Oleh : Petrus H Hariyanto
JAKARTA- Ia merintih kesakitan dan sesak nafas. Saking sesaknya dia mendapat pertolongan oksigen. Pandangannya sudah tidak fokus lagi. Walau matanya terbuka tetapi sudah tidak menyadari keadaan di sekelilingnya.
Rintihannya tidak bisa aku dengar. Hanya bisa kusaksikan dari balik ruang kaca. Oom Bernard cuci darahnya di ruang kaca. Ruangan itu Hanya ada empat tempat tidur. Suara dalam ruangan itu tidak terdengar dari luar. Padahal, dari tempat tidurku sangat dekat sekali, sehinnga aku bisa melihatnya dengan jelas.
Ketika kuperhatikan selang darah masih bening bersih, tanda darahnya belum dialirkan ke mesin. Dia belum memulai cuci darah.
Kulihat jam di dinding sudah menunjukan pukul 12.45 WIB. Dia sudah terlambat lima belas menit. Sama seperti diriku yang baru sampai ke klinik.
“Kenapa Oom Bernard belum cuci darah, padahal mesin sudah ready?,” tanyaku ke suster Nurwi.
“Pak Hari, Oom Bernard panas tinggi. Suhu badannya harus dirurunkan dulu. Itu perintah dokter Riza,” jawab suster Nurwi yang baru saja keluar dari ruangan Oom Bernard.
Dokter Riza adalah dokter hemodialisa yang mendapat giliran jaga pada shift siang, sementara shift pagi yang bertugas dokter Asih. Klinik di mana kami hemodialisa, mempunyai dua dokter.
Suster Nurwi juga mengatakan kalau double lumen Oom Bernad bernanah. Padahal alat itu baru dipasang di Rumah Sakit Cikini, dengan menghabiskan biaya lebih dari Rp 4 juta. Aku menduga Oom Bernard mengalami infeksi.
Bahkan, menurutnya lagi, kenaikan cairan dalam tubuh Oom Bernard mencapai 5 kg. “Karena sudah sesak nafas hebat, aku larang dia minta minum. Dia mengerang-erang minta minum,” ungkapnya lagi.
Sepanjang cuci darah dia merintih dan mengaduh terus menerus. Walau suaranya tak terdengar tapi aku merasakan kalau dia sedang tersiksa dan putus asa.
Tiba-tiba ada dorongan kuat untuk aku memanjatkan doa. “Tuhan jangan ambil dia sekarang. Beri dia kesempatan agar tetap bertahan. Beri juga kesempatan kami kembali sebagai teman-temannya untuk memberi semangat kepadanya,” ucap doaku.
Sangat jarang aku berdoa dengan khusuk sekali. Entah kenapa? Kali ini begitu aku pasrah memohon kepada-Nya.
Tak lama kemudian kubuka handphone ku dan membuka postingan di group WA (WhatsApp) bernama “Jakarta Kidney Center” . “Oom Bernad berteriak-teriak ingin mati saja. Sepanjang cuci darah dia kesakitan. Aku tawari makan tapi jawabannya sudah ngaco. Aku takut. Aku jadi tidak punya nafsu makan,” tulis Bu Wati dalam group WA.
Rupanya dalam ruang kaca itu selain Oom Bernard ada Bu Wati juga. Aku bisa merasakan betapa takutnya Bu Wati berduan dalam ruangan itu.
“Aku sudah sampaikan ke suster agar Oom Bernard jangan ditaruh di ruang kaca. Biar saja cuci darah ramai-ramai bersama teman-temannya. Mungkin dia jadi terhibur dan bisa bercanda. Aku kan orangnya pendiam. Aku bingung mau berbuat apa?,” keluh Bu Wati di group.
Tapi usulan itu tidak diterima. Walau Oom Bernard orangnya pendiam tapi kalau diajak bercanda “kegilaan”-nya bisa keluar. Dia sangat ekspresif bila diajak bercanda. Sampai teriak-teriak dan tertawa lepas.
Kesakitan yang diderita Oom Bernard bersifat akumulatif. Kondisinya semakin hari semakin memburuk. Wajahnya semakin pucat . Berat badanya melorot tajam, tapi perutnya membesar. Rambutnya yang dulu tebal sekarang menipis.
Kata dokter Riza, dalam perut Oom Bernard tersimpan cairan sebesar 10 kg. Paru-parunya katanya lagi, sudah tergenang air. Makanya, dia sering sesak nafas dan terbatuk-batuk.
