BANDAR LAMPUNG- Siswa siswi Gadingrejo Pringsewu Lampung ini sejatinya libur dari aktifitas di sekolah pekan ini. Namun, siang itu mereka berkumpul di ruang aula audio visual untuk memainkan nada-nada dari alat musik gamolan, berpadu dengan alat musik tradisi dari nusantara, drum juga petikan guitar klasik.
“Indonesia tanah air beta
Pusaka abadi nan jaya
Indonesia sejak dulu kala
Tetap di puja-puja bangsa
Reff :
Di sana tempat lahir beta
Dibuai dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua
Tempat akhir menutup mata,”
Lagu Indonesia Pusaka karya Ismail Marzuki, mengalun syahdu dinyanyikan oleh siswi SMA Gadingrejo. Siswa dan siswi siang itu tampil khusus untuk menyambut tamu peneliti dari Australia, Professor Margaret J Kartomi dan Dr Karen yang keduanya tengah menyelesaikan draft buku soal seni budaya Lampung.
Aris Wiranto, Kepala Sekolah SMAN Gadingrejo menyampaikan melalui seni, ibu dan bapak guru memberikan bekal non akademik untuk murid di sekolah menengah yang terbanyak siswanya di Pringsewu.
“SMAN Gadingrejo jaraknya 30 kilometer dari Bandarlampung. Inilah cara kita agar kesenian Lampung bisa menyatu dalam alam pikir dan jiwa anak didik, anak-anak Lampung umumnya,” kata Aris Wiranto.
Ditambahkan telah ada komitmen, agar sekolah menengah bisa mengembangkan bakat siswa bukan soal prestasi akademik. Melalui kegiatan ekstra kurikuler diharapkan bisa mengasah kemampuan seni, di luar pembelajaran guna menguatkan sisi akademiknya.
“Di otak ibu guru kita tugasnya adalah mengisi isi otak kanan siswa dengan ilmu pengetahuan, sementara sisi otak kiri diisi lewat aktifitas seni ekstra kurikuler bahkan mereka suka hobi, kemampuan seni adalah bekal non akademik yang tidak boleh dilupakan,” kata Aris Wiranto.
Di SMA Negeri Gadingrejo, Pringsewu Lampung Timur guna mengisi kegiatan di luar jam belajar, siswa bisa memilih ekstra kurikuler sesuai minat. Ada kegiatan seni Jawa, seni tradisional Lampung, karawitan, group band dan lain sebagainya.
Professor Margaret J Kartomi menjelaskan dirinya mengapresiasi ekspresi seni gamolan yang ditampilkan secara khusus untuk menyambut kedatangan dirinya.
“Saya memilih ke SMAN Gadingrejo dan senang bisa melihat dan mendengarkan permainan gamolan juga lagu dengan iringan instrumen gamolan, meski di desa sekolah ini spesial, ” kata Margaret.
Dijelaskan dalam proses menulis buku, dirinya sengaja melakukan serangkaian diskusi dan meminta masukan terkait dengan karya publikasi hasil penelitian soal seni budaya di Lampung.
Di awal melakukan penelitian dirinya mendapatkan pengalaman mendengarkan musik gamolan yang dimainkan oleh warga di wilayah kerajaan Kesultanan Skala Brak terletak di lereng Gunung Pesagi, Kab. Lampung Barat.
“Waktu itu saya mendengarkan alunan musik suara gamolan. Tadi ada David dengan alat musik Sasando, bagus sekali bermain musiknya. Kini saya tengah cek beberapa hal, karena penelitian tentang seni pertunjukan segera terbit,” kata Margaret yang hadir bersama dengan Dr Karen, peneliti musik dan seni juga seperti dirinya.
Dosen Universitas Monash di Melbourne Australia ini mengakui dirinya terpikat dengan gamolan kala berkunjung ke desa di Lampung Barat. Ada yang memainkan gamolan di desa dan membuatnya suka atas satu ekspresi seni pertunjukan di Lampung ini.
“Ada Hasyim Khan, yang menulis juga soal Gamolan. Alat musik khas Lampung ini punya fungsi juga dalam peristiwa adat,” kata Margaret.
Hasyim Khan, dosen pengajar di Universitas Negeri Lampung menjelaskan bahwa jika dilacak musik
gamolan itu sakral dan dihargai. Alat musik dengan alat bambu ini menghasilkan bunyi khas.
“Gamolan itu fungsinya untuk memanggil, gumul atau gamol yang bermakna berkumpul,” kata Hasyim Khan.
Melalui musik, lantunan nada yang ada alat musik ini mengiringi juga tarian, lagu untuk keperluan adat hingga fungsi kontemporer bersanding dengan alat musik dari berbagai daerah lain, untuk menciptakan harmoni nada.
“Bunyi dan nada yang dihasilkan punya nilai estetis dalam fungsi adat, ada hal dan nilai sakral di dalam nada-nadanya,” kata Hasyim Khan.
Hasyim Khan menyatakan sebagai dosen seni, di Universitas Lampung dirinya menawarkan kepada seluruh siswa sekolah menengah yang tertarik melanjutkan pendidikan tinggi, agar mau mendaftarkan ke program studi seni yang ada.
Ke depan, bukanlah sebuah mimpi jika Lampung bisa berbangga memiliki ensamble orkestra atau gamolan orkestra untuk tampil mewakili Lampung di tingkat nasional bahkan level dunia.
“Melalui seni, kita juga bisa hidupkan lagi nilai dan falsafah hidup rakyat Lampung. Terutama dengan kaitan prinsip hidup, piil pesenggiri dengan empat prinsipnya. Sikap harga diri orang Lampung seperti juluk adek, nemui nyimah, sakai sambaiyan, nengah nyappur ada musyawarah, ada kegotong royongan,” kata Hasyim Khan.
Melalui musik, diyakini bisa ada titik harmoni dengan adanya banyak marga, suku, kelompok dan asal usul warga bisa bersama bersatu dengan menjadi orang Lampung.
“Kita juga berikan kesempatan penampilan dan kelas khusus seni di kampus Universitas Lampung. Mengajak semua saja, menyimak gamolan, berkumpul untuk menjadi satu, meski berbeda asal, tapi bisa bersatu dalam bingkai kebangsaan,” kata Hasyim Khan.
Harapan Baru
Sementara itu, Kepad Bergelora.com dilaporkan, harapan baru bagi Lampung mulai mekar. Chusnunia, Bupati Lampung Timur yang berpasangam dengan Arinal Djunaidi, calon gubernur terpilih pada Pilgub Lampung Rabu, 27 Juni 2018 menyatakan melalui seni, dirinya merangkum beragam ekspresi budaya dalam rangkaian festival yang sudah terprogram di Lampung Timur.
“Ada banyak potensi kreatif dari anak muda di Lampung yang bisa tampil mewakili Lampung agar lebih dikenal. Ada banyak budaya, ekspresi seni budaya yang dimiliki Lampung ini layak dilihat,” kata Chusnunia.
Arinal Djunaidi dalam diskusi bersama dengan Prof Margaret J Kartomi dan perwakilan Lampung Sai, MPAL juga tokoh masyarakat di rumah kediaman Way Halim memiliki keinginan agar ke depan, kesenian adalah alat pemerintah daerah bersama rakyat agar bisa maju dan berbudaya.
“Kita ingin agar meski berbeda-beda agama, suku atau asal usulnya, semua bisa bersatu bawa Lampung menjadi terpandang di dunia,” harapan Arinal Djunaidi. (Much Fatchurochman)