JAKARTA- Pernyataan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi yang mengatakan menjadi menjadi tranmigran lebih terhormat daripada menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang keluar negeri TKI, dianggap menghina TKI. Mendes Marwan diminta ingat akan besaran remitansi TKI yang menggerakkan pembangunan desa-desa selama ini. Hal ini ditegaskan oleh policy analyst Migran Care, Wahyu Susilo kepada Bergelora.com di Jakarta, Kamis (10/9).
“Tidakkan dia ingat remitansi TKI itu yang menggerakkan desa. Tahun 2014 besarnya 8,1 milyard US Dollar setara 100 trilyun rupiah lebih. Itu mayoritas uang TKI. Penerimaan remitansi terbesar dari Malaysia, Saudi, Hongkong, Taiwan dan Korea,” ujarnya.
Menurutnya, masyarakat Indonesia memilih menjadi TKI karena selisih upah yang besar sementara kalau menjadi transmigran harus berhadapan dengan penolakan lokal dan produk komoditinya belum tentu laku
“Kalo nggak hati-hati transmigrasi bisa kepleset jadi jawanisasi. Inget gak dia (Mendes Marwan-red) dengan kasus konflik transmigran di Aceh dan Papua,” kata Wahyu.
Pemindahan transmigran dari Jawa ke kawasan konflik sangat sensitif dengan isu anti jawa, Ini terjadi karena pemerintah tidak memperhatikan aspek kultural masyarakat.
“Transmigrasi harus benar-bener memperhatikan aspek kultural dan tidak sekedar mindahin orang,” katanya.
Ia mengatakan bahwa pada jaman Belanda dan jaman pemerintahan Soekarno transmigrasi berhasil, namun program trnasmigrasi gagal semenjak jaman pemerintahan Soeharto sampai sekarang.
“Kegagalan transmigrasi karena ideologi pak Harto, transmigrasi hanya sekedar mindahin penduduk Jawa ke luar jawa. Jaman sebelumnya didorong dengan kepentingan pemerataan penduduk,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan pada jaman Belanda dan jaman Soekarno ada sinergi antara transmigrasi dengan produksi, pemasaran komoditi pertanian dan perkebunan di area transmigrasi.
“Jaman Soeharto, transmigrasi cuman buang penduduk agar ledakan kemiskinan tidak terakumulasi di Jawa yang punya resiko politik tinggi. Ideologinya (Mendes-red) Marwan kayaknya seperti itu,” ujarnya.
Menurutnya, perspektif membangun dari pinggiran seperti yang ada di Nawacita, salah diterjemahkan oleh Mendes Marwan yang hanya melihat desa dan penduduknya tidak sebagai komunitas yang multidimensional.
“Desa hanya dipandang sebagai wilayah ekonomi dan penduduknya sebagai mesin produksi. Menurut saya program transmigrasi harus dihentikan,” ujarnya.
Target Remiten
Hal senada disampaikan oleh ahli hukum Nursyahbani Katjasungkana. Menurutnya pernyataan Mendes Marwan yang bernada menghina TKI itu tidak melihat kenyataan bahwa selama ini pemerintah belum bisa menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya.
“Sementera itu, pemerintah mentargetkan di APBN puluhan juta dollar didapat dari remiten TKI. Itu maksud pemerintah apa?” ujarnya terpisah kepada Bergelora.com.
Ia menjelaskan masyarakt lebih memilih menjadi TKI karena, tingkat pendidikan yang tidak memenuhi syarat pasar kerja dalam negeri dan tidak ada lapangan pekerjaan yang tersedia baik di desa maupun di kota.
“Kalau yang sudah berpendidiklan sedikitnya SLTP/A, enggan kerja di bidang pertanian. Apalagi tak menjanjikan juga, lahan kecil atau sama sekali tak punya lahan karena landreform nggak jalan. Jadi transmigran pun dengan lahan dua hektar tak menarik kalangan muda. Sementara itu jadi TKI bisa punya gaji tinggi sperti di Hongkong dan Korea,” jelasnya.
Sebelumnya, Menteri Marwan dalam pidato sambutannya pada pembukaan Transmigrasi Expo 2015 di Jakarta, Selasa (8/9) mengatakan bahwa menjadi transmigran dinilai lebih terhormat daripada sekedar menjadi TKI yang sampai saat ini masih dirundung banyak masalah.
“Proses pengiriman TKI baik yang legal maupun yang illegal nasibnya semakin hari semakin tidak membahagiakan. Oleh karena itu saya serukan sekali lagi bahwa transmigrasi adalah salah satu solusi untuk memberikan jalan keluar bagi pengangguran di Indonesia yang kita cintai,” tandasnya. (Web Warouw)