“Oom Bernard sudah tidak mempunyai semangat untuk bertahan hidup. Padahal itu yang sangat dibutuhkan pasien cuci darah,” ujar suster May kepadaku pada suatu hari.
“Dia kepingin cum laude. Kepingin cepat lulus saja, alias kepingin mati,” ungkap bu Meiner seorang pasien yang sangat dekat dengannya.
“Dua tahun yang lalu Oom Bernard ganteng sekali. Apalagi kalau memakai celana training dan jaket, Dia terlihat gagah dan tampan,” ujar suster Lela yang sering dipanggil teman-temannya mpok Lela.
“Orang ganteng dan tampan ini koq nasipnya sama seperti aku. Aku sering ngumpetin Tabloid Bola-nya, padahal dia belum membacanya,” ungkap Novi mengenang awal perjumpaan dengannya.
Bahkan menurut cerita bu Meiner, ia masih berolahraga bulu tangkis. “Kunasehati agar jangan berolaraga terlalu keras. Kita sudah tidak boleh main bulu tangkis lagi.” Nasehat bu Meiner yang masih aktif berkerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit swasta di Depok.
“Dia memang atlit bulutangkis. Saya sudah berlatih bersamanya sejak tahun 1996. Kami berdua masuk klub Trijaya. Sayang Bernard punya kebiasaan jelek mengkonsumsi minuman berenergi. Apalagi setelah dia bekerja di pabrik sebagai teknisi mesin, hampir setiap hari dia konsumsi minuman penambahan stamina itu,” ujar Lukito teman karib Oom Bernard.
Aku sendiri pertama kali bertemu dengannya dua tahun lalu di ruang admin. Kami sama-sama membayar beberapa komponen biaya cuci darah yang tidak dicover KJS (Kartu Jakarta Sehat-red). Saat itu belum ada BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Sempat kupikir dia pasien Klinik 24 jam, ternyata dia pasien cuci darah juga.
Wajahnya bersih, tampan, tiada tanda kehitaman di kulit seperti pasien cuci darah pada umumnya. Badannya tegap, tanpa ada timbunan lemak. Cara bicaranya halus. Kutaksir usianya belum ada 40 tahun. Lebih muda dari aku. Tapi tak tahu kenapa aku dan lainnya memanggilnya Oom Bernard. Mengalir saja, keterusan sampai sekarang.
“Kenapa mas, pusing,” tanyaku ke dia.
“Ya Pak. Tekanan darah saya tinggi. Saya mau istirahat dulu sebelum pulang,” ujarnya singkat.
Kami tidak saling berkenalan. Toh nanti juga akan sering bertemu lagi. Kutinggalkan mas itu duduk di ruang tunggu.
Minggu berikutnya, kami sudah saling bercanda. Ini terjadi karena sebelum memulai cuci darah kita menunggu dalam ruangan yang kecil, tempat duduknya terbatas. Otomatis kita saling bertegur – sapa.
Oom Bernard terkenal sebagai sosok pasien yang “bandel”. Berkali-kali saat cuci darah dia membawa tiga sampai empat gelas plastik es teh poci. Satu dia habiskan, yang lain diberikan ke suster.
Satu gelas plastik teh poci kalau ditakar bisa mencapai 600 ml. Padahal kita yang ginjalnya tidak berfungsi lagi, sehari dibatasi minum hanya 600 ml, setara sebotol air mineral tanggung. Bila dilanggar, tubuh akan kelebihan cairan.
“Kamu mbok jangan bandel. Mau hidup lama nggak? Apa enaknya sih sesak nafas? Lagian kalau naiknya banyak akan memberatkan kerja jantungmu,” ujar Pak Yanto pasien paling senior, yang sudah cuci darah 12 tahun.
Pak Yanto menjadi teladan kami semua yang baru menjalani cuci darah setahun dua tahun. Kata Pak Amir, kalau minum obat dia hanya butuh air “sekelebatan” saja. “Hanya dua sendok makan,” ujar Pak Amir yang sering menyaksikan Pak Yanto minum obat.
“Wah kalau aku mana bisa. Bisa-bisa kapsulnya nyangkut ditenggorokan. Minimal setengah gelas,” ucap Pak Supratman yang sering naik cairannya empat kilo.
