti ampuh secara penelitian dapat menekan angka kasus DBD. Penelitian yang dilakukan di Yogyakarta mengungkapkan bahwa teknologi ini menurunkan kapasitas perawatan inap hingga sekitar 60 persen.
Lokasi pilot project untuk nyamuk ber-wolbachia di Indonesia saat ini dilakukan di Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Bontang, dan Kupang.
“Kalau kita punya kapasitas yang besar, kita bisa bertahap untuk memperluas cakupan kita untuk nyamuk ber-wolbachia. Jadi ini lagi proses untuk pembuatan pabrik untuk telur nyamuk,” ucap Maxi.
“Sekarang itu di laboratorium UGM masih manual, bagaimana itu proses melakukan perkawinan sehingga telur-telur itu sudah ber-wolbachia,” pungkasnya.
Wolbachia merupakan bakteri yang hanya dapat di dalam tubuh serangga. Bakteri ini tidak dapat bertahan hidup di luar sel tubuh serangga dan tidak bisa mereplikasi diri tanpa bantuan serangga inangnya.
Teknologi ini dilakukan dengan menginfeksi nyamuk aedes aegypti penyebab DBD dengan bakteri wolbachia. Bakteri wolbachia memiliki kemampuan untuk memblok replikasi virus dengue di dalam nyamuk. Akibatnya, nyamuk tidak mampu lagi untuk menularkan virus dengue ketika menggigit tubuh seseorang.
Nyamuk ini juga dilepas ke ke populasi alami tujuannya agar nyamuk bisa kawin dengan nyamuk di lingkungan dan menghasilkan anak-anak ber-wolbachia. Dengan begini dampak perlindungan wolbachia terhadap penularan DBD bisa berkelanjutan.
Belum Terbukti Efektif
Sebelumnya, Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari belakangan mempertanyakan langkah pengendalian demam berdarah dengue (DBD) Kementerian Kesehatan RI yakni menyebarkan nyamuk aedes aegypti dengan bakteri Wolbachia.
Dirinya mengaku keberatan saat masyarakat dijadikan subjek penelitian. Efektivitas penerapan wolbachia dikhawatirkan belum terbukti.
“Ini yang membuat ketidaknyamanan menurut saya sebagai bangsa yang berdaulat. Dari segi kesehatan DBD menurut saya telah terkendali dengan program-program dari Kemenkes,” tutur dia dalam konferensı pers Senin (13/11/2023).
Proyek Kontrol Populasi
Senada dengan itu, pakar intelejen Komjen Dharma Pongrekun dalam konferensi Pers, Minggu (26/11/2023) di Jakarta menyatakan banyak ketidakjelasan dari program penyebaran nyamuk Aedes Aegepti yang mengandung Wolbachia.
Ia meminta agar rakyat dapat menolak penyebaran yang sedang direncanakan oleh Kementerian Kesehatan RI di beberapa kota di Indonesia.
“Penyebaran nyamuk Wolbachia adalah proyek Kontrol Populasi Mr. Bill Gates yang dilaksanakan oleh Kemenkes dan beberapa peneliti UGM melalui pendanaan World Mosquito Program (WMP). Rakyat boleh menolak program yang tidak jelas ini,” tegas Dharma Pongrekun sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina Gerakan Sehat Untuk Rakyat Indonesia (Gesuri).
Mantan Wakil Kepala BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara) ini menyampaikan data dan informasi yang dimiliki nyamuk Wolbachia ini sudah tersebar di lima kota pilot project yaitu Bandung, Semaramg, Bontang, Kupang dan Bali.
“Dan rakyat kita sebagai kelinci percobaan. Namun karena ada penolakan, di Bali, ditunda. Pada.awal Desember ini akan ditebar di DKI Jakarta mulai di Jakarta Barat. Hal ini sudah menimbulkan keresahan warga Jakarta,” ujarnya.
Dharma Pongrekun menjelaskan, para globalis yang tergabung dalam WMP yang didanai oleh Bill Gates Foundation sebesar 9 miliar dolar ini mempercepat kepolosan peneliti di perguruan tinggi dengan dalih kerjasama.
“Padahal ada agenda tersembunyi yaitu kontrol populasi. Benang merahnya adalah SK Menkes yang mengatur penanganan DBD melalui nyamuk Wolbachia di lima kota termasuk Jakarta,” ujarnya.
Lewat nyamuk Wolbachia hidup manusia alias berada di bawah rekayasa global yang dikendalikan dalam satu sistem kehidupan yang direkayasa.
“Programnya adalah kontrol uang, kontrol kekuasaan dan kontrol populasi. Saat ini mereka sedang menjalankan program terakhir yaitu pengendalian populasi dengan menggunakan teknologi secara terstruktur sistimatis dan masif. Media dikuasai agar tidak ada rakyat yang melek atas kebenaran. Merekalah globalis non state actor yang mengendalikan PBB (PBB) dan seluruh negara di dunia termuk LSM seperti WMP dan Save The Children yang saat ini terlibat dalam penyebaran Wolbachia,” paparnya.
Dharma Pongrekun mengingatkan kontrol populasi telah diadopsi di seluruh dunia termasuk di Indonesia dalam 17 program SDG yang dibiayai oleh globalis berupa pinjaman yang menjadi beban negara-negara.
Menurutnya 17 program SDG itu berjalan paralel dengan satu tujuan yaitu untuk mengendalikan seluruh aspek kehidupan umat manusia dengan mencabut semua hak hidup yang dijamin dalam konstitusi Pasal 28 UUD’ 45.
“Untuk itu mereka perlu menerbitkan UU Omnibuslaw Kesehatan No 17/2023,” ujarnya. (Web Warouw)