Oleh: Connie Rahakundini Bakrie*
Insiden Satgas 115 menggunakan kapal KP Hiu dengan kapal Coast Guard China di Natuna menuai kontroversi. Pertanyaan mendasarnya terletak pada peraturan apakah yang mengijinkan Satgas 115 berada di ZEE (Zona Ekslusif Ekonomi) dan sudah tepatkah Satgas 115 untuk menjadi aktor baru penegak hukum hingga di ZEE ?
Peraturan yang melahirkan Satgas 115 sesungguhnya sejak awal sudah diduga akan menuai kontroversi. Mengapa? Satgas sebagaimana dimaksud pada ayat 1 Perpes 115/2015 bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Satgas ini bertugas mengembangkan dan melaksanakan operasi penegakan hukum dalam upaya pemberantasan penangkapan ikan secara ilegal di wilayah laut yurisdiksi Indonesia secara efektif dengan mengoptimalkan pemanfaatan personil dan peralatan operasi, baik kapal, pesawat udara, dan teknologi yang dimiliki oleh al. Kementerian Kelautan dan Perikanan, TNI Angkatan Laut, Kepolisian Negara, Kejaksaan Agung, Bakamla, dan institusi terkait lainnya.
Dalam melaksanakan tugasnya Komandan Satgas 115 yaitu Menteri Kelautan dan Perikanan dapat memerintahkan unsur-unsur Satgas untuk melaksanakan operasi penegakan hukum dalam rangka pemberantasan penangkapan ikan secara ilegal di kawasan yang ditentukannya. Dalam hal ini Satgas 115 memiliki hak untuk melaksanakan komando dan pengendalian atas kapal, pesawat udara, dan teknologi dari elemen negara yang sudah berada di dalamnya.
Satgas 115 terdiri dari Komandan Satgas yaitu Menteri Kelautan dan Perikanan; Kepala Pelaksana Harian yaitu Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Laut; Wakil Kepala Pelaksana Harian 1 yaitu Kepala Bakamla; Wakil Kepala Pelaksana Harian 2 yaitu Kepala Badan Pemelihara Keamanan, Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan Wakil Kepala Pelaksana Harian 3 yaitu Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum, Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Tim Gabungan ini berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Komandan Satgas yang merupakan satu-satunya pemegang otoritas dan berwenang melaksanakan komando dan kendali terhadap unsur-unsur Satgas.
Dilihat dari aspek pertahanan sangat jelas Perpres 115/2015 ini mencederai TNI, menentang UUD 1945, Undang-undang TNI Nomor 34/2004 dan Undang-undang Pertahanan. Jika kita cermati pedoman umum untuk pelaksaan operasi, dimana Menteri KKP merupakan komandan Satgas dan satu-satunya pemegang otoritas dan berwenang melaksanakan komando dan kendali terhadap unsur-unsur Satgas. Padahal jelas sangat bahwa organ TNI tidak boleh lepas kendali baik ke/dari luar TNI.
Kontradiksi Dalam Peraturan
Tentara, dimanapun di dunia ini harus bertanggung jawab kepada Panglimanya dan dalam hal ini TNI harus bertanggung jawab kepada Panglima TNI. Meskipun Presiden adalah panglima tertinggi dari TNI tetap saja Perpres ini melanggar Undang-undang karena Perpres ini hanya merujuk pada Undang-undang 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan telah lalai merujuk pada UUD 45, Undang-undang 34 tahun 2004 tentang TNI, Undang-undang Nomor 3 tahun 2003 tentang Pertahanan.
Pusat Data Informasi KIARA juga mencatat setidaknya ada 4 kebijakan yang ditabrak oleh Perpres 155/2015 tentang Satgas 115, yakni Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2015 tentang Kementerian Kelautan dan Perikanan; Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan; Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan; dan Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2015 tentang Badan Keamanan Laut.
Jika kita lihat centang prenang dari para pelaku pengelolaan pertahanan keamanan laut kita, akan terlihat kenapa Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menjadi begitu yakin akan kebenaran kapal Satgas 115 nya di ZEE. Karena dengan berbekal Perpres 115 Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti ‘mengepalai’ 3 institusi – dengan Undang-Undang nya sendiri sendiri, dibawah garis komandonya langsung.
Padahal, dalam Undang-Undang TNI No. 34 Tahun 2004 Pasal 9 menyatakan Kewenangan TNI AL adalah menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yuridiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan internasional yang telah diratifikasi. Kewenangan menegakkan hukum dan menjaga keamanan adalah segala bentuk kegiatan yang berhubungan dengan penegakan hukum di laut sesuai dengan kewenangan TNI AL (constabulary function) yang berlaku secara universal dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku untuk mengatasi ancaman tindakan, kekerasan, ancaman navigasi, serta pelanggaran hukum di wilayah laut yurisdiksi nasional. Adapun penegakkan hukum yang dilaksanakan oleh TNI AL di laut, terbatas dalam lingkup pengejaran, penangkapan, penyelidikan, dan penyidikan perkara yang selanjutnya diserahkan kepada kejaksaan, karena TNI AL tidak menyelenggarakan pengadilan.
Undang-Undang Kelautan No. 32 Tahun 2014 BAB IX menyatakan bahwa fungsi BAKAMLA (Badan Keamanan Laut) sesuai Pasal 62 adalah menyusun kebijakan nasional di bidang keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yuridiksi Indonesia; Melaksanakan penjagaan, pengawasan, pencegahan, dan penindakan pelanggaran hukum di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yuridiksi Indonesia; Melaksanakan tugas lain dalam sistem pertahanan nasional.
