Oleh: Dr. Kurtubi
TAK ayal lagi bahwa Kelangkaan minyak goreng yang terjadi belakangan ini antara lain merupakan dampak dari kebijakan untuk “MENOLONG” Sektor Migas Nasional. Kita ketahui bahwa telah terjadi penurunan produksi minyak yg parah dan sistemik selama bertahun-tahun yang mengakibatkan terjadinya DEFISIT Neraca Perdagangan Migas yang juga parah dan sistemik, JAUH sebelum Pemerintahan Presiden Jokowi.
Kebijakan CPO yang diarahkan menjadi pengganti solar sejalan juga dengan upaya untuk mengurangi emisi karbon, telah dapat sedikit nengurangi impor BBM.
Namun disisi lain, Kebijakan Energi berbasis Nabati, memproduksikan biosolar B30 dan nantinya hingga B100, menimbulkan konflik dengan fungsi CPO yang sejak jaman dulu dipakai sebagai bahan pangan.
Minyak goreng dibutuhkan oleh semua lapisan masyarakat, tiba-tiba belakangan ini harganya melambung.
Video warga berebutan minyak goreng disebuah supermarket beredar di media sosial:
Wajar pemerintah mengintervensi pasar turun tangan membantu rakyat dengan operasi pasar untuk menurunkan harga minyak goreng. Mendag mensupply minyak gorang dengan harga Rp14000/liter di retail-retail modern yang diserbu oleh masyarakat terutama ibu-ibu rumah tangga. Karena perbedaan harga yang cukup significant dengan minyak goreng yang ada di pasar-pasar tradisional yang menjual minyak goreng dengan harga yang tidak diintervensi pemerintah yaitu sekitar Rp20.000/liter. Harga ini dirasakan sangat mahal oleh sebagian masyarakat
Pesan atau Pelajaran yang bisa diambil dari kasus kelangkaan minyak goreng ini adalah,–seyogyanya kebijakan menjadikan CPO/minyak goreng menjadi bahan baku B30 – B100 yang lebih ramah lingkungan dibanding minyak solar yang berasal dari fossil, seyogyanya bisa menjadi pendorong agar produksi minyak bisa ditingkatkan.
Sebaiknya tidak menghilangkan dan mengabaikan upaya untuk menaikkan produksi migas nasional dengan cara yang sangat gampang, sangat murah, sangat effisien dan sangat konstitusional.
Caranya yaitu,– PRESIDEN RI menerbitkan PERPPU Mencabut / Mentidakberlakukan lagi UU Migas No.22/2001 yang telah terbukti menjadi PENYEBAB anjloknya produksi minyak nasional.
Langkah ini sangat konstitusional karena kondisi Sektor Migas Nasional sudah sangat DARUROT. Terlebih saat ini, disamping produksi minyak yang sudah sangat rendah, hanya sekitar 650.000 bph dari jumlah kebutuhan sekitar 1.5 juta bph.
Juga harga minyak dunia saat ini yang sudah sangat tinggi, naik dari sekitar US$70/bbls pada Agustus 2021 menjadi sekitar US$90/bbls, bahkan diperkirakan akan menembus US$100/bbls apabila isu invasi Russia ke Ukraina belum diperoleh solusi final. Selain karena keengganan negara-negara eksportir minyak yang tergabung dalam OPEC+ untuk menambah supply minyak ditengah kecenderungan demand minyak yang terus naik akibat semakin dilonggarkannya pembatasan perjalanan dan transportasi.
Langkah Presiden mengeluarkan PERPPU tepat karena tidak ada jalan lain yang sudah terbukti efektif menaikkan produksi migas kecuali dengan jalan menyederhanakan sistem dan harus sesuai dengan Konstiusi sehingga ada kepastian hukum dlm jangka panjang.
Mencabut/ Mentidakberlakukan UU terkait Pertambangan dengan menggunakan PERPPU, sudah pernah dilakukan oleh Pemerintahan PM Juanda pada tahun 1960.
Dengan dikeluarkannya UU No.44/PRP/1960 maka UU Pertambangan Jaman Kolonial (Indische Mijnwet 1890) di Sektor Migas tidak berlaku lagi. Diperkuat oleh UU Pertamina No.8/1971. Pengelolaan Sekror Migas diserahkan kepada Perusahaan Negara yang dibentuk dengan UU.
Tata kelola yang simpel sesuai dengan Pasal 33 UUD45Â pertama,– semua perijinan yan dibutuhkan oleh Investor diurus/dihandle oleh Pertamina sebagai penanda tangan Kontrak Bagi Hasil dengan Investor.
Kedua, investor DIJAMIN memperoleh Keuntungan dengan mengembalikan semua biaya Explorasi dan Produksi yang sudah dikeluarkan
Ketiga, investor dijamin memperoleh bagian Keuntungan Bersih sesuai porsi Kontrak Bagi Hasil sebesar 35%
Keempat, Negara sebagai pemilik cadangan/asset migas yang ada diperut bumi sesuai pasal 33 UUD 45 adalah harus dikuasai dan dimilik oleh negara dan dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Negara wajib memperoleh bagian yang lebih besar yaitu 65%, dari keuntungan bersih (setelah cost recovery) yang diperoleh Investor/ Perusahaan Migas besarnya 35%
Kelima, karena usaha hulu migas beresiko tinggi dan padat modal, maka Investor tidak dibebani pajak dan pungutan sebelum berproduksi. Sehingga di Sektor Migas Berdasarkan UU No.8/1971 berlaku prinsip fiskal LEX SPESIALIS
Fakta statistik membuktikan bahwa sistem pengelolaan migas yang simpel sesuai Konstitusi ini telah pernah BERHASIL. Pertama, investor/Perusahaan migas raksasa dunia, the Seven Sisters dan perusahaan migas independen international berlomba-lomba datang ke Indonesia, Berkontrak Bagi Hasil “B2B” dengan PERTAMINA.
Kedua, kegiatan eksplorasi dan produksi melejit. Produksi minyak mencapai 1.7 juta bph.. Indonesia menjadi Anggota OPEC. Selain menjadi eksportir LNG Terbesar didunia
Ketiga, enerimaan devisa dan APBN bertahun-tahun sekitar tahun 1970an – 1990an didominasi oleh sektor migas.
Penulis, Dr Kurtubi adalah pakar Energi, anggota DPR-RI Periode 2014 – 2019. Partai Nasdem Dapil NTB. Penulis adalah alumnus Colorado School of Mines, Amerika Serikat dan Ecole Nationale Superieure du Peterole et des Moteurs – IFP, Perancis juga Universitas Indonesia