Cerita Bu Meiner lebih nekad lagi. Oom Bernard sering makan sup buah. Bisa menghabiskan satu mangkok penuh. Kalau ini ada dua pelanggaran yang ia lakukan. Pertama, dia minum cairan berlebih karena dalam sop buah ada kuah. Yang kedua memakan buah-buah-an yang kandungan kaliumnya tinggi. Sebagai pasien cuci darah kalau kandungan kaliumnya tinggi akan mengalami sesak nafas dan denyut jantung meningkat tajam.
Kalau dinasehati, jawabnya enteng, “Hidup koq susah. Nggak perlu takut. Entar juga hilang kalau dicuci. Nikmati saja hidup ini, tak perlu dibatas-batasi,” jawab Oom Bernard dengan gaya konyolnya.
Bukan sekali dia mengalami sesak nafas karena kelebihan cairan dan kalium. Kalau tidur air yang ada di perutnya naik ke paru-paru. Makanya seharian dia tidur sambil duduk.
“Suster oksigen dong, aku sesak nafas,” keluh Oom Bernard.
Padahal giliran cuci darahnya belum mulai masih menunggu. Di ruang tunggu, sambil duduk dia mendapat pertolongan oksigen. Nafasnya pendek-pendek. Mulutnya terbuka seperti ikan Koi dalam dalam aquarium tanpa ada airnya.
Pemandangan ini bukan sekali. Entah berapa kali, aku tak mengingatnya. Tapi kalau sudah selesai cuci darah dia akan sesumbar. “Aku sehat, aku kuat,” teriaknya sambil menepuk dada dan memamerkan otot tangannya bak binaragawan.
Walau ganteng, Oom Bernand masih belum mempunyai pacar. Hal ini yang menjadi bahan candaan teman-teman. Ketika ditanya pacarnya mana? Dia selalu mengelak dan menjawab tidak ada pacar-pacaran katanya. Oom Bernad berdalih tugas kita adalah berobat biar sehat.
Ada nada getir padanya ketika disinggung soal pacar. Rupanya dia dua kali patah hati. Pacarnya yang sebelum dia jatuh sakit ternyata sudah putus. Pacarnya bermukim di Jerman. Entah kenapa? Penyababnya, Mungkin karena Oom Bernard cuci darah? Tapi kami tidak tahu dengan pasti.
Patah hati yang kedua karena sang suster yang dia cintai keluar dari pekerjaannya untuk menikah dengan orang lain. Oom Bernard sangat sayang kepadanya. Pendekatan ke suster yang dia cintainya ini sangat gencar. “Sudah pernah saya ajak jalan-jalan dan nonton Pak Hari. Ah… tapi aku tidak bisa mendapatkan cintanya,” keluh Oom Bernard kepadaku suatu hari.
Suster Titik lah yang membuat dia patah hati. Ada teman perempuan yang ingin membina hubungan dengannya , tapi Oom Bernard menanggapinnya dengan dingin.
PHK
Oom Bernard yang gagah dan tegap tersebut ternyata penglihatannya semakin hari semakin kabur. Aku mengetahuinya ketika kami bertemu di tempat parkir. Sama-sama mengambil motor. Waktu itu kami berdua masih kuat menaiki motor baik berangkat dan pulang cuci darah.
“Pak Hari aku duluan. Kepingin cepat pulang keburu hari gelap. Mataku sudah susah melihat,” sapanya. Semakin hari, dia semaki stres menghadapi matanya yang semakin susah melihat.
“Pak Hari, rumah sakit mana yang bisa mengoperasi mata dengan gratis? Aku sudah tidak bisa memakai asuransiku. Aku sudah tidak bekerja lagi karena mataku sudah susah melihat. Pekerjaanku membutuhkan penglihatan yang baik, karena berhubungan dengan mesin,” curhatnya ke aku beberapa hari yang lalu.
Dia mengatakan ini sekitar bulan Mei 2015. Sejak itu aku baru menyadari kalau dia mulai limbung. Suka menyendiri. Tidak ngumpul lagi dengan teman-teman.
Perubahan itu kutangkap, dan aku meminta kawan-kawan memberi semangat. Jangan sampai dia merasa sendirian.
Saat kami mempunyai rencana piknik bareng ke Puncak dia tidak tertarik. Dia menghindar tidak ikut pembicaraan. Dia juga tidak ikut mendaftarkan diri.
Aku meminta teman-teman memaksa Oom Bernard ikut. “Dia tidak perlu bayar iuaran. Dia sedang menghadapi kesulitan keuangan. Dia harus ikut biar hidupnya bersemangat lagi,” ujarku kepada teman-teman.
