Catatan ke-4 dalam Roadshow Islam Nusantara (IN) ke Eropa bersama Ki Ageng Ganjur menyaksikan bagaimana negara-negara sekuler di Eropa juga memilik sistim yang islami. Bergelora.com merasa perlu memuat tulisan budayawan Gus Durian, Al-Zastrouw di bawah ini. (Redaksi)
Oleh: Al-Zastrouw
HARI Kamis kemarin kami memiliki waktu luang setelah kemarin mengunjungi jamaah yang ada di Amsterdam. Crew kami menggunakan waktu luang ini untuk kordinasi tehnis dengan teman-teman PCI NU Belgia kerena hari ini kami berangkat ke sana untuk pentas di sana. Sebagian lagi mencari peralatan yang tidak disediakan oleh panitia. Alhamdulillah berkat kegigihan mbak Sarah sebagai Show Manager dan kesabaran mas kyai Fikri dalam mengusahakan semua kebutuhan, akhirnya semua persoalan dapat teratasi.
Setelah mempersiapkan peralatan dan kordinasi, para anggota rombongan memiliki waktu untuk jalan-jalan di kota Den Haag. Mereka bebas menentukan agenda sendiri. Ada yang dijemput teman dan saudara yang tinggal di Belanda kemudian diajak jalan-jalan dan mampir ke rumah mereka. Ada yang bareng-bareng mengunjungi mall dan tenpat monumental sambil melihat suasana kota Den Haag yang tenang dan tentram.
Suasana kota Den Haag memang berbeda sama sekali dengan Amasterdam dan Rotterdam yg menjadi kota bisnis dan industri. Sebagai ibu kota negara, suasana kota Den Haag lebih tenang, tidak banyak orang lalu lalang dan berkerumun seperti di Amsterdam maupun Rotterdam. Para pekerja lebih didominasi oleh para pejabat negara, pegawai kantor dan staff pemerintahan maupun lembaga Internsional yang ada di Den Haag. Selebihnya para karyawan semisal penjaga toko, guru dan sejenisnya.
Sebagai pusat parlemen kerajaan di Den Haag terdapat kantor pusat pemerintahan, gedung parlemen, serta pengandilan tinggi (supreme court). Di sini juga ada pusat Badan Peradilan PBB (International Court of Justice), berada di Vredespaleus, sebuah bangunan gedung administrasi hukum ibternasional yang terletak di Carnegieplein.
Selain menjadi kantor pusat peradilan PBB dan arbritase Internasional di gedung ini juga terdapat kampus Hague Academy of International Law dan perpustakaan Peace Palace Library.
Gedung yang dibangun tahun 1913 dengan arsitektur neo-renaissance ini sangat artistik dan unik. Pada tahun 2014 gedung ini mendapat penghargaan European Heritage Label. Gedung ini terbuka untuk umum sehingga layak dikunjungi sebagai obyek wisata.
Seperti halnya di Amsterdam dan kota-kota lain di Belanda, di Den Haag juga banyak museum yang jadi obyek wisata, misalnya Mauritshuis (Maurice House), Museum Panorama Mesdaq yang mengkoleksi lukisan panorama Hendrik William Mesdaq dan Gemeente Museum. Semua museum ini mengkoleksi seni lukis para pelukis Belanda. Yang hobi mobil bisa mengunjungi museum mobil Louwman. Di museum ini menyimpan koleksi berbagai mobil antik. Sekain museum beberapa anggota Ganjur juga mengunjungi Madurodam, taman miniatur Belanda, sejenis Taman Mini Indonesia Indah. Taman ini terletak di distrik Scheveningen, Den Haag.
Semua obyek wisata ini tertata dan terpelihara dengan baik. Suasana nyaman dan asri, tak ada sampah berserakan. Saya berpikir inilah penerapan syariat Islam yang nyata dalam menjaga lingkungan. Di sini tak ada tulisan “Annadhafatu minal iman” tapi suasana lingkungan benar-benar bisa bersih dan rapi. Di sini juga tak ada kutipan ayat “wal tandhur nafsun ma qaddamat lighad” (Perhatikan masa depanmu untuk hari esokmu, QS. Al-Hasyr; 18), tetapi kesadaran menjaga sejarah sangat tinggi.
Malam hari selepas jalan-jalan kami bertemu dengan beberapa orang Indonesia yang berprofesi sebagai pekerja kasar; kuli bangunan, tukang bersih-bersih rumah, pelayan restoran dan sejenisnya. Mereka menyatakan bahwa bekerja di sini sangat dijaga dan dilindungi. Upah mereka diberikan sesuai perjanjian. Hampir tak ada masalah dengan gaji maupun keselamatan kerja. Di sini juga hampir tak pernah ada razia yang menguber para pekerja. Hak-hak kemanusiaan sangat diharagai dan dilindungi oleh negara, sekalipun pada pekerja kasar.
Saya terheran mendengar cerita mereka. Bagaimana mungkin negara kapitalis yang katanya sangat eksploitatif, metrialis dan individualis justru bisa membuat nyaman para pekerja kasar. Bagaimana mungkin negara yang tdk mengenal hadits “bayarkan upah buruh sebelum kering keringatnya” justru bisa membayarkan gaji yang tepat waktu dan manusiawi?
Sementara di negara lain yang bertebaran ayat mengenai keadilan sosial, penegakan kemanusiaan dan sering mengutip ayat Tuhan saya justru sering mendengar kabar tentang pekerja yang diekspoitasi, diperkosa, dilecehkan dan penuh luka akibat tindak kekerasan sang majikan.
Melihat semua ini saya jadi teringat pernyataan Muh. Abduh tokoh Pembaharu Islam asal Mesir ” raitu Islam fil naghrib walakinna ma raitu muslim fil maghrib, wa raitu muslim fil masyriq walakinna ma raitu Islam fil masyriq” (saya melihat Islam di Barat tapi saya tidak melihat orang Islam di sana. Sebaliknya, saya melihat orang Islam di Timur tapi tdk melihat Islam di sana”)
Hari ini di Belanda, di negeri Barat saya melihat dan merasakan apa yang diucapkan Abduh. Di sini, di negeri yang sekuler ini, nilai-nilai dan ajaran Islam tentang keadilan, kemanusiaan dan lingkungan justru bisa diterapkan secara nyata. Saya belajar dari kenyataan di sini, saat ini. God Zegene…!!!