Senin, 13 Januari 2025

Menolak Pendidikan Dokter Layanan Primer

Oleh: Dr. FX. Wikan Indrarto, Sp.A*

Pendidikan dokter di Indonesia, sudah dimulai sejak jaman STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) di Jakarta, pada 2 Januari 1849 berdasarkan Surat Keputusan Gubernemen No. 22, bertempat di Rumah Sakit Militer (sekarang RSPAD Gatot Subroto) di kawasan Weltevreden, Batavia (sekarang Gambir dan sekitarnya). Ini adalah pendidikan dokter tertua di ASEAN. Namun demikian, dokter lulusan Indonesia saat ini, juga fakultas kedokterannya terasa tertinggal kelas dibandingkan negara tetangga. Apa yang sebaiknya kita perbaiki?

Pada acara “Sosialisai Undang Undang Pendidikan Dokter No 20 Tahun 2013”, yang diselenggarakan pada hari Jumat, 12 Agustus 2016, di Kantor IDI Wilayah DIY, telah dibahas banyak masalah yang masih ada. Acara yang dihadiri oleh MY. Esti Wijayati (Komisi X FPDI-P DPR RI), Prof. dr. Ali Gufron Mukti, MSc., PhD. (Kemenristekdikti), Prof. dr. Abdul Razak Thaha, SpGK. dan Prof. dr. Purnawan Junadi, MPH., Ph.D. (Dewan Pakar PB IDI), IDI Cabang, ISMKI dan BEM FK se DIY,– mendorong dilakukannya amandemen Undang Undang Pendidikan Dokter No 20 Tahun 2013 (UU Dikdok).

Hal ini disebabkan karena pembenahan tentang pendidikan dokter harus berawal dari perbaikan atas UU Dikdok, yang menjadi ranah dari Badan Legislatif DPR, sebagaimana disampaikan oleh Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas, SH, MH. DPR sebagai perwakilan seluruh rakyat lndonesia, selayaknya mendapatkan masukan dari semua pihak, untuk merancang dokter lndonesia pada 5 sampai 20 tahun ke depan.

Derajad kesehatan warga masyarakat  Indonesia di masa depan, sangat ditentukan oleh sistem pendidikan kedokteran dan ditopang dengan sistem pelayanan kesehatan yang baik. Saat ini memang sudah ada beberapa anggota Komisi X DPR Rl telah memberikan dukungan terhadap usulan ini, tetapi masih diperlukan upaya untuk meyakinkan lebih banyak lagi anggota dewan, mengenai pentingnya perbaikan ini.

Pendidikan dokter saat ini sangat mahal, baik untuk dokter umum apalagi dokter spesialis. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir uang pangkal atau uang gedung bisa mencapai ratusan juta rupiah. Proses pendidikan kedokteran yang sangat berat dengan kualitas Fakultas Kedokteran (FK) yang bermacam-macam, termasuk juga masih banyaknya yang terakreditasi C, membawa implikasi kepada lulusan dokter dengan kualitas berbeda.

Proses ujian kompetensi dokter (UKDI dan UKMPPD) kadang juga membutuhkan waktu yang lama, ditambah dengan program internship yang harus dijalankan wajib selama 1 tahun. Apalagi kalau kemudian dilanjutkan dengan pendidikan tambahan, untuk menjadi Dokter Layanan Primer (DLP) dan dokter spesialis, tentu akan menambah lama dan mahal sekali.

Munculnya UU Dikdok pada awalnya diharapkan dapat mereduksi problematika pendidikan dokter, tetapi kenyataanya justru memunculkan permasalahan baru yang besar, bahkan dapat memicu “konflik horizontal” di tingkat pelayanan primer.

Munculnya satu kelompok dokter baru, yaitu Dokter Layanan Primer (DLP) yang pada UU Dikdok dipoles dengan istilah setara spesialis, dirancang bekerja di layanan kesehatan primer bersama dokter umum dan dokter keluarga. Hal ini akan memicu terjadinya tumpang tindih layanan kesehatan, pemborosan anggaran dan akhirnya dapat mengganggu proses peningkatan mutu layanan kesehatan masyarakat Indonesia.

Masalah dalam pendidikan dokter di Indonesia, selain persoalan regulasi, DLP, insternship dan pendidikan dokter spesialis, juga adanya keputusan Menteri Ristek Dikti Rl tahun 2016 yang memberikan ijin kepada 8 FK baru. Padahal 5 di antaranya belum direkomendasikan oleh Tim Supervisi bentukan Kementerian Ristek Dikti, bahkan 1 diantaranya belum pernah divisitasi sama sekali. Hal ini tentu menambah persoalan baru, karena akan mempengaruhi kualitas lulusan dokter. lntervensi politik dan mungkin pengaruh kapitalisasi pada pendidikan dokter, telah menimbulkan kekhawatiran mendalam bagi lDl (lkatan Dokter lndonesia) selaku organisasi profesi.

IDI mendukung penuh usaha pemerintah untuk perbaikan dokter di layanan primer, tetapi MENOLAK pendidikan DLP. Selain itu, juga meminta Pemerintah memfokuskan anggaran negara pada perbaikan pendidikan dokter yang pro rakyat, dengan alokasi dana yang dirancang untuk program DLP, dialihkan untuk perbaikan FK yang masih terakreditasi C. Dorong semua FK menjadi A, agar mampu bersaing dengan FK di negara tetangga.

Anggaran juga dapat berbentuk beasiswa bagi putra daerah agar nantinya dapat menjadi dokter yang kembali dan membangun daerahnya di bidang kesehatan, dan perbaikan kurikulum pendidikan dokter yang dapat meluluskan dokter dengan standar kerja seperti yang dibutuhkan di layanan primer. Anggaran juga dapat dialokasikan untuk pendidikan dokter di layanan primer, dalam program Pendidikan dan Pelatihan Kedokteran Berkelanjutan (PPKB) terstruktur, agar peningkatan kompetensi dapat tercapai dan semua dokter di penjuru tanah air, dapat mengikutinya secara terjangkau. Anggaran dapat juga dialokasikan pada program pendidikan dokter spesilias, agar para residen atau dokter umum yang belajar menjadi dokter spesialis, maupun supervisor atau dokter spesialis sebagai pendidik klinis, dapat berjalan dengan lebih baik, lebih terjangkau dan lebih bermutu.

Perbaikan atas berbagai masalah di atas, tidak diatur di dalam UU Dikdok. Wajar saja kalau amandemen UU Dikdok layak dilakukan, agar terjadi revisi menyeluruh dalam permasalah pendidikan dokter, untuk menghasilkan perbaikan total dan mencetak dokter Indonesia yang unggul. Sudahkah Anda terlibat membantu?

*Penulis adalah dokter spesialis anak, Alumnus S-3 Universitas Gadjahmada, Yogyakarta, Ketua Ikatan Dokter Indonesia, Cabang Kota Yogyakarta.

 

 

 

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,110PelangganBerlangganan

Terbaru