“Kami satu mobil. Selama perjalanan dia gembira dan tidak tertutup lagi. Dia mau bercanda dan ketawa,” ujar Bu Wati.
Acara piknik bersama itu berdampak positif bagi Oom Bernard. Dia mulai bergabung lagi dengan teman-teman. Apalagi suasana ruang tunggu berubah lebih besar. Klinik JKC (Jakarta Kidney Center) pindah gedung, semula di Mampang pindah ke Jati Padang. Dulunya gedung Tim Sukses Hidayat Nur Wahid-Didik Rachbini, ketika berkompetisi dalam Pilgub DKI Jakarta.
Pada bulan Juli 2015, teman-teman mengadakan acara buka puasa bersama. Selain pasien dan keluarganya, juga mengundang dokter dan perawat. Oom Bernard larut dalam kegembiraan bersama itu. Perasaan senangnya dia ekspresikan dengan cara meminum segelas es teh bersama Pak Jimmy. “Mumpung baru cuci darah,” celetuknya.
Sebulan kemudian aku baru bertemu kembali dengannya. Menjelang lebaran aku pulang kampung sebulan penuh. Sungguh terkejut aku melhat kondisinya kini. Dia sudah tidak mampu berjalan dengan baik, harus menggunakan kursi roda.
Sakitnya bersifat akumulatif. Kondisinya semakin hari semakin memburuk. Wajahnya semakin pucat. Berat badanya turun, tapi perutnya membesar. Rambutnya yang dulu tebal sekarang menipis.
Kata dokter Riza, dalam perut Oom Bernard tersimpan cairan sebesar 10 kg. Paru-parunya sudah tergenang air. Makanya, dia sering sesak nafas dan terbatuk-batuk.
“Oom Bernard sudah tidak mempunyai semangat untuk bertahan hidup. Padahal itu yang sangat dibutuhkan pasien cuci darah,” ujar suster May, perawat perempuan yang paling senior di JKC.
“Dia kepingin cum laude. Kepingin cepat “lulus” saja, alias kepingin mati,” ungkap bu Meiner seorang pasien yang sangat dekat dengannya.
Penderitaannya bertambah karena double lumen di dadanya copot secara tak sengaja. Terpaksa proses cuci darahnya melalui tusukan di paha (femoral).
“Oom, jangan terlalu banyak bergerak kakinya. Nanti mesinnya macet ,” protes suster kepada Oom Bernard.
“Bergerak saja tak boleh. Kakiku kan gatal. Aku harus menggaruknya,” jawab Oom Bernard dengan wajah tak bersalah.
Benar saja, mesin hemodialisanya berkali-kali macet. Berkali-kali pula suster harus mondar-mandir untuk menghidupkan mesin agar tetap berputar.
“Oom, tabung dializer nya ganti yang baru ya? Tabungnya rusak karena ada bekuan darah,” ujar suster.
Aku yang menyasikannya hanya bisa mengelus dada. Oom Bernard memang orangnya begitu. Susah dinasehati. Hal ini hanya akan membuat pengeluarannya bertambah. Satu tabung dializer harganya Rp 250 ribu. Tentu sangat memberatkannya, apalagi dia sekarang sudah tidak bekerja lagi.
Aku tak tahan melihat kondisinya yang begitu mengenaskan. Walau aku juga sedang terpuruk karena terkena stroke, tapi aku tidak bisa tinggal diam.
“Bagaimana dengan Oom Bernard? Sebagai temannya, kita harus menolongnya. Dia sendirian. Agaknya, keluarganya kurang perhantian. Selama dua tahun ini aku hanya pernah sekali melihat adiknya perempuan mengantarnya cuci darah. Selebihnya, ia datang sendirian, bahkan dalam kondisi fisiknya drop. Berangkat dan pulangnya diantar Gojek,” ungkapku kepada teman-teman.
Aku mengatakannya di ruang tunggu. Seperti biasanya kita ngumpul. Dalam forum informal ini kita bisa bercanda. Terkadang menjadii forum diskusi untuk memecahkan problem-problem yang kita hadapi sebagai pasien gagal ginjal. Tak jarang diskusi juga mengarah ke hal-hal lebih serius, seperti membicarakan kebijakan BPJS atau pihak manajemen Klinik yang merugikan pasien.
Boleh dibilang, kami sudah tumbuh menjadi sebuah komunitas. Kami menamakan “Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia”.
Ibu Ngadiman juga membenarkan pernyataanku. Katanya, ibunya sering memarahinya karena Oom Bernard di rumah hanya diam saja tanpa bekerja. Kakaknya juga sering marah kalau Oom Bernard minta antar berobat ke rumah sakit.
