JAKARTA – Setiap warga negara memiliki hak untuk memilih pekerjaannya baik itu di dalam maupun luar negeri. Negara memiliki tugas untuk memastikan warga negara mendapatkan pelayanan dan perlindungan yang terbaik di setiap prosesnya. Hal tersebut sesuai dengan Nawa Cita khususnya butir pertama yaitu menghadirkan kembali negara untuk mengurus segenap bangsa dan memberikan rasa aman untuk seluruh warga negara.
“Bekerja di luar negeri adalah hak warga negara dan pemerintah hadir untuk melindungi hak tersebut. Tapi jangan pernah berangkat atau pulang dengan jalur ilegal, gunakan selalu jalur resmi,”ujar Menteri Ketenagakerjaan M.Hanif Dhakiri, Jum’at 7 April 2017.
Setidaknya terdapat empat penyebab utama terjadinya TKI nonprosedural. Pertama, masih kurangnya pemahaman masyarakat tentang prosedur penempatan dan perlindungan TKI. Kedua, terbatasnya akses informasi pasar kerja dalam dan luar negeri. Ketiga, maraknya praktek percaloan. Penyebab terakhir yaitu praktek migrasi tradisional.
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dalam rangka mencegah TKI nonprosedural tersebut. Salah satunya yaitu melalui Satuan Tugas Pencegahan TKI nonprosedural. Satgas yang terbentuk pada tahun 2014 ini terdiri dari unsur Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Imigrasi, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Dinas Perhubungan, Kepolisian dan BP3TKI. Tahun lalu, Satgas TKI nonprosedural berhasil menggagalkan keberangkatan TKI nonprosedural sebanyak 1.310 orang. Sedangkan tahun 2015, 1.584 orang calon TKI yang diindaksikan kuat ilegal berhasil dicegah oleh tim Satgas.
Upaya lainnya yakni dengan memperkuat sinergi kementerian/lembaga terkait di isu tersebut. Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Hukum dan HAM, Kepolisian, TNI, Kementerian Luar Neeri, Kementerian Agama, dan BNP2TKI bersama-sama bekerja mencegah terjadinya TKI nonprosedural.
Terdapat enam langkah dalam upaya mewujudkan komitmen tersebut. Langkah pertama adalah memperkuat sinergi seluruh kepentingan melalui penyusunan perjanjian kerjasama yang akan mengatur kewajiban masing-masing pemangku kepentingan. Kedua meningkatkan peran masing-masing institusi untuk sosialisasi tata cara pemberangkatan calon TKI bersama-sama di daerah masing-masing kantong TKI. Ketiga memperketat proses penerbitan paspor dan keberangkatan WNI yang terindikasi akan bekerja keluar negeri secara non prosedural.
Keempat, penegakan hukum dan pemberian sanksi kepada para pihak yang terlibat dalam proses pemberangkatan TKI nonprosedural ke luar negeri. Kelima, penguatan regulasi dalam rangka memberikan payung hukum bagi upaya pencegahan terjadinya TKI nonprosedural. Keenam kerjasama pengembangan kesisteman dan integrasi dalam rangka mendukung pertukaran data dan informasi.
Perlindungan terhadap TKI juga terus dilakukan salah satunya melalui Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) di daerah dalam upaya perbaikan tata kelola Tenaga Kerja Indonesia (TKI). LTSA bertujuan untuk memberikan kemudahan dan kepastian dalam pelayanan penempatan TKI.
Di tahun 2016 sudah terdapat 11 LTSA yang telah beroperasi. Beberapa di antaranya yaitu: Surabaya, Gianyar, Mataram, Entikong, Sumba Barat Daya, NTT, Kabupaten Kupang, Tanjung Pinang, dan Kendari. Tahun 2017 direncanakan akan kembali dibangun LTSA di 10 lokasi kantong TKI.
Kementerian Ketenagakerjaan juga telah menjatuhkan sanksi kepada perusahaan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) yang terbukti melanggar aturan. Sebanyak 46 PPTKIS dicabut izin operasionalnya dan 199 PPTKIS dijatuhkan sanksi skorsing. Dari 46 PPTKIS yang izin operasionalnya dicabut, 14 diantaranya karena mengirim tenaga kerja Indonesia (TKI) tidak sesuai ketentuan (unprocedural), tiga PPTKIS dinyatakan tidak memenuhi syarat perpanjangan, dua PPTKIS terlibat tindak pidana perdagangan orang (TPPO), 23 tidak melakukan perpanjangan izin, serta empat PPTKIS mengundurkan diri.
Direktur Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri Kemnaker Soes Hindarno menjelaskan, pencabutan tersebut bagian dari hasil evaluasi dan pengawasan rutin yang dilakukan Kemnaker. “Baik itu pengawasan administratif, inspeksi lapangan terkait sarana dan prasarana penampungan dan pelatihan, maupun investigasi atas pelanggaran,” katanya.
Desmigratif Dari Desa
Selain melakukan upaya pencegahan, pemerintah Indonesia juga terus berupaya untuk meningkatkan perlindungan, produktivitas, dan kesejahteraan masyarakat yang menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Salah satunya adalah Desa Migran Produktif (Desmigratif) yang ditujukan bagi masyarakat di desa-desa kantong TKI.
Menurut Menaker, perlindungan TKI harus dilakukan sejak pra, hingga kembali ke daerah asal. TKI harus merasakan pelayanan yang aman, cepat, mudah dan berbiaya murah. Sasaran dari program Desmigratif ini yaitu TKI ke luar negeri maupun, purna TKI, dan keluarga TKI.
Ada 4 kegiatan utama dalam program Desmigratif. Pertama, pusat layanan migrasi. Melalui pusat layanan migrasi, masyarakat atau warga desa yang hendak bekerja ke luar negeri dapat memperoleh informasi dan pelayanan di balai desa setempat. Informasi yang didapatkan antara lain informasi pasar kerja, bimbingan kerja, informasi mengenai bekerja ke luar negeri dan lain-lain termasuk pengurusan dokumen awal.
“Melalui pusat layanan migrasi di desa kita percaya bahwa pencegahan TKI nonprosedural bisa di tekan karena selama ini calo-calo banyak beredar di desa dan calo-calo ini atau sponsor juga merekrut warga desa untuk kepentingan kerja di luar negeri,” ujar Menaker.
Kedua, program usaha produktif. Kegiatan ini yang dimaksudkan untuk membantu pasangan dari TKI yang bekerja di luar negeri agar mereka ini memiliki keterampilan dan kemauan untuk membangun usaha-usaha produktif. Dengan menggandeng beberapa pihak, program ini akan disesuaikan dengan potensi daerah setempat.
Ketiga, community parenting. Dengan kegiatan ini anak-anak TKI diasuh bersama-sama oleh masyarakat dalam suatu pusat belajar-mengajar. Terakhir adalah koperasi produktif. Program ini bertujuan sebagai penguatan usaha produktif untuk jangka panjang dalam bentuk koperasi usaha.
Kepada Bergelora.com dilaporkan, di tahun 2017 akan ada 100 desa yang akan menjadi Desmigratif di 50 Kabupaten/Kota dan khusus di wilayah Nusa Tenggara Timur akan dibentuk 20 Desmigratif dari 10 Kabupaten/Kota Kantong TKI. Beberapa kabupaten tersebut antara lain yang berada di provinsi Sumatera Utara, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. (Calvin G. Eben-Haezer)