Kewenangan BAKAMLA dalam Pasal 63 adalah melakukan pengejaran seketika/ hotpursuit; Memberhentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan menyerahkan kapal ke instansi terkait yang berwenang untuk pelaksanaan proses hukum lebih lanjut;
Pasal 69 Undang-Undang Kelautan No. 32 Tahun 2014 menyatakan, Kapal pengawas perikanan berfungsi melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum di bidang perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Kapal pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilengkapi dengan senjata api. Kapal pengawas perikanan dapat menghentikan, memeriksa, membawa, dan menahan kapal yang diduga atau patut diduga melakukan pelanggaran di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia ke pelabuhan terdekat untuk pemrosesan lebih lanjut dan di dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyidik dan/atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Kontradiksi Kewenangan
Dilihat dari sisi hukum laut, United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 telah membagi wilayah laut menjadi 4 wilayah yaitu 1) Wilayah perairan sampai dengan 12 mil dari garis pantai kearah laut. 2) Zona tambahan sampai dengan 24 mil dari garis pantai. 3) ZEE sampai dengan 200 mil diukur dari mulai 12 mil wilayah perairan. 4) Laut bebas lebih dari 200 mil.
Adapun aktor-aktor penegak hukum di wilayah laut telah juga diatur oleh UNCLOS yaitu,– zona laut bebas adalah Kapal Perang (War Ships), di zona ZEE, adalah War Ship dan Kapal Negara (Government Ship), di zona tambahan, kapal bea cukai dan karantina dan di wilayah perairan teritorial adalah kapal kapal Polisi, Pengawas Perikanan, Bakamla, KPLP, juga KRI.
Di ZEE berlaku hukum Internasional yaitu pelayaran damai, sehingga secara internasional seluruh negara di dunia wajib menjamin keamanan dan keselamatan pelayaran di zona tersebut. Di Indonesia, untuk menjamin keamanan dan keselamatan pelayaran diatur di Undang-undang 17/2008 tentang Pelayaran yang menugaskan kapal KPLP bertindak sebagai Government Ship untuk menjamin keamanan dan keselamatan pelayaran mulai dari wilayah perairan sampai dengan ZEE.
Di ZEE Indonesia memiliki hak berdaulat untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi SDA di laut dan Article 73 UNCLOS memberikan kewenangan bagi negara pantai untuk mengambil tindakan hukum bila terjadi pelanggaran hukum disitu. Tetapi, secara tegas Article 111 UNCLOS juga telah mengatur bahwa penegak hukum di ZEE adalah hanya war ship and government ship. Itulah sebabnya tugas Governemnt Ship (umumnya Coast Guard) diseluruh dunia kemudiaan bertambah yaitu untuk menertibkan dan mengamankan ekplorasi dan ekploitasi SDA.
Satgas 115 Ilegal
Sangatlah jelas, bagi kapal-kapal selain dua jenis kapal tersebut, maka tidak ada yang diijinkan untuk menangkap, menindak pelanggar hukum atau melaksanakan hot pursuit (melakukan pengejaran seketika) di ZEE, sebagai salah satu sarana yang di berikan oleh UNCLOS kepada negara pantai. Artinya, bagi kapal yang melakukan penangkapan dan penindakan diluar kedua jenis kapal tersebut di ZEE, dapat malah dianggap sebagai kapal perompak, pembajak atau teroris di laut.
Disinilah letak permasalahan atas kapal Satgas 115 yang mencapai ZEE untuk melaksanakan Perpres 115 karena kapal Satgas 115 tidak dikenal karena belum diperkenalkan ke dunia Internasional.
Argumen Kementerian Luar Negeri bahwa UNCLOS tidak mengatur kewajiban perolehan nomor International Maritime Organization (IMO) bagi kapal patrol dikarenakan kewajiban perolehan nomor IMO sebagai implementasi dari The International Convention for the Safety of Life at Sea (SOLAS) 1974, yang berlaku efektif sejak 1996,– hanya berlaku terhadap kapal penumpang berukuran 100GT + dan kapal barang/kargo berukuran 300GT +,— membawa pertanyaan kemanakah kapal Satgas 115 akan bermuara secara hukum untuk dapat di gelar hingga di ZEE ?
Inilah yang harus dijawab oleh Kementerian Luar Negeri karena jika insiden seperti ini terjadi lagi setidaknya Kementerian Luar Negeri harus bisa melindungi kapal-kapal Satgas 115 dalam payung hukum Internasional. Kapal patroli adalah kapal penegak hukum yang harus dikenal secara internasional apabila bermain di wilayah ZEE, karena ZEE bukan wilayah kedaulatan Indonesia semata tetapi juga ada hak dunia internasional disana.
Satgas 115 ini menjadi ‘’Satgas Segala Bisa’’,– tapi melupakan serta membahayakan posisi personil (di dalam Satgas) dan pimpinan TNI AL (di luar Satgas) yang terikat kepada peran serta hukum dan peraturan TNI AL (constabulary function) yang berlaku secara universal.
Dalam waktu dekat dipastikan Satgas 115 ini juga berpotensi akan clash dengan Bakamla yang akan segera ditetapkan menjadi Coast Guard. Maka, darimanakah kita harus benahi kesemuanya jika tidak dari peraturan hukumnya?
Insiden Satgas 115 di Natuna kemarin kiranya dapat menjadi cambuk utama dalam pembenahan aturan dan peraturan baik aktor ataupun alat utama sistem senjata penegak hukum laut kita dalam rangka menjadi negara poros maritim dunia yang digdaya, berpengetahuan dan cerdas di lautan dan samudera.
*Penulis adalah Presiden Indonesia Institute For Maritime Studies dan analis pertahanan