“Mbok keluarga Oom Bernard sekali-kali datang ke klinik, biar tahu persis gimana sih kondisi pasien cuci darah,” ujarnya dengan nada tinggi.
“Oom Bernard harus cuci darah tiga kali seminggu. Kalau hanya dua kali seminggu, cairan yang ada di perutnya tidak akan tersedot. Semakin lama semakin membesar, dan kondisi tubuhnya akan memburuk,”
“Semua ini akibat “kebandelan” Oom Bernard sendiri. Dia tidak tertib menjaga asupan cairan. Setiap cuci darah naiknya lebih dari 4 kg. Padahal aturan di klinik ini hanya boleh menarik maksimal 4 kg setiap cuci darah. Lama-lama menumpuk dalam tubuhnya,” ujar Toni.
Yang dibicarakan tiba-tiba nongol dengan kursi rodanya. Dia dibantu Satpam klinik, saudaranya tidak ada yang mengantarnya.
“Kawan-kawan meminta dirimu cuci darah tiga kali. Teman-teman ingin dirimu sehat lagi. Tidak terpuruk seperti ini,” kataku ke dia.
Oom Bernard terkejut. Belum juga dia memposisikan kursi rodanya agar bisa menghadap ke teman-teman tetapi sudah langsung dinasehati.
“Gimana ngurusnya,” ujarnya dengan nafas yang memburu.
“Minta ACC dokter KGH saja untuk cuci darah tiga kali,” ujar Kholis salah satu pasien cuci darah tiga kali seminggu.
“Aku nggak kuat berobat ke RSCM. Keluargaku nggak ada yang bisa mengantar,” keluhnya.
“Begini Oom, kau ke JMC (Jakarta Medical Center). Periksa ke dokter Bonar. Kamu harus bayar kaena di sana tidak bisa pakai BPJS. Minta dokter Bonar beri ACC kalau kamu harus cuci darah tiga kali. Surat ACC itu kemudian Oom Bernard ajukan ke BPJS untuk disetujui,” ujar Toni.
“Aku duga bukan cairan saja yang tak tertarik secara maksimal, aku yakin kreatinin, ureum juga nggak maksimal tertarik. Tingkat kandungan fosfor dalam tubuh Oom Bernard pasti tinggi. Lihat saja, dari tadi dia garuk-garuk badannya karena gatal. Itu pertanda fosfor dalam tubuh tinggi. Lagian minumnya teh kotak, kandungan fosfornya tinggi. Ditambah Oom Bernard pasti sering lupa minum CaCO3,” kritik Toni atas “kebandelan” Oom Bernard.
Apa yang dikatakan Toni terbukti, ketika baju Oom Bernard dibuka, terlihat tanda warna hitam-hitam bekas luka mengering hampir seluruh punggungnya. Teman-teman sangat prihatin karena rasa gatal itu pasti menyiksa sekali. Oom Bernard tidak peduli bahwa itu karena kelebihan fosfor. Teh kotak yang mengandung bahan pengawet dan tinggi kandungan fosfor tetap disedotnya sampai habis, tanpa mengindahkan nasehat dari kami semua.
Untungnya, saran teman-teman untuk cuci darah tiga kali seminggu dia jalani. Minggu-minggu berikutnya kami sangat gembira sekali menyaksikannya menjalani cuci darah tiga kali seminggu. Walau perutnya masih buncit, tetapi sudah mulai agak bugar. Dia tidak lagi memakai kursi roda. Selama proses cuci darah sangat responsif bila diajak bercanda. Dia juga sudah memasang double lumen walau untuk yang sementara.
Kegembiraan kita hanya bertahan sebentar. BPJS hanya memberi rekomendasi satu bulan saja untuk cuci darah tiga kali kepadanya. Kebijakan ini membuat Pemuda lajang ini kelabakan lagi.
“Aku tak punya uang. Aku tak mungkin sendirian ke RSCM,” keluhnya kepada teman-teman.
Keluhannya sempat tak kupercaya. Belum ada sebulan yang lalu dia operasi double lumen di Rumah sakit Cikini. Biayanya empat juta rupiah.
“Oom, sebaiknya operasi di RSCM. Bisa menggunakan BPJS. Uangnya untuk bayar orang agar ada yang ngantar kamu. Kalau kau tidak punya akses cuci darah RSCM akan segera memasang double lumen. Bahkan yang long term, kualitasnya bagus. Uang dihemat, keperluan kita ada terus,” ucapku berkali-kali kepadanya.
Nasehat untuk cuci darah tiga kali tidak dijalankan lagi. Dia tidak mengurus ke BPJS. Tak menunggu lama, dalam jangka dua minggu dia sudah memakai kursi roda lagi. Wajahnya kembali pucat dan layu. Sesak nafasnya semakin parah.
Toni marah, tapi bukan kepadanya. Ia memprotes kebijakan BPJS yang hanya membatasi izin cuci darah tiga kali seminggu berlaku per bulan.
“Itu merepotkan pasien. Rata-rata kondisi pasien sudah payah, masak harus dituntut memperpanjang izin,” tegasnya.
Celakanya, hampir seminggu aku datang ke klinik selalu terlambat. Usulku agar teman-teman patungan untuk biaya Oom Bernard ke dokter KGH, tak sempat kusampaikan.
Akhirnya, kondisi Oom Bernard untuk sementara tidak bisa dicarikan solusi. Kondisi terpuruknya Oom Bernard sementara luput dari perhatian teman-teman.
Berpulang
Minggu sore tanggal 6 Desember, berita duka kepergian Oom Bernard kuterima dari Toni. Dia yang pertama kali mendengar berita itu.
“Teman kita tercinta Bernardius Rudi Yulianto telah pergi meninggalkan kita semua,” tulis Toni di group WA.
Kami semua tidak tahu bagaimana detik-detik terakhir Oom Bernard meninggal. Dari cerita dokter Asih, tanggal 5 Desember 2016 keluarganya menghubungi klinik meminta surat traveling untuk cuci darah ke RS Cikini, sekaligus memeriksakan double lumen yang bernanah.
Menurut Lukito teman karibnya di klub bulu tangkis, Rudi (panggilan Oom Bernard), jenazahnya dibawa dari rumah duka, komplek perumahan Polri Pondok Karya menuju kota Solo, Jawa tengah. Sekitar pukul 19.00 WIB, jenazah almarhum dibawa ke Solo dengan iring-iringan sepuiluh mobil di belakang mobil jenazah.
Berita itu bagiku sangat mengejutkan. Walau Oom Bernard kondisinya semakin memburuk, tapi aku tak mengira dia begitu cepat meninggalkan kita semua.
Sedih sekali. Betapapun Oom Bernard telah menjadi bagian kita. Hubungan yang dibina kawan-kawan telah mempersatukan dan mendekatan kita semua dalam satu ikatan batin.
Sepanjang sore dan malam, pikiranku tersita memikirkannya. Kembali teringat awal-awal pertemuan dengannya. Saat-saat terakhir dia cuci darah dalam kondisi yang memprihatinkan. Kebandelan dan kekonyolannya. Susah payah, dan tak jemu-jemunya teman-teman menolongnya agar dia mau bangkit dan mempunyai semangat untuk tetap hidup.
Rasa kehilangan yang begitu besar membuat diriku menumpahkannya lewat status di FB (Facebook-red). Bahkan mendorong aku menulis kisahnya. Seakan jari dan otakku lancar menceritakannya dalam tulisan.
Hari Rabunya, saat jadwal cuci darah kita menggelar doa bersama di ruang tunggu. “Sampai hari ini Aku kepikiran terus akan Oom Bernard,” ujar Pak Amir dengan sedih.
Ternyata yang lain sama, semua sedih atas kepergiannya. “Mari kita berdoa bersama agar Oom Bernard diterima disisi-Nya sesuai amal ibadahnya,” ucap Bu Sarwono, yang semasa hidup almarhum ibu ini rajin dan tak patah arang menasehati dan memberi semangat kepadanya.
“Kita kehilangan sosok pasien yang tidak resek. Dia pasien yang tidak suka protes terhadap layanan kami para suster,” ujar suster May.
“Sudah tidak ada es teh poci lagi, sudah tidak ada coklat lagi. Dia pasien yang sangat perhatian sama perawat,” ujar suster yang nggak mau disebut namanya.
“Sudah tidak ada teriakan dan suara batuk yang keras saat cuci darah. Anak “bandel” itu telah pergi. Kini tinggal rasa kehilangan,” ucap Novi dengan sedih.
Selamat jalan Oom Bernard. Mungkin ini jalan yang terbaik dari-Nya, agar kamu lepas dari penderitaan. Semoga kamu bahagia di sana.
*Penulis adalah Sekretaris Jenderal Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia