Rabu, 11 Desember 2024

Menuntut Sikap Keindonesiaan Bupati Bantul

Oleh: Hendardi*

Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, sedang berada dalam sorotan. Predikat DI Yogyakarta sebagai daerah yang Istimewa, toleran, terdidik, berbudaya, dan miniatur Indonesia sedang dalam pertaruhan. Pasalnya, masyarakat Kecamatan Pajangan dalam beberapa hari ini mendesak Bupati Bantul, Suharsono, untuk mengganti Camat baru Pajangan, Yulius Suharta, dengan alasan sang Camat beragama Katolik.

 

Sebagaimana diketahui, setelah melalui mekanisme serta prosedur legal dan administratif yang seharusnya hingga terpilih, Suharta kemudian dilantik sebagai Camat Pajangan oleh Bupati Bantul, di Pendopo Kabupaten Bantul, pada 30 Desember 2016, dalam sebuah prosesi yang terbuka untuk publik. Semua proses setelahnya berlangsung normal, tidak ada penolakan. Seminggu setelah pelantikan, Suharta mengikuti acara serah terima jabatan dari camat lama pada tanggal 6 Januari yang lalu.

Namun, kemudian terjadi penolakan oleh sekelompok warga setelah serah terima jabatan tersebut. Ada indikasi politisasi di balik penolakan tersebut, dengan, paling tidak, dua penjelasan berikut. Pertama, penolakan oleh warga sedari awal tidak berlangsung melalui jalur eksekutif (pemerintah atau Bupati) Bantul sebagai pengambil kebijakan pengangkatan camat. Jalur yang ditempuh oleh warga langsung melalui jalur politik di DPRD yang seluruh anggotanya adalah elit politik, kader, dan anggota partai politik di tingkat lokal. Kedua, desakan penolakan kepada Bupati tidak murni oleh warga, karena yang akhirnya memberikan tekanan politik vis a vis Bupati Suharsono pada hari Senin tanggal 9 Januari 2017 adalah kekuatan politik di DPRD Bantul yang direpresentasikan oleh perwakilan Fraksi PKS, PPP, Partai Golkar, PKB, PAN, dan Partai Gerindra.

Sangat disayangkan, ada kecenderungan Bupati Suharsono akan tunduk pada kehendak dan kepentingan politik tersebut. Kepada wartawan lokal, Bupati membuka kemungkinan untuk menggeser Suharta dari posisinya sebagai Camat Pajangan ke kecamatan lain yang jumlah warga non-muslimnya banyak.

Jika benar langkah tunduk pada aktor-aktor politik dan kelompok-kelompok eksklusif dan intoleran itu diambil oleh Bupati Suharsono, hal itu akan menjadi preseden politik yang buruk bagi keindonesiaan kita. Selain itu, situasi tersebut akan mencoreng citra DI Yogyakarta sebagai daerah yang Istimewa, toleran, terdidik, berbudaya, dan miniatur Indonesia. Lebih jauh lagi, hal itu akan memberikan legitimasi bagi kelompok-kelompok di Yogyakarta dan daerah lain di Indonesia untuk memaksakan kehendaknya tentang siapa yang diinginkan dan siapa yang tidak diinginkan dalam ruang-ruang publik, berdasarkan pertimbangan latar belakang primordial serta kepentingan politik sempit dan jangka pendek. Hal itu akan menjadi kemunduran serius bagi kemasyarakatan dan kebangsaan kita sebagai warga negara Indonesia yang Pancasilais dan bineka, dimana negara seharusnya adalah “negara semua untuk semua”.   

Untuk mencegah situasi negatif tersebut, SETARA Institute mendesak Bupati Suharsono untuk mengambil sikap keindonesiaan sebagai penyelenggara negara di tingkat lokal. Kita harus mengingatkan Bupati Suharsono bahwa mandat politik yang sedang dia emban sebagai Bupati berasal dari rakyat dengan beragam latar belakang primordial serta aneka lapisan politik dan sosio-kultural. Dengan tantangan riil yang sedang dihadapi berkaitan dengan penolakan Camat Yulius Suharta oleh sekelompok orang dan segelintir politisi parpol, Bupati harus berani menjadi role model sebagai pemimpin yang tegas dan berani menegakkan marwah keindonesiaan di tingkat lokal.

Untuk turut menciptakan teladan keindonesiaan yang baik, SETARA Institute menuntut beberapa stakeholders berikut untuk mengambil sikap dan tindakan.

Pertama, Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia harus mengingatkan Bupati Suharsono untuk mengambil sikap dengan setia pada Indonesia dan melaksanakan tugas sebagai Bupati berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, sesuai dengan sumpah jabatannya.

Kedua, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai “atasan administratif langsung” Bupati Bantul dan sebagai pemimpin politik dan budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta, hendaknya memberikan arahan dan desakan kepada Bupati Suharsono agar ikut meneguhkan keindonesian dan ikut menguatkan nilai dan imperatif Jogja sebagai Yogyakarta sebagai daerah yang Istimewa, toleran, terdidik, berbudaya, dan miniatur Indonesia.

Ketiga, para politisi hendaknya mengedepankan kenegarawanan (statesmanship), politik kebangsaan, dan kepentingan bersama masyarakat Indonesia sebagai bangsa dengan menanggalkan kepentingan politik sempit dan jangka pendek serta meninggalkan politisasi identitas keagamaan yang belakangan cenderung menguat.

Keempat, masyarakat sipil di Daerah Istimewa Yogyakarta hendaknya tidak menjadi silent majority dengan cara mengambil sikap,terlibat langsung dalam upaya membangun keindonesiaan di DI Yogyakarta secara lebih otentik, dan melestarikan peran-peran historis serta kiprah aktual DI Yogyakarta bagi Indonesia, terutama secara ideologis dan politis dengan membangun tatanan masyarakat yang inklusif, bineka, dan toleran.

*Penulis adalah Ketua Setara Institute

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,110PelangganBerlangganan

